Dalam bab ini akan dikemukakan bagaimana konsep Sosiologi Aceh sebagai bagian dari Acehnologi. Sebelum membahas lebih lanjut tentang Sosiologi Aceh, ada baiknya terlebih dahulu kita paparkan makna dan hakikat sosiologi. Sosiologi adalah suatu bidang ilmu yang mempelajari tentang manusia sebagai makhluk sosial yang dicirikan dengan adanya interaksi antar manusia dalam suatu komunitas masyarakat.
Sepengetahuan saya, berdasarkan simpulan akhir terhadap beberapa sesi perkuliahan, dijelaskan bahwa perbedaan antara sosiologi dan antropologi lebih kepada kawasan atau wilayah. Jika antropologi mengkaji fenomena budaya dalam lingkup masyarakat tradisional (pedesaan), maka sosiologi lebih kepada bagaimana perilaku sosial masyarakat di kawasan urban (perkotaan) setelah mengalami proses modernisasi.
Sebagai suatu bidang studi, bisa dikatakan cakupan sosiologi sangatlah luas. Selain mempelajari tentang interaksi antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok, sosiologi juga melihat bagaimana orang mempengaruhi kita, bagaimana institusi sosial utama, seperti pemerintah, agama, dan ekonomi memengaruhi kita, serta bagaimana kita sendiri memengaruhi orang lain, kolompok, bahkan organisasi.
Setidaknya ada tiga teori besar yang seringkali dijadikan sebagai perspektif dalam memandang berbagai kajian sosial. Tiga teori utama sosiologi ini meliputi teori fungsionalisme struktural, teori konflik, dan teori interaksi simbolik. Tokoh-tokoh yang menjadi pusat kajian sosiologi seperti Marx, Durkheim, dan Weber kerap dimunculkan ke permukaan ketika membahas tentang konsep sosiologi. Namun, disini penulis bukanlah ingin mencari teori-teori ilmu sosial dari merrka, melainkan ingin melihat apa saja yang mempengaruhi kajian sosiologi, jika dikaitkan dengan sejarah Eropa saat ilmu ini lahir. Hal ini tentu saja agar arah dan tujuan Acehnologi untuk menampilkan sosiologi Aceh sebagai bagian dari pembahasannya mencapai titik terang. Hampir dipastikan bahwa Marx, Durkheim, dan Weber kala itu menghadapi gejala yang sama yaitu bagaimana 'menata masyarakat baru' yang muncul akibat dari Revolusi di benua Eropa. Melalui mereka dan beberapa tokoh lainnya lah teori-teori di dalam sosiologi dikembangkan yang kemudian juga dapat dilihat pengaruhnya di dalam Antropologi. Dalam topografi di ataslah, kajian-kajian tentang masyarakat di luar Eropa dan Amerika dilakukan, tak terkecuali di Indonesia dan Aceh, semuanya mengambil berbagai perspektif teori-teori ilmu-ilmu sosial yang mereka cetuskan.
Paling tidak, di dalam membangun sosiologi Aceh, dapat dilakukan melalui metode perbandingan dan sejarah. Hanya saja, jika dipandukan melalui hanya meneropong masyarakat urban, maka mau tidak mau, kita akan mengkaji mengenai Aceh secara sosiologis, pasca kedatangan penjajah Eropa di beberapa kota di Aceh. Namun, olah kajian sosial ini sulit ditemukan pada awal dan akhir kolonialisasi, mengingat kawasan-kawasan tersebut malah cenderung didekati melalui pendekatan antropologi dan sejarah, dimana etnografi terkadang menjadi senjatanya. Namun, kajian melalui perspektif sosiologi juga perlu digali secara substantif, sebab perubahan masyarakat Aceh yang sedemikian cepat, ternyata juga membentuk cara pandang baru dari masyarakat tersebut.
Pada akhirnya penulis menyatakan bahwa ada tiga hal yang perlu digali ketika sosiologi Aceh ingin dimunculkan. Pertama, menemukan kembali ruang imajinasi sosial yang bersifat ke-Acehan. Kedua, menemukan kembali ruang yang aktif dan progresif dalam bidang ruang kesadaran sosial masyarakat Aceh. Ketiga, perlu juga dicari lagi bagaimana format ruang kebatinan masyarakat , yang kemudian memberikan pengaruh pada dua ruang sebelumnya. Tiga hal inilah yang mungkin dapat membantu untuk membangkitkan spirit kajian sosiologi Aceh. Sebab, tiga ruang tersebut telah berjasa di dalam menemukan identitas ke-Acehan di dalam kontekz kekinian. (Acehnologi II, hal. 548).