Bagi saya yang tidak begitu banyak tahu tentang perfileman, dan juga jarang nonton, kecuali ada film yang heboh benar di komentari khalayak, maka nonton film Bumi Manusianya Hanung Bramantiyo , memberi tontonan yang sungguh mengesankan. Paling tidak sebandinglah dengan masa antri di loket bioskop XXI di Plaza Senayan itu.
Biasanya saya nongkrong di bioskop itu, di studio premier nya karena ada selimut dan kalau filmnya membosankan dan ngantuk bisa tidur sejenak. Tapi rupanya Bumi Manusia tidak diputar di situ, tapi di studio biasa.
Kebagian tiket yang pukul 18.00. Kata teman yg sudah duluan nonton yang saya larang menceritakan kesan tontonannya , filmnya agak panjang . Tiga jam lebih. Hemm , kalau gak ada selimutnya, gimana nanti kalau ngantuk?
Euih mas Hanung dan tim filmnya bikin saya melek sampai selesai dan saya harus mengelap air mata ketiga kalinya begitu mendengar lagu penutupnya. Lagu Ibu Pertiwi di bulan agustus pula. Hemm. Plong rasanya begitu keluar dari bioskop. Pukul 21.30 dan pulang menembus Jakarta yang gak pernah tidur, dan juga gak habis macetnya.
Gimana kesan nontonnya, seru?
Sebuah pesan RAB masuk di ponsel saya, setelah saya memberi tahu dia lewat pesan WhatsApp kalau saya baru saja selesai nonton film tersebut, karena memang dia yang mendorong saya untuk nanton film Bumi Manusia, ini film ketiga yang saya tonton tahun ini sampai bulan Agustus.
“ Wuih aku nangis juga Rat “
"Di bagian mana biar saya bisa cocokkan, di adegan mana yang menghabiskan tissue saya". kata penyair Garut yang sudah lebih dulu nonton di Bandung.
" Ya ada di tiga adegan". Pertama ketika Minke minta ampun pada ibunya, istri Bupati yang berkumis lebat itu. Gara-gara tidak pernah membalas surat ibunya, Minke terpuruk di pangkuan ibunya dan menangis. Apalagi ketika ibunya itu bilang, " Ei, kumismu makin tebal". Hemm ada ibu yang meluapkan rindu yang bertahun-tahun pada anaknya, cuma komen soal kumis sambil mengusap kepala anaknya. Seluruh kasih sayang jadi tumpah dan jadi samudera, " kata saya".
"Hemm sama, akting Ayu Laksmi itu memang luar biasa", "kata Ratna" yang rupanya tahu semua nama para pemeran film itu termasuk pemeran nyonya Bupati.
“ Lalu yang kedua di mana? “
“ Ketika Nyai Antosoroh memeluk Minke dan bilang, kita telah melawan, Nyo, sebaik-baiknya. Sehormat hormatnya. Kita sudah melawan ....kita tidak kalah ....“
“ Sama, aktingnya Sha Ine Febrianty itu lumayan bagus". Meski wajahnya kata teman saya di Facebook kurang pribumi. Dia memberitahu saya siapa pemeran Nyi Ontosoroh yang sudah menyita seluruh emosi saya selama nonton dan tidak tidur tiga jam itu.
Saya tidak tahu wajah Nyai Jawa itu mestinya seperti apa. Tapi bagi saya malam itu, saya nonton perjalanan hidup Nyi Ontoroh. Bukan Minke , bukan Anne, bukan Hendrik sang pemerkosa adiknya, bukan Meneer Malemma yang terjerumus di rumah bordir gara-gara tekanan saudaranya berebut harta dan lainnya.
Saya menyaksikan adegan pertarungan seorang perempuan yang sedang melawan takdirnya dari seorang Nyai menjadi seorang manusia yang menuntut hak-hak hidupnya sebagai manusia yang harus dihargai. Hak untuk memutuskan dia mau jadi apa, dan mau bagaimana hidupnya. Haknya untuk dilindungi Darsam. Haknya untuk membolehkan anaknya tidur dengan kekasihnya, dan rela membetulkan selimut mereka yang berantakan dan mencandai anaknya dalam bahasa Jawa, (yang membuat penonton di sebelah saya tertawa). "Saya bilang, perempuan ini luar biasa sisi humanis nya"
“ Ya saya juga suka Nyi Ontosoroh, meskipun saya lebih suka sisi hidup RM Tirto Adi alias Minke". Dia itu kan sebetulnya bagian dari sejarah pers Indonesia "Kata Ratna", meskipun dia bilang Iqbal Ramadhan pemeran Minke itu imut-imut dan terlalu berat menghela watak Bangsawan Jawa yang sedang berontak itu.
"Ok, aku setuju. Tapi malam itu aku memang nonton Nyai Ontoroh, nonton perlawanan. Dialah sumbu film Bumi Manusia itu, sumbu dari novel Pramudiya Anantatur. Perlawanan seorang perempuan desa yang tidak berpendidilkan tinggi. Perlawanan kata-kata. Aku jadi ingat tokoh sejarah di kerajaan Riau Lingga, Engku Putri Raja Hamidah, perempuan istana yang melawan kezaliman atas dirinya dengan kata-kata, sejuta kata. Nyai Ontosoroh melawan dengan pekik, dengan raung, tapi nyaris tanpa setetes air matapun. Lihatlah ketika dia begitu terhina harus merangkak di depan hakim Belanda. Lihatlah ketika dia memeluk Sinyo Minke ketika putusan pengadilan itu mengalahkannya. Menista dan mencabik-cabik harkat dan martabat kemanusiaannya"
" Ya, tapi kalau pemerannya itu Happy Salma yang sukses bermain di film Bunga Penutup Abad itu, mungkin lebih kelihatan wajah pribuminya. "kata Ratna lagi".
" Aku memang tak terlalu mempersoalkan ketepatan sosok pelakonnya, karena itu urusan kritikus filmlah. Sebagai penonton aku terpaku pada Nyai Ontosoroh yang sudah membuat aku terhenyak di kursi studio satu bioskop XXI sampai selesai. Merenungi dialog-dialog puitis yang muncul sepanjang film itu di putar. Saya tak begitu tahu tentang Salman Aristo penulis skenario film itu, tapi saya tahu tentang Hasan Asphahani yang berperan sebagai pengembang cerita, penyair yang lagi serius terjun ke dunia film sebagai penulis skenario".
“ Ya Salman itu sudah menghasilkan banyak skenario film yang bagus dan memenangkan penghargaan perfilman, lanjut Ratna yang ternyata punya cita cita jadi penulis skenario juga, Kabita katanya".
“ Saya beruntung karena belum membaca novel Bumi manusia itu. Belum sempat, meski sudah beli. Tetraloginya itu. Tebal-tebal. Karena itu saya tak ingin mempersoalkan apakah Hanung telah mengobrak-abrik novel itu, atau apakah demi selera milenial sang investor film telah membuat novel itu teraniaya. Tapi saya yakin dengan difilmkannya Bumi
Manusia itu, pasti ramailah yang menontonnya. Apalagi kalau sempat jadi box office, tentu akan jauh lebih banyak ketimbang baca novelnya. Bumi Manusia dan nama Pram makin banyak yang meingingatnya. Film itu memang media yang sangat efektif untuk menyosialisasikan sebuah ide , gagasan, yang ingin disampaikan sebuah novel ".
“ Terasa betul Indonesia di film itu dari sudut-sudut penggambarannya, lokasi , propreti dan lain yang bisa mengesankan jaman kolonial dulu . Banyak yang bisa dipelajari dari film ini. Sejarah bangsa ini “ tulis Ratna di pesan whatsappnya.
“ Apalagi karena membiarkan Cak Darsam dengan kostum pendekar dan bahasa Maduranya . "Darsammmm panggil Nyai Ontoroh". Ketika suaminya atau anaknya menantangnya. Cuma Darsam yang bisa mengalahkan kesombongan Belanda itu. Sayang Darsam juga kalah melawan peluru senapang. hehehe “
“ Hemmm....”
“ Sungguh kena akting Sang Bupati yang amtenaran dengan cemetinya itu, tapi menyambuk dengan semangat kasih sayang seorang ayah yang terperangkap dalam ambisi amtenarnya. Dan wajah tercengangnya ketika sadar pidato pendeknya telah dimanipulasi anaknya dan residen Belanda yang mendengarnya ternyata suka. Memuji dan mengaguminya. Eeh apa di buku nya memang begitu. Aku belum baca buku itu “ dan aku lupa tanya ke Ratna yang katanya sudah dua kali baca novel itu".
“ Saya harus menghapus memori tentang isi novel itu supaya bisa nonton film secara utuh. Film nya bagus ya? Saya sedang memburu kesempatan nonton “ Perburuan “ yang digarap Richard Oh itu “ lanjut Ratna, katanya kepingin tahu bagaimana tauke buku menafsirkan karya Pram itu.
“ Dan air mata saya yang ketiga kali dan tidak saya hapus dengan punggung tangan dan dibiar dibawa keluar pintu bioskop, ya itu tadi , lagu Ibu Pertiwi yang dinyanyikan dengan suara serak-serak basah entah oleh siapa. Sambil saya bergumam : Hanya dalam film kita menang. Hanya dengan film kita bisa membangun semangat nasionalis. Lihat Amerika dengan film-film perangnya. Juga Jepang. Juga China. Ok Rat, kita sama-sama memburu film Perburuan. Memburu puisi yang lahir dari film-film bermutu “
Shabas Hanung dkk !
Jakarta, 18 Agustus 2019
Rida K Liamsi || @ridakliamsi