PEMBERDAYAAN MASYARAKAT INFORMASI DALAM PRESPEKTIF KEBERDAYAAN KOMUNITAS LOKAL (Part 1)

in informasi •  7 years ago  (edited)

image

Kemajuan teknologi saat ini tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Berbagai informasi yang terjadi di berbagai belahan dunia kini telah dapat langsung kita ketahui berkat kemajuan teknologi (globalisasi). Kalau dahulu kita mengenal kata pepatah “dunia tak selebar daun kelor”, sekarang pepatah itu selayaknya berganti; dunia saat ini selebar daun kelor, karena cepatnya akses informasi di berbagai belahan dunia membuat dunia ini seolah semakin sempit dikarenakan kita dapat melihat apa yang terjadi di Amerika misalnya, meskipun kita berada di Indonesia.
Gideens, menyatakan bahwa globalisasi malahirkan tuntutan dan kesempatan baru untuk me-regenerasi-kan identitas lokal.

Globalisasi juga menciptakan wilayah ekonomi dan
kultural baru yang mampu melintas batas negara. Oleh karena itu, pemerintah pusat seharusnya tidak lagi menjadi satu-satunya pengambil kebijakan. Senada dengan itu, Kenichi Ohmae menyatakan bahwa ”central government is no longer the only game in town. As a result, then is no longer single head bird in the flock of flying geese”. Selain itu, pemerintah tidak semestinya diidentifikasi dengan “sang pemerintah”-pemerintah nasional dan menjadi lebih luas jangkuannya. Pemerintahan (governance) menjadi suatu konsep yang lebih relevan untuk merujuk pada beberapa bentuk kedudukan administratif atau pengawasan.

Intinya, globalisasi merupakan rentang proses yang kompleks yang digerakkan oleh
berbagai faktor politis dan ekonomis. Globalisasi dapat mengubah kehidupan sehari-hari terutama di negara berkembang dan pada saat bersamaan mampu menciptakan sistem dan energi trans-nasional baru. Ia lebih dari sekedar menjadi latar belakang kebijakankebijakan kontemporer globalisasi mentranformasikan institusi-institusi masyarakat dimana kita berada, sehubungan dengan itu, Anthony Giddens menyatakan bahwa globalisasi secara langsung membawa beberapa konsekuensi kepada negara, sebagai berikut: (a) negara harus merespon globalisasi secara struktural; (b) negara harus memperluas peran ruang publik; (c) untuk mempertahankan atau memperoleh legitimasi, dan negara tanpa musuh harus meningkatkan efisiensi administrasinya; (d) tekanan globalisasi ke bawah tidak hanya memperkenalkan kemungkinan tetapi juga pentingnya bentuk-bentuk demokrasi yang lain dari sekedar pemungutan suara yang biasa kita kenal; dan (e) dibandingkan masa sebelumnya, negara tanpa musuh pada masa sekarang lebih menggantungkan legitimasi mereka pada kapasitas untuk mengelola resiko.
Konsekuensi pada huruf (a) tersebut di atas mengimplikasikan proses desentralisasi, namun bukan sebagai proses satu arah, melainkan globalisasi yang bisa menciptakan penalaran dan dorongan yang kuat tidak hanya pada transfer otoritas ke bawah tetapi juga ke atas. Gerakan globalisasi membuat pemerintah lebih responsif terhadap tuntutan masyarakat dan membuat kebijakan yang sesuai dengan kondisi lokal (asas subsidiaritas). Menurut pendapat Foy, “doing things and taking decisions at the lowest level as posibble. If it is whole hearttedly carried out in normal organisations subsidiarity will give better performance.” Berikutnya konsekuensi pada huruf (b), mengimplikasikan adanya reformasi konstitusional yang diarahkan pada transparansi dan pemberian peran yang lebih besar kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam penentuan kebijakan yang berhubungan dengan kebutuhan lokal dan menyentuh kebutuhan masyarakat (discretionary power and participatory development).

Buch & Hansen, menyatakan bahwa pendekatan pembangunan partisipatoris harus mulai dengan orang-orang yang paling mengetahui sistem kehidupan mereka sendiri. Pendekatan ini harus mulai menilai dan mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan mereka dan memberikan saran yang perlu bagi mereka agar dapat mengembangkan diri.
Hal ini tentunya memerlukan perubahan dalam praktek dan pemikiran, selain bantuan pembangunan. Dari Mikkelsen disampaikan bahwa dalam paradigma pembangunan partisipatoris terdapat dua prespektif, yakni; Pertama, pelibatan masyarakat setempat dalam proses pemilihan, penela’ahan, perencanaan, dan pelaksanaan pembangunan yang mewarnai kehidupan mereka, sehingga kelak dijamin semua persepsi setempat, pola pikir dan prilaku serta nilai-nilai dan pengetahuan mereka ikut dipertimbangkan secara penuh. Kedua, membuat umpan balik (feedback) yang pada hakikatnya merupakan bagian yang tidak terpisah dari kegiatan pembangunan.

Paradigma pembangunan partisipatoris mengibaratkan, bahwa masyarakat mengoptimalkan kemampuan dan ketrampilannya dalam proses pembangunan. Dengan demikian, kompetensi (profesionalitas) merupakan kunci pembinaan sumber daya manusia pada tatanan; birokrasi, masyarakat, dan dunia usaha. Selanjutnya secara profesional mereka menjalankan peran masing-masing sesuai kemampuannya. Agar tujuan pembangunan dapat tercapai, hendaknya perencanaan pembangunan dibuat bersifat ”aspiratif-akomodatif” terhadap kebutuhan dan potensi masyarakat lokal. Pada akhirnya pembangunan bisa dinyatakan berhasil, apabila tersedia instrumen pengukuran untuk mengetahui sejauhmana keberdayaan masyarakat lokal akibat dari suatu proses pembangunan.

Sumber:

Buch-Hansen, Ellen, 1991, Cummunity Paricipation: A Precondition for Sustainable

Foy, Nancy, 1994, Empowering People at Work. Grower Publishing Company London.

Gidens, Anthony, 1999, The Third Way: The Renewal of Social Democracy. Blackwell Publisher, Ltd. Maiden.

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

Hi! I am a robot. I just upvoted you! I found similar content that readers might be interested in:
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_SEKOLAH/194505031971091-MUHAMMAD_KOSIM_SIRODJUDIN/PM.pdf