Perbedaan politik NU, Muhammadiyah dan “Salafi-Wahabi”, Menurut Saya

in indonesia •  6 years ago  (edited)

Gelegar pilpres 2019 menohok berbagai jenis emosi public, menyeret beberapa organisasi masa yang secara ruhi senada. Publik terbelah tergiring ke berbagai opini berbasis kepentingan politik praktis. Publik yang nyaman dengan kacamata kuda yang tersemat baik sengaja maupun tidak sengaja menjadi ujung tombak yang agresif membela nafsu berkuasa yang dibungkus dengan kemasan ‘demi kebaikan bangsa/umat’. Publik yang militan ini tersebar di semua komponen organisasi, tak pelak juga melanda warga NU, Muhammadiyah dan gerakan tanpa organisasi resmi tapi terorganisir yang di kenal public sebagai “salafi wahabi”. Nama terakhir menggunakan tanda petik, karena tak ada pengakuan resmi keberadaannya tapi istilah itu santer di public. Meskipun saya meyakini, di dalam “salafi-wahabi” juga banyak pelangi, tapi untuk menyederhanakan, non NU dan non Muhammadiyah masuk dalam grup tersebut.

Mari menengok sejarah
NU yang digawangi KH Hasyim Asyari saat itu lahir pada 31 Januari 1926 dalam situasi social yang penuh ketimpangan di segala bidang. Ketidak-adilan terjadi karena penguasa saat itu menjadikan rakyat sebagai sumber daya yang dieksploitasi untuk kepentingan sekelompok manusia yang dikenal sebagai penjajah. Orientasi melepaskan diri dari eksploitasi inilah yang mendorong terjadinya revolusi jihad yang melahirkan perlawanan heroic terhadap penguasa. Tujuannya jelas, melawan penguasa untuk memperbaiki pengelolaan kekuasaan yang tidak berpihak kepada rakyat. Dalam praktiknya, mengganti dan menjadi penguasa adalah langkah kunci untuk mewujudkan kekuasaan yang diyakini baik. Definisi penguasa yang harus dilawan saat itu adalah penjajah. Semangat berkuasa tersebut telah berevolusi seiring kemerdekaan Indonesia menjadi gairah untuk mengelola Negara. Maka tidak heran, NU lebih terbuka untuk ingin terlibat dalam kekuasaan.

Muhammadiyah lahir 13 tahun lebih awal dari NU dengan situasi tidak berbeda secara nyata dengan yang dihadapi NU. Ketimpangan social, korupsi, hedonism, perselingkuhan para petinggi kerajaan, serta eksploitasi rakyat adalah kejadian di pelupuk mata sang pendiri; KH Ahmad Dahlan. Membenturkan rakyat dengan penguasa local (kerajaan) saat itu bukanlah target karena lebih penting menyiapkan rakyat untuk perubahan nasibnya sendiri. Maka pendekatan revolusi mental menjadi pendekatan utama yang ditempuh Kyai Dahlan melalui gerakan mencerdaskan bangsa. Gerakan ini dijaga betul oleh Kyai Dahlan untuk tidak berbenturan dengan para pemimpin local, sehingga gerakan politik Muhammadiyah lebih mengarah ke politik tingkat tinggi; lebih baik membuat kebijakan yang dipakai pemerintah daripada menjadi penguasa. Maka tidak heran, Muhammadiyah agak malu-malu terhadap persaingan kekuasaan.

NU dan Muhammadiyah adalah gerakan yang lahir dengan nafas nusantara, mempraktikan Al Islam dengan mempertimbangkan nilai local. Cara pandang tersebut menarik perhatian para pemaham al Islam yang lebih menjiwai semangat berbasis timur tengah untuk ‘mengoreksi’ pemahaman yang dianggap telah terkontaminasi cara pandang local. Cara pandang yang eksis belakangan ini saya sebut “Wahabi-Salafi”. Karena semangat mengoreksi inilah, potensi berbenturan langsung sangat tinggi antara kelompok ‘pemahaman baru” dan komunitas local. Potensi yang tidak diantisipasi dan dikelola secara arif ini lah yang mengakselerasi tumbuhnya sekat-sekat public dan menemukan momentum menjelang pilpres 2019. Semangat mengoreksi ini pada ujungnya juga menggerus semangat persatuan umat. Jargonnya sudah cukup kompak; mari saling bertabayun, mari bersatu tapi kalimat selanjutnya yang dirapal dalam hati adalah; tapi ikuti cara saya yang lebih benar

Pelajaran masa lalu nampaknya perlu direnungkan. Perang Paderi dimulai tahun 1815 tetapi kaum Paderi bersedia berdamai dengan penjajah pada kurun perang Diponegoro (1825-1830), kemudian melanjutkan peperangan setelah perang Diponegoro usai. Kaum Paderi kalah total dari penjajah pada sekitar 1837. Saya tidak percaya para pemimpin Paderi bodoh dan tidak mengikuti perkembangan, tetapi mungkin Kaum Paderi menganggap perang Diponegoro bukanlah perang suci sehingga tidak memberikan sentuhan jiwa dan tidak perlu dibantu.

Karakter organisasi selalu ditentukan oleh manusianya. Karakter awal organisasi tidak lantas dipahami oleh warganya setelah sekian generasi berikutnya, karena karakter manusia dipengaruhi kepentingan sesuai eranya. Gaung resolusi jihad Kyai Hasyim di masa awal NU yang gegap gempita, kini tidaklah keras berkumandang karena mungkin tafsir jihad kini bukanlah dengan bambu runcing saat melawan penjajah, atau karena sudah berkuasa. Sebaliknya, jihad revolusi mental Muhammadiyah yang damai yang dikobarkan Kyai Dahlan pun bagi sebagian warganya tergantikan dengan gelegar semangat memperbaiki pemerintah dengan argument kebebasan berpendapat, atau karena tidak kebagian kekuasaan. Atau bisa jadi begini, siapa pun bisa mengaku sebagai NU atau Muhammadiyah untuk mencapai tujuan antara saja. Wallahu a'lam.

--------------------------------------------------------------------------------------
at the corner of Taipei
September 2018

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

Apa kabar pak @manoegra?

Posted using Partiko Android

halo, kabar baik. alkhamdulillah. sehat to?

Njih Pak...alhamdulilah sehat..
Lama mboten silaturahmi...
Semoga diberi kesehatan untuk kita semua

Posted using Partiko Android

aammiinn

Congratulations @manoegra! You have completed the following achievement on the Steem blockchain and have been rewarded with new badge(s) :

Award for the number of posts published

Click on the badge to view your Board of Honor.
If you no longer want to receive notifications, reply to this comment with the word STOP

Do not miss the last post from @steemitboard:

SteemFest³ - SteemitBoard support the Travel Reimbursement Fund.

Support SteemitBoard's project! Vote for its witness and get one more award!