Membahas tentang studi religius atau kajian agama di Aceh, maka mau tak mau kita akan senantiasa bersinggungan dengan Islam. Hal ini tentu saja karena islam merupakan agama dominan yang ada si Aceh, bahkan hampir seluruh masyarakat Aceh beragama islam. Di tambah lagi, Aceh dikenal dengan sebutan 'Seuramoe Mekkah'. Ini pula yang menjadikan Aceh sebagai tempat prioritas untuk menuntut ilmu agama pada tempoe doeloe.
Kajian tentang Islam juga dikenal dengan beberapa istilah seperti Islamologi, Dirasah Islamiyyah, dan Islamic Studies. Di Aceh sendiri, studi Islam kerap diistilahkan melalui konsep 'meureunoe' (belajar). Istilah meureunoe biasanya akan disandingkan dengan kata jak, sehingga menghasilkan kata jak meureunoe yang berarti pergi belajar. Oleh karena itu, di dalam tradisi Aceh, pergi belajar keluar rumah atau kampung, sudah dapat dipastikan itu adalah belajar islam. Adapun tujuan tempat belajar adalah dayah atau zawiyah.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa di Aceh Islam masih menjadi pusat dari kendali kehidupan religiusitas masyarakatnya. Karena itu, studi keyakinan atau kajian islam menjadi begitu penting jika ingin memahami kehidupan rakyat Aceh. Namun pada faktanya saat ini, arah studi religi di Aceh bukan lagi mewujudkan masyarakat ilmu, akan tetapi lebih dikondisikan menjadi masyarakat materialistis. Ini dapat terlihat dalam jejak dan jenjang pendidikan di Aceh, dimana pada tingkat Sekolah Dasar hingga Menengah masyarakat cenderung memasukkan anak-anaknya ke dayah atau pesantren-pesantren guna mendapatkan ilmu sehingga mampu menjadi masyarakat ilmu. Namun tujuan ini berubah ketika seseorang telah memasuki jenjang yang lebih tinggi yaitu Perguruan Tinggi. Disini mereka dituntut untuk sesegera mungkin mendapatkan pekerjaan setelah menyelesaikan studinya.
Dalam situasi di atas, dipandang bahwa untuk menjembatani pembentukan kembali 'masyarakat ilmu' di Aceh, perlu suatu titi yaitu pemahaman tentang tradisi Islamologi yang berbasiskan pada Acehnologi. Berikut adalah pola yang ingin dibentuk.
Salah satu pengikat religiusitas di Aceh adalah adanya masyarakat ilmu dan Islamologi, keduanya lantas dilekatkan pada studi Acehnologi, yakni kajian masyarakat dan religi menjadi substansi dari peneguhan konsep-konsep pemahaman dalam Acehnologi.
Menurut penulis, dalam memahami dinamika aliran pemikiran religi di Aceh perlu dilakukan pengkajian demi pengkajian yang tidak hanya melihat pada apa yang terjadi di Aceh, tetapi juga di luar Aceh. Dengan begitu, akan didapatkan berbagai penjelasan akademis pengaruh dari luar terhadap dinamika perkembangan gerakan-gerakan sosil-religi di Aceh. Perubahan orientasi tradisi pembelajaran terhadap religi seperti yang telah disebutkan terdahulu yelah memaksaakan kehidupan rakyat Aceh terjerumus dalam memposisikan religi di dalam kehidupan sosial kontemporer. Inilah kiranya yang ingin diperbaiki kembali melalui Acehnologi.