Sebuah kisah berawal dari cerita yang dikisahkan dari cerita. Kisah diceritakan dengan cerita yang diambil dari kisah-kisah. Kisah itu diceritakan dengan emosional sehingga meresap kedalam jiwa para penikmat cerita. Sebuah cerita akan menjadi legenda apabila cerita itu diceritakan berdasarkan fakta yang dapat dipertanggungjawabkan kepada langit dan daratan. Cerita yang jujur adanya akan tersimpan di dalam satu peradaban dan lainnya. Menjadi sebuah inspirasi dan spirit bagi para pembacanya. Bagaimana peran sebuah kisah dalam antropologi manusia? Apakah ada dampaknya? Kalau ada apa itu dampaknya?.
Sejatinya manusia tidak dapat hidup sendiri, berpikir sendiri dan mengambil keputusan sendiri. Semua inovasi yang ditemukan manusia baik dalam teknologi hingga bagi dirinya sendiri sedikit banyak pasti bersumber dari sebuah kisah/cerita.
Dari zaman prasejarah hingga saat ini metode sastra dan cerita telah dimanfaatkan pada sebuah peradaban. Banyak bekas yang ditinggalkan leluhur kita ditulis di berbagai media. Para leluhur kita tidak memiliki rasa memiliki pada setiap karya sastranya (cerita). Ribuan pengetahuan dituliskan diberbagai media baik yang kasat mata hingga yang tak kasat mata. Pada zaman kolonial, banyak para peneliti eropa merasakan bagaimana keistimewaan kitab-kitab yang dihasilkan oleh leluhur kita. Ribuan eksemplar dibawa mereka ke eropa dan dismpan bagaikan emas permata. Mulai dari ilmu pemerintahan, ilmu ekonomi, ilmu psikologi, ilmu kesehatan dan ilmu agrarian, ilmu konstruksi dan ilmu astronomi hingga ilmu fisika dan metafisika. Belum lagi karya seni karya leluhur kita. yang diciptakan seakan-akan abadi tidak termakan waktu dan dapat mengiringi jalannya peradaban.
Sayangnya pada saat ini. Kita meremehkan cerita peninggalan leluluhurnya. Banyak kisah mereka, kita anggap itu tidak benar adanya. “Hanya mitos belaka” kata mereka ketika mengetahui kisah-kisah leluhurnya. Mereka lupa akan dari sari nikmatnya menikmati cerita. Mereka fokus mencari kesalahan kosa kata, kelemahan frasa dan tata bahasa serta minimnya sodoran kajian pustaka dan fakta. Fakta disini didefinisikan oleh mereka, sesuatu hal yang ada dan dirasakan dan diketahuinya saja yang diperoleh di lingkup habitatnya saja.
“Mereka lupa akan spirit dari sebuah cerita. Apakah itu kisah imajiner ataupun kisah aktual, jangan terburu-buru untuk menyepelekan, apalagai mengabaikan pesan moral dalam sebuah kisah. Pesan moral, sejatinya nyata adanya walaupun di masukan kedalam cerita kisah mitologi belaka”
Begitulah kesempitan dada dan pikiran mereka. Sang pencari kebenaran yang mana sudah jelas kebenaran itu hanya milik Sang Kuasa. Mereka Tidak dapat membedakan mana itu bahan mentah, mana itu bahan siap masak dan mana itu bahan yang telah menjadi makanan siap saji. Kebenaran akan diperoleh dan akan lebih efektif kalau data kebenaran itu anda gunakan bagi diri sendiri sebelum anda mendistribusikannya kepada kerabat, kekasih dan temann-teman anda.
Sekarang telah terjadi penurunan kadar kualitas sebuah cerita. Dimana para pembuat cerita tidak lagi memikirkan bagaimana outocome cerita yang akan diceritakan, namun fokus mereka beralih kepada bagaimana cerita ini dapat menghasilkan harta. Mereka seakan-seakan diikiat oleh angka kredit dan ditarik oleh majikannya yang bernama nafsu, untuk ikut kemana saja nafsu itu ingin mencicipi dunia. Sungguh lucu ketika saya membayangkannya. Mereka jadikan itu mahzab dalam mencari ilmu pengetahuan yang notabenenya disediakan tuhan dialam semesta dan diberikan semaunya tuhan. Mereka yang menyusun cerita malah mereka yang membayar kepada petugas fotocopy yang kebetulan mereka ahli dalam mengadakan event organizer untuk mengkoordinasi para pembuat cerita dan jagongan bersama. Dan lucunya lagi mereka sudah membayar malah mereka dibatasi kemerdekaannya dalam bercerita. Waktu yang diberi untuk saling interaksi antara sesama pembuat cerita begitu sempit hingga sampe-sampe cerita mereka dipotong oleh petugas EO. Lebih lucu lagi mereka tidak marah ketika diinjak-injak kebebasannya. Malah sebaliknya mereka merasa bangga dan malah mendukung EO tersebut untuk terus memperlakukan mereka seperti itu sehingga mereka menyanjung EO diatas segalanya.
Pembuat cerita terpatri dengan angka kredit, otak mereka buntu kalau berkarya kalau tidak ada angka kredit. Wahai manusia jangan biarkan dirimu dinilai dengan nilai cum ataupun angka kredit. Buang jauh-jauh paradigma itu. Nikmatin kesengsaraan anda, teruslah menulis dan berkarya demi tercapainya tujuan jiwa dan nurani, pikiran anda.
Tulislah karyamu/ceritamu, buatlah forum manusiawi, saling bertukar ide dan pikiran dengan bebas. Saling diskusi tanpa dikejar waktu. Cetaklah karyamu sendiri, sebarkan kepada masyarakat. Ingat sebuah pena lebih tajam daripada sebuah pedang. Mari luruskan kembali niat anda Sang Cendekiawan, hadirmu dibutuhkan khayalak umum. Mindset publik ada di ujung jari jemarimu. Tulislah dengan pikiran yang terintegrasi dengan akal dan jiwa. Sebarkan ide cemerlangmu di sebuah tulisan/cerita demi sebuah rasa cintamu untuk sesama.