Ben, Sofia, dan Segenggam Cinta di Eropa

in indonesia •  7 years ago 

Konjic, 1983
Sretan rodjendan Sofia,“ ujar Ben sambil menyerahkan sebungkus cokelat hadiah ulang tahun.
Aku menerima hadiahnya sambil tersenyum ceria.

Konjic, 1984
Aku menemukan cokelat dan sepucuk surat di atas meja. Cokelat pastilah hadiah dari Ben. Surat? Ah biarlah nanti sepulang dari pesta kecil-kecilan ala aku dan Ben barulah kubaca.

Konjic, 1988
“Jalan yuk,” ujarnya di hari ulang tahunku di tahun itu. Empat tahun sejak kepindahanku ke ibu kota, ritual kami setiap tahunnya terlewatkan begitu saja.

Kami berhenti di salah satu kafe yang telah jadi langganan kami. Kedatangan kami disambut pelayan yang selalu tahu minuman apa yang aku pesan.

Dobro dosli Sofia, Ben… topla schokolade?"

Aku menjawab dengan anggukan.

Pertemuan itu layaknya pertemuan-pertemuan kami sebelumnya. Membicarakan kegiatan yang dulu biasa kami lakukan bersama. Sedikit berbeda kali ini, lingkaran pertemanan yang sudah berubah, pembicaraan dengan topik di luar kebiasaan kami, sedikit ada jarak yang tak bisa dielakkan. Aku tetap mendengarkan ceritanya dengan saksama, sekaligus menunggu coeklat yang biasanya hadir di setiap ulang tahunku.

Aku merogoh tas, mencari barang yang ingin kuhadiahkan padanya. Bola salju bergambarkan ibu kota. Ben menyambutnya sambil tertawa.

“Tumben,” katanya.
“Sofia, suratnya..?" Tanya Ben akhirnya. Pertanyaan yang aku tunggu-tunggu sejak dia menjemputku petang tadi.

Sarajevo, 1990
Ben, sejak hari itu, mulai mengirimkan kartu-kartu ucapan selamat ulang tahun saja. Tak ada cokelat lagi yang menghiasi hari kelahiranku. Sejak bersekolah di medreseh, liburan kuhabiskan hanya di rumah atau mengikuti kegiatan-kegiatan pelajar di kota ini. Bahkan aku tak pernah ikut jika keluarga pulang ke Konjic. Dan Ben, masih seseorang yang ketika aku mengingatnya, ada senyum yang terulas di bibirku.

Rindu…

image

Sumber : canva

Sarajevo, awal 1992
Perang meluluhlantakkan ibu kota. Babo langsung memindahkan kami ke Dusiburg, sebuah kota di sebelah barat Jerman. "Yang penting semua selamat," kata Babo. "Dan kita pun tak lama lagi pasti kembali ke kota ini," lanjutnya.

Aku terenyak mendengarnya. Pindah ke negara lain artinya aku tidak akan bertemu dengan Ben, bahkan berkirim surat pun belum tentu memungkinkan.

Duisburg, akhir 1992
Berita itu menghancurkan hatiku. Hati orang-orang yang mengungsi, yang harus pergi dari negara itu. Ada perasaan bersalah, merasa seperti pengkhianat setiap diingatkan tanah kelahiranku hancur lebur, sedang aku dan yang lainnya sudah bisa tidur nyenyak setiap malamnya, menikmati pita, bureg, dan cevapi kapan pun kami mau. Sedang di sana….

Konjic hancur, pembunuhan massal di Srebrenica, Sarajevo dipenuhi reruntuhan gedung di setiap sudutnya.

Ben...

Bremen, 2000
Aku berhasil menyelesaikan studiku. Lamaran dari Fatih, anak dari terapist yang membantuku untuk bisa lepas dari trauma perang akhirnya kuterima. Bismillah, saatnya menancapkan kakiku di negeri ini. Sarajevo, Konjic, telah lama kukubur, di sana sudah tidak ada sanak saudara, tidak ada yang mungkin mengenal seorang Sofia. Dan Ben, setelah mencoba mencari tahu keberadaannya, ia termasuk salah satu korban dari peperangan biadab itu, lukanya cukup parah sehingga ia harus dipindahkan ke rumah sakit di negara tetangga.

Istanbul, 2013
Aku menggandeng lengan Asma, putri sulungku. Sudah lama aku ingin mengunjungi kota ini dengan sahabat kecilku ini, sekaligus bertemu dengan kerabat lama yang setelah perang memutuskan untuk menetap di negeri ini.

Hari-hari kulalui dengan mengunjungi satu tempat wisata ke tempat lainnya, dan mengunjungi sahabat di hari berikutnya. Kuajak Asma salat zuhur di Mesjid Biru, mengelilingi Hagia Sofia yang menawan, bersantai sejenak dan menikmati topla schokolade kesukaan kami di kafe dekat Taman Topkapi, menikmati menu seafood kesukaannya di dekat pelabuhan penyeberangan ke Ortakoy.

“Ben apa kabar?“ Tanya seorang kerabat yang sejak kecil mengenal kami berdua.

Hamburg, 2013

Pesawat yang kutumpangi mendarat dengan selamat di Hamburg. Perjalanan dari Istanbul berjalan dengan baik, tepat menjelang asar mendarat di bagian utara Jerman ini.

Kupanggil Asma untuk bergegas, kereta IC yang akan kami tumpangi ke Hamburg akan berangkat lima menit lagi. Kereta tiba bersamaan dengan sampainya kami di gerbong itu. Kuangkat koper yang penuh sesak dengan oleh-oleh dari Turki.

Asma sudah terlebih dahulu naik dan mencari bangku yang telah kita book sebelumnya. Aku menghampiri Asma yang sedang memasukkan koper ke lemari kecil di pojok gerbong. Kuempaskan diri di bangku. Di seberang sudah terlebih dahulu ada seorang laki-laki yang kelihatannya lebih tua dariku, serta laki-laki muda, mahasiswa pikirku.

Perjalanan yang singkat dari Hamburg ke Bremen, tidur pun percuma ujarku pada Asma. Ia mulai membuka bacaan yang dibelinya di bandara Attaturk. Aku sadar laki-laki di hadapanku beberapa kali memperhatikanku. Ah sudahlah, terlalu lelah rasanya walaupun untuk sekadar beramah-tamah.

Kereta tiba di Bremen. Home sweet home , bisikku perlahan

Bremen, awal musim gugur tahun 2013

Aku melipat lembaran surat yang baru saja kubaca. Satu dari sekian banyak surat dalam kotak berwarna biru yang kudapat di atas meja kerjaku seminggu yang lalu.

Satu kalimat yang mungkin akan selalu kuingat, kalimat yang mungkin menjadi awal persahabatan kita di negeri ini,

“Semoga Tuhan berbaik hati, di kehidupan berikutnya, kita bersahabat selamanya, menyatukan kita tanpa pernah memisahkan kita, mengizinkan kita untuk memiliki waktu bersama lebih lama untuk sekedar berbagi coklat di hari ulang tahunmu.”

Aku mengambil dua mug dan menyeduh kopi kesukaanku. Satu dengan sedikit creamer , sedangkan yang satunya kopi hitam biasa.

Kuletakkan mug dengan kopi hitam biasa di meja kolegaku. Kuselipkan selembar kertas di sana, yang bertuliskan Hvala .

Bremen, ketika daun-daun mulai berguguran

Tiga bulan sudah aku menjadi peneliti di kampus ini. Dari pertama kali diperkenalkan aku tau dia Sofia yang kukenal. Aku melihatnya turun dari kereta IC beberapa waktu lalu,disambut hangat seorang lelaki separuh baya, “suaminya”, pikirku.

Tak disangka kami menjadi kolega di penelitian itu. Aku yang mengganti namaku mengikuti keluarga baru yang mengadopsiku setelah perang tentu tidak akan ia kenali lagi. Perawakanku pun berubah drastis, tak ada kemiripan dengan diriku yang dulu. Bahkan negara asalku pun selalu kusebut Belanda, bukan Bosnia



image


Dan pagi ini, aku menemukan kopi hangat di meja kerjaku, selembar kertas dengan tulisan tangan yang sangat kukenali ada di sana.

Aku tersenyum, “hvala Sofia” , lirihku dari seberang meja kerjanya.


Beberapa kata asing di tulisan fiksi di atas : Sretan rodjendan = Selamat ulang tahun. Dobro dosli = Selamat datang. Topla schokolade = Minuman cokelat panas. Bureg, pita, cevapi = makanan khas Bosnia (Balkan). Babo = Ayah. Medreseh = Madrasah.
Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

Sangat syahdu ceritanya

Iya kah? Padahal endingnya dibuat seceria mungkin 😁

Nice story.... Keep steem on

Makasih @hadimemories :)

Teman sejati adalah teman yang tahu diri.:)

Hahahahahaa Iya kah? 😁

  ·  7 years ago (edited)

Hi Ben, it's interesting short story that made the reader fly from one setting to another and imagine all the details mentioned. Anyway, I love the first ending version. :)

Danke Schoen . .. stimmt, setelah diliat2 seru yg pertama, tapi yg ini lebih positif aja endingnya 😁😁

Congratulations @rahmanovic! You have completed some achievement on Steemit and have been rewarded with new badge(s) :

Award for the number of upvotes received

Click on any badge to view your own Board of Honor on SteemitBoard.
For more information about SteemitBoard, click here

If you no longer want to receive notifications, reply to this comment with the word STOP

By upvoting this notification, you can help all Steemit users. Learn how here!