Dalam beberapa minggu terakhir muncul kebijakan pemerintah untuk mempermudah masuknya tenaga kerja asing. Secara umum, adalah sebuah fakta bahwa Indonesia yang saat ini sedang gencar membangun sektor infrastruktur memang masih membutuhkan tenaga kerja asing.
Namun hakekatnya diperlukan paket kebijakan yang menyeluruh, yang mengatur tenaga kerja asing secara seimbang dan adil, sehingga dapat memberikan kepastian perencanaan kepada para pemangku kepentingan. Termasuk investor asing serta pengusaha, untuk memastikan investasi mereka dapat berjalan sesuai dengan rencana yang sudah ditentukan.
Demikian dinyatakan Ivan Taufiza, Ketua Umum Ikatan SDM Profesional Indonesia (ISPI) di kantor redaksi, Sabtu (10/3). Ivan melanjutkan, “Kebijakan tenaga kerja asing baru yang lebih modern, secara jangka panjang akan menjamin dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.”
Ditambahkannya, “Studi juga menunjukkan, tenaga kerja asing yang memiliki keterampilan tinggi memiliki korelasi positif pada pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Sebaliknya tenaga kerja asing yang tidak terampil, serta tidak memiliki nilai tambah, cenderung hanya mengganti tenaga kerja nasional.”
Ivan bersama seluruh anggota ISPI menyarankan, agar pemerintah segera membuat paket kebijakan tenaga kerja asing yang menyeluruh, konsisten, dan berkeadilan. Karena saat ini jumlah tenaga kerja asing terus bertambah setiap tahunnya. Bagaimana bisa melindungi rasa keadilan tenaga kerja nasional? Atau bahkan membalikkan kecenderungan untuk mempekerjakan tenaga kerja asing? Bagaimana kita melakukannya?
Menurut Ivan, minimal ada empat cara untuk membuat kebijakan tenaga kerja asing yang seimbang, sesuai dengan mekanisme pasar dan berkeadilan di Indonesia. Pertama, dengan melakukan survei tahunan tentang kondisi pemintaan dan penawaran pasar tenaga kerja asing.
Pihak independen melakukan semacam benchmark atau survei jumlah permintaan dan penawaran terhadap top 100 posisi, yang mencari tenaga kerja asing di seluruh Indonesia. Diperlukan basis data serta dokumen yang solid, untuk mendukung untuk menyatakan bahwa top 100 posisi tersebut memang sangat sulit untuk dikerjakan oleh orang Indonesia dan perusahaan harus mempekerjakan tenaga kerja asing.
“Cara kedua adalah membuat rasio jumlah tenaga kerja asing dibandingkan dengan banyaknya jumlah orang Indonesia (dengan jenjang tertentu), yang masih bekerja di perusahaan tersebut. Jadi, apabila Bank A ingin merekrut satu orang tenaga kerja asing untuk posisi Treasury Manager, maka Bank A tadi harus memastikan ada 15 Senior Supervisor orang Indonesia yang masih bekerja di sana. Skenario ini dapat dilakukan dengan sangat mudah karena pemerintah sekaligus bisa mengukur, mengelola atau bahkan menghukum perusahaan yang nakal,” lanjut Ivan dengan semangat.
“Cara ketiga, adalah perusahaan harus mengisi posisi manajemen kunci dengan minimal dua orang Indonesia. Ini berarti perusahaan tersebut harus merancang cara dan pengembangan yang berkelanjutan untuk melatih dan mempertahankan pekerja Indonesia yang profesional dan kompeten. Sehingga tidak mudah menggantikan posisi manajemen kunci dengan tenaga kerja asing,” tegas Ivan, yang telah menjalani karir HR Managemen di beragam Industri.
“Cara keempat, adalah dengan menerapkan rasio zona atau industri dan level. Secara berkala, pemerintah melakukan review dan menetapkan zona industri dengan jenjang tertentu, yang hanya boleh diisi oleh orang Indonesia dan tertutup bagi tenaga kerja asing. Misalnya, untuk zona industri perkebunan di bawah jenjang manajemen inti harus 100 persen diisi oleh orang Indonesia,” tutup Ivan, yang telah menulis buku “Membangun SDM Indonesia Emas.” ***