Atas bencana itu kita semua patut berduka dan berbelasungkawa. Karena duka Palu adalah duka kita. Tidak ada satu orang pun yang siap menerima bencana. Sekuat apapun kita mempersiapkan diri. Tetapi jiwa dan raga tetap lemah dan takkan sanggup menerimanya. Karena kodrat kita sebagai manusia adalah tempat segala lemah bersusun.
Menurut rilis beberapa media cetak dan media daring nasional, gempa bumi yang menerjang Palu disebabkan oleh pergerakan sesar berjejer yang disebut Sesar Palu-Koro. Menurut beberapa sumber pergerakan sesar tersebut mendatar atau dalam bahasa istilahnya slike-slip. Ini berarti antara lempeng bumi satu dan lempeng bumi lain bergerak sejajar.
Yang membuat kita semakin duka adalah munculnya gelombang tsunami pasca gempa. Menurut berita, gelombang tsunami terjadi antara pukul 17.22 WIB hingga pukul 17.36 WIB. Hanya puluhan menit dan itu sudah cukup merusak rumah-rumah masyarakat di Palu dan merenggut ratusan nyawa.
Sampai tadi malam dampak tsunami belum bisa didata dengan tepat. Tetapi yang jelas gelombang tsunami tersebut mengakibatkan kerusakan parah di Palu, terutama di Donggala. Donggala adalah salah satu daerah yang paling parah didera gempa bumi dan tsunami ini. Ini karena gelombang tsunami menerjang Pantai Talise di Kota Palu dan pantai di Donggala.
Rilis berita terakhir hingga sore tadi jumlah korban yang meninggal dunia sudah mencapai 383 orang dan mungkin akan terus bertambah karena proses pencarian masih terus dilakukan. Semoga para korban mendapatkan tempat yang layak di sisi-Nya.
Yang perlu kita lakukan ketika ada bencana seperti ini adalah untuk menjaga diri agar tidak latah, terutama di media sosial. Kita tak perlu membagikan ke sana kemari foto-foto para korban yang tak pantas dibagikan. Foto mayat yang mengambang, orang putus leher dan kehilangan tangan. Dan sebagainya. Itu adalah kelatahan yang tak perlu dibudayakan.
Karena bisa kita perhatikan, setiap ada bencana yang datang selalu diikuti sikap latah dan norak dari kita, terutama pengguna media sosial. Membagikan foto-foto vulgar dan tragis selalu menjadi kebanggaan yang kita rayakan. Padahal ini adalah penyakit media sosial yang merugikan korban dan juga merenggut nilai-nilai kemanusiaan kita.
Kalau pun susah menahan diri untuk tidak menulis "Pray for Palu" atau "berdoa" di media sosial, maka tahanlah untuk tidak menyebarkan foto-foto para korban yang tragis itu. Karena hal tersebut bukan menjadikan kita bijak apalagi humanis, melainkan menampakkan diri kita yang norak dan ah sudahlah.. Pokoknya tetap tahan diri agar tidak latah.
Bijaklah dalam menggunakan media sosial terutama saat bencana melanda. Karena jika sedikit saja latah itu susah ditahan, maka kita sudah menjadi bagian orang-orang norak dan harus dirukyah. Semoga bermanfaat. Salam literasi.
Regards