Kemajuan peradaban suatu kaum sangat ditentukan oleh tingkatan budaya yang dihasilkan. Dalam proses tersebut, sastra merupakan salah satu bumbu utamanya. Sederhananya, sastra adalah kompenen penting dalam gerak peradaban. Sastra sendiri berarti hasil aktivitas kultural, baik dalam bentuk benda kasar, sebagai naskah (artifact), maupun interaksi sosial (socifact), dan kontemplasi diri (mentifact).
Biasanya jika kita mendengar kata-kata sastra, maka hal pertama yang muncul dalam pikiran kita ialah puisi, hikayat dsb. Padahal sebenarnya jika kita pelajari lebih lanjut, lingkup kajian sastra tidak hanya terfokus pada dua hal tersebut. Namun disini penulis tidak akan menjelaskan pembagian sastra secara umum, nantinya hanya akan digambarkan bagian-bagian yang termasuk dalam sastra Aceh.
Sebagaimana kajian mengenai sejarah Aceh, kajian mengenai sastra Aceh pun mengalami nasib yang sama, yaitu ditarik pada ranah kajian sastra Melayu. Sehingga sastra Aceh sendiri menjadi kering akan kajiannya. Dalam konteks sejarah kesusastraan Indonesia, sastra Aceh memang jarang sekali disebutkan. Paling tidak hanya diambil beberapa penggalannya saja, yang itupun menggunakan bahasa Melayu sebagai perantaranya.
Dengan demikian, disini perlu kiranya diperjelas dua hal penting, yaitu karya-karya 'sastra Aceh' dan 'Sastra di Aceh'. Hal ini disebabkan adanya karya yang tertulis dalam bahasa Aceh, adapula beberapa yang ditulis dalam bahasa Melayu namun dimulai di Aceh. Sehingga tidak sedikit kalangan yang beranggapan bahwa sastra Melayu dapat juga disebut sebagai Sastra di Aceh. Dalam hal ini penulis mengutip pernyataan Snouck Hurgronje, bahwa yang dimaksud dengan literatur Aceh adalah segala sesuatu yang dikarang orang Aceh dalam bahasanya sendiri untuk hiburan, pengajaran, dan lembaga. Maka kemudian jelaslah bahwa sastra Aceh adalah sastra berbahasa Aceh baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Sedangkan Sastra di Aceh, kini telah dipindahkan ke dalam studi sastra Melayu, dimana di dalamnya terdapat berbagai kajian sastra di negeri-negeri Melayu, baik di semenanjung tanah Melayu, juga di pulau Sumatera. Dalam kaitannya antara sastra Aceh dengan Melayu, Imran T. Abdullah mengatakan bahwa "...sastra Melayu berperan sebagai sastra resmi, sastra istana, tertulis, sedangkan Sastra Aceh hidup sebagai sastra rakyat yang lisan".
Mengenai periode sastra Aceh, Mohd. Harun membagi kepada 5 tahapan. Tahapan pertama, yaitu periode animisme yang ditandai dengan corak takhayul atau kepercayaan terhadap makhluk-makhluk tertentu yang diyakini memiliki kekuatan yang luar biasa, seperti roh-roh yang mendiami pohon dan lain sebagainya. Tahapa kedua, yaitu periode dimana sastra Aceh sudah mulai bersentuhan dengan alam kepercayaan atau pengaruh Hindu, seperti adanya Hikayat Malem Diwa, Hikayat Indran Budimana dll. Tahapan ketiga, adalah periode antara Hindu dan Islam, dimana mulai adanya pembaharuan dan pergeseran nilai-nilai Hindu ke budaya Islam (proses islamisasi sastra). Tahapan keempat, adalah periode Islam, dimana karya sastra Aceh telah mulai mengalami perubahan yang signifikan. Terakhir, periode mutakhir dimana karya sastra Aceh, selain masih tetap mempertahankan pola ucao tradisional, sudah mulai pula bergerak ke arah inkonvensional; tidak lagi terikat aturan-aturan statis.
Berikut adalah pembagian sastra Aceh menurut J.J.C.H. Van Waardenburg.
Adapun ragam sastra menurut Mohd. Harun adalah sebagai berikut
Sementara itu, A. Hasjmy membagi hikayat
Dari beberapa klasifikasi di atas, tampak bahwa sastra Aceh memiliki akar tersendiri, yaitu budaya aceh, bahasa aceh, dan konteks sejarah aceh. Ketiga hal tersebutlah yang mengikat karya-karya sastra Aceh. Adapun spirit yang mendasari karya-karya sastra Aceh adalah Islam yang dipantulkan ke dalam berbagai aspek dan rupa kehidupan rakyat Aceh. (Acehnologi II, hal. 624).
Dengan demikian, sastra merupakan salah satu ekspresi kebatinan yang mungkin akan memperkokoh fondasi meta-fisika dan meta-teori di dalam studi Acehnologi yang perlu untuk diberi perhatian khusus dan dilakukan kajian terhadapnya.