Bergesernya perilaku konsumen menjadi serba digital dibarengi dengan munculnya penyedia barang dan jasa yang juga masuk ke arena digital. Diantaranya adalah pinjaman online.
Industri perkreditan adalah salah satu industri tertua dalam peradaban manusia. Sejak jaman manusia mengenal uang, sejak itu pula manusia meminjamkannya. Setelah datang era internet, industri pinjaman pun bisa dilakukan secara online.
Kehadiran pinjaman online memang merupakan hal komplementer dari tumbuhnya industri belanja online. Pinjaman online memudahkan konsumen untuk membeli barang diluar kemampuan membayarnya pada saat membeli, yang dikembalikan dengan cara diangsur.
Tentu ada keuntungan yang diraih oleh perusahaan pinjaman online di luar biaya administrasi dan biaya dana yang haru ditanggung peminjam. Oleh karena itu wajar jika ada marjin tertentu yang dilebihkan dari jumlah pinjaman.
Masalahnya adalah ketika marjin keuntungan yang diambil oleh perusahaan pinjaman online amat berlebihan dan tidak masuk akal, disertai dengan ancaman dan penistaan martabat peminjam, maka sudah sepatutnya penegak hukum masuk ke ranah tersebut.
Sayangnya, meski telah memakan beberapa korban jiwa yang bunuh diri karena tidak kuat menghadapi teror perusahaan pinjaman online, penegak hukum baru terlihat sibuk bertindak setelah disentil oleh Presiden Joko Widodo yang mengeluhkan persoalan pinjol ilegal ini.
Kepolisian langsung menggerebek kantor perusahaan pinjol ilegal di berbagai kota dan menangkapi beberapa karyawannya, namun penyandang dana pinjol ilegal ini masih tak tersentuh. Biasanya satu penyandang dana mengelola beberapa perusahaan pinjaman online ilegal dan membuat lingkaran setan agar peminjam bisa diperas sebanyak-banyaknya.
Sulit memang mengedukasi masyarakat yang minim kemampuan literasinya untuk memahami bahayanya meminjam uang di aplikasi pinjol ilegal. Di sinilah peran pemerintah diharapkan untuk memberantas operasional rentenir digital yang telah merusak kehidupan banyak orang ini.