Oxymora dan Kenakalan Berbahasa

in indonesia •  7 years ago 

Source
Suatu sore nan permai di pertengahan 2012, aku bertemu dengan Taufan Mustafa, pemuda yang saat itu sedang mulai aktif di dunia jurnalistik. Jika benakku tak salah mengingat, iajuga sedang kuliah di UIN Ar-Raniry, Banda Aceh.

"Apa kabar, Pan? Kemana aja udah lama nggak nampak?" tanyaku memulai percakapan.
"Nggak ada, Bang... selama ini cuma istirahat aja," jawabnya membalas basa-basiku.

Wajah kuyunya, lingkar hitam di sekitar kelopak matanya juga postur tubuh ringkih-lelah yang tengah terduduk di kursi setentangku, membuat aku melontarkan pertanyaan selanjutnya.
"Tapi kenapa kutengok muka kau macam lelah kali?" tanyaku lagi.
"Itulah, Bang... selama ini aku lelah karena terlalu banyak beristirahat," jawaban terakhir yang dilontarkan sekenanya membuatku langsung tergelak.

Ukuran bangungan Harouk Cafe yang setara dengan 3 unit ruko berlantai 3 -tempat pertemuan kami hari itu- bagai tak mampu menampung rasa bimbang dan kagetku atas jawabannya. Ia yang berwajah kuyu tanpa sehelai gairah itu, telah sukses membuatku merasakan sensasi kepala terantuk di sudut dinding beton.

Kenyataan yang sungguh sukar kuterima, tapi mengandung kebenaran yang tak terbantah secara logika, meski secara rasio akan tampak ganjil. Benakku langgsung mengulang frasa 'lelah karena terlalu banyak beristirahat'. Ia berhasil membenturkan 2 kubu paradoks dalam sebuah kalimat tetapi berujung dengan keselarasan yang mengejutkan.

Ternyata, jawaban Taufan yang menghidangkan sebentang paradoks bukanlah hal yang ganjil dalam ilmu bahasa. Setidaknya dalam bahasa Inggris. Istilah yang mewakili jawaban Taufan dikenal dengan sebutan oxymoron atau oxymora.

Jawaban Taufan bukanlah oxymora pertama yang kudengar. Namun, tiap kali ada oxymora baru, otakku seperti merasakan hentakan pita-pengaman-jalan saat sedang melintasi landainya alur pikir keseharian.

Interaksiku dengan Ma'arif Syahid dan Maimun Saleh sejak 1999 menjadi oxymoron pertama yang kusadari. Saat itu, Ma'arif meledek kebiasaan Maimun yang kerap bangkit dari tidur menjelang siang.
"Om, kau ini kerjanya cuma tidur aja, kapan istirahatnya?" ujar Ma'arif melontarkan ledekan yang mengagetkanku. 'Om' adalah panggilan akrab Maimun Saleh dalam lingkup pergaulan kami.

Maimun cuma membalas dengan sepotong paras cengengesan di wajahnya. Ia lalu masuk ke kamar mandi dengan selembar handuk putih-kumal tersampir di bahu.

Menurut Merriam-Webster, oxymoron adalah: a combination of contradictory or incongruous words (such as cruel kindness); broadly: something (such as a concept) that is made up of contradictory or incongruous elements.
(Terjemahkan sendiri, ya...) :P

Beberapa oxymora ternyata hidup dan berkembang dalam penggunaan bahasa sehari-hari. "Rahasia umum', 'keheningan yang memekakkan', 'kesepian di keramaian', kesalahpahaman yang jelas', 'rumor yang terkonfirmasi' dan 'sibuk menganggur' adalah sederet oxymora yang mungkin terselip dalam obrolan sehari-hari.

Namun, dari sekian banyak oxymora yang kukenal, milik Muhajir Abdul Aziz-lah yang paling membuatku terhenyak. Saat itu kami sedang berdebat tentang sesuatu hal yang sangat menguras pengetahuan, karena berkait erat dengan penyusunan prinsip organisasi. Setiap orang seperti sudah kukuh dengan pendiriannya. Diskusi sudah berhadapan dengan jalan buntu.

Tiba-Tiba, Muhajir yang saat itu cepat menyadari potensi konfrontasi para peserta diskusi langsung angkat suara, setengah berteriak ia berkata,"Hoooiii...!!! Hoooiii...!!! Hoooiii...!!! Tenang dulu semuanya, jangan panik. Kalaupun terpaksa harus panik, paniklah dengan tenang."

Seluruh hadirin yang tengah larut dalam gelegak atmosfer debat langsung kaget, terhenyak dan tergelak. Tawapun pecah. Suasana kembali mencair. Hadirin akhirnya sibuk membahas oxymora yang terlontar dari muncung Muhajir.

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

Bang jangan lupa folback bg . . . @sangdiyus

Memanglah, setiap kubaca setiap tulisanmu, Kang @sangdiyus. Selalu kudapati ilmu baru. Tak pelak lagi, kau ini sudah sederajat Bung Beng Siau Cut di Kho Ping Ho. Itu tentang bahasa Esperanto yg ente suruh aku belajar tak lagi kuingat, kecuali sekarang sudah kembali tersemat di pikiran. Oxymora. Oxymoron. Rapal dulu kata-kata ini berkali-kali, nanti pasti keingat sendiri.

Terus, tadi ada kubaca satu cerpen milik Yusi Avianto Pareanom. Judulnya, b.u.d. Di situ ada kutemu satu perkara berbahasa secara tulisan yang setiap kata atau kalimat bisa terbaca sama meski dibaca dari kiri ke kanan atau sebaliknya. Contohnya, kata makam. Di cerpen itu, kutemu istilah persoalan keunikan berbahasa tulisan ini disebut palindromik. Ente pasti sudah tahu ini. Ente tulislah satu tentang itu. Kutunggu!