Kawan, ketika Anda membaca ini saya berharap tiada kurang satupun nikmat yang diberikan Tuhan kepada Anda. Nikmat sehat. Nikmat rezeki. Dan nikmat cinta yang terus mengalir dari orang-orang terkasih.
Namun kalaupun detik ini, saat Anda membaca tulisan ini, salah satu nikmat tersebut sedang disita oleh Tuhan, saya berharap Anda janganlah bersedih hati. Ada sebuah pepatah Aceh yang mengandung nasehat baik bagi kehidupan. Saya ingin menyetir sedikit pepatah Aceh itu untuk menghibur Anda yang sedang disita sejenak kenikmatan olehNya.
Pepatah Aceh yang saya setir [sangat memaksa] itu mengatakan begini, “Pat hujeun nyang hana pirang. Pat nikmat nyang hana teuka gisa.”
Kawan, tidak ada hujan yang tidak akan berhenti. Begitu juga dengan kenikmatan Tuhan. Selagi Anda berusaha, meminta, berharap, berdoa, tidak ada kenikmatan Tuhan yang tidak datang kembali. Percayalah.
Baiklah. Garing ya? Makhlumi saja, kawan.
Apa yang saya katakan di atas anggap saja sebagai lelucon garing dari seseorang yang ini berkenalan. Sungguh saya tak tahu cara seperti apa untuk berkenalan dengan Anda semua.
Pertama sekali menggunakan Steemit, saya seperti orang yang masuk ke rumah orang lain tanpa lihat kiri kanan. Tanpa mengucapkan salam dan memperkenalkan diri. Saya merasa bersalah.
Tapi saya tak mau terus dihantui rasa bersalah itu. Saya sudah memutuskan untuk menebusnya segera.
Kalau boleh cerita, awal rasa bersalah itu muncul ketika saya seperti kehilangan cara bersopan-santun saat pertama sekali masuk ke sosmed yang sedang riuh diperbincangkan ini. Saya seperti masuk ke rumah seseorang tanpa memberi salam. Memperkenalkan diri secara baik-baik.
Padahal budaya memberi salam, dan budaya sopan santun lainnya, adalah kebudayaan paling tua di daerah saya di Aceh. Kami di sini sudah diajarkan sopan santun bahkan sejak masih di dalam ayunan.
Tapi saya abai. Saya langsung saja menyerobot masuk dengan memposting sebuah tulisan hingga mendapat teguran—mungkin lebih tepatnya nasehat, oleh Kak @mariska.lubis. Katanya, ada baiknya sebelum memposting tulisan di Steemit terlebih dahulu memperkenalkan siapa diri saya. Ini penting. Sebab kalau ingin menjadi Steemian, memperkenalkan diri adalah pintu utama agar kita tidak dikira sebagai akun robot.
Saya benar-benar tak tahu, bahwa ada sebuah kata kunci introduceyourself di Steemit yang penting untuk saya pahami. Saya merasa beruntung [tipe orang indonesia banget ini] dinasehati oleh Kak Mariska. Atas nasehat ini saya ingin mengucapkan terima kasih padanya.
Kawan, apa ya... yang harus saya jelaskan kepada Anda tentang siapa diri saya sebenarnya? Saya bingung. Rasa-rasanya tak ada hal yang menarik pada diri saya yang patut Anda ketahui.
Sebab saya lahir dari keluarga yang biasa-biasa saja di sebuah kabupaten di wilayah barat daya provinsi Aceh, tepatnya di Susoh. Nama yang sangat asing bagi Anda, bukan?
Tumbuh besar di sana hingga waktu akhirnya mengantarkan saya ke sebuah tempat bernama Banda Aceh. Saya mulai hidup di Banda Aceh ketika masa-masa lembaga non-pemerintah yang bekerja untuk rehap-rekon Aceh pasca tsunami, satu per satu mulai angkat kaki. Misi utama saya dikirim ke Banda Aceh oleh orangtua adalah untuk kuliah.
Tapi saya sedikit nakal sampai tak mengindahkan secara total misi utama itu. saya, sama seperti halnya anak-anak muda yang tengah mencari jati diri, lebih asik berteman dan mengembangkan diri sesuai keinginan hati dari pada duduk di ruang kelas mendengarkan kutbah dosen.
Hingga pada suatu hari, saya menemukan sebuah komunitas yang hari ini menurut saya sedikit tidaknya telah membantu saya menemukan jati diri. Komunitas itu adalah I Love Aceh.
Awalnya I Love Aceh sebuah komunitas yang unik. Bagi saya komunitas ini persis seperti taman kanak-kanak. Tempat bermain sepuasnya dan belajar sesuatu tanpa paksaan.
Masuknya saya ke I Love Aceh itu terjadi di tahun-tahun migrasi netizen secara masif dari Facebook ke Twitter.
Bersama teman-teman di I Love Aceh, kami aktif berkegiatan di sosmed Twitter.
“loh kok kegiatannya di Twitter? Emang ngapain?” mungkin ada yang bertanya demikian.
Jadi begini. Komunitas I Love Aceh itu memang aktifnya di Twitter. Nyaris semua kegiatan kami terpusat sacara online. Paling kegiatan “dunia nyata”-nya, ya ngumpul-ngumpul. Minum kopi sambil ketawa-ketawa. Kadang sesekali terlibat di acara seni dan budaya, baik yang diselenggarakan pemerintah atau komunitas lain.
Di komunitas ini kami bisa berperan sebagai apa saja di balik kemudi akun [@]iloveaceh. Kadang menjadi pejabat pemerintah yang tengah menampung keluh kesah netizen sebab ulah jalan berdebu yang tak kunjung diaspal di depan rumahnya. Kadang bisa jadi agen wisata, yang giat mempromosikan tempat-tempat wisata di Aceh. Kadang menjadi seperti “google” yang saban hari memberikan jawaban dari siapapun yang bertanya khusus tentang Aceh.
Kadang kami seperti pemadam kebakaran yang bertugas meredam berita negatif dengan kata kunci Aceh yang berseliweran di Twitter yang belum tentu kebenarannya, atau belakangan ini lebih populer disebut berita hoax.
Mengurus I Love Aceh kami kerjakan sambil bersenang-senang. Segala yang kami lakukan dulu itu tanpa dibayar. Tapi semangat kami tak pernah kendur untuk membuat wajah Aceh kelihatan positif di mata dunia.
Saya keluar dari komunitas I Love Aceh ketika lampu kuning masalah kuliah saya mulai menyala. Teman-teman seangkatan di kampus sudah mulai ada yang wisuda. Di kampung, orangtua tak henti mendesak ingin melihat saya mengenakan toga. Saya tak bisa berkata apa-apa, apa lagi membantah. waktu terus bergerak. Saya harus mengambil sikap. Saat itu barangkali perasaan saya sama seperti perasaan para petinggi Twitter di Amerika sana, yang tak punya kuasa membendung netizen bermigrasi ke Instagram. Hanya bisa pasrah. Berserah diri kepada Tuhan.
Saya memutuskan keluar dari I Love Aceh dan mulai mengurus urusan kuliah. Nasib baik masih menyelimuti saya. Kuliah selesai.
Beberapa tahun berada di komunitas I Love Aceh banyak hal yang saya pelajari. Di komunitas ini saya juga dipertemukan dengan dunia literasi. Kebetulan, I Love Aceh punya website komunitas. Saya disuruh bersenang-senang oleh teman-teman menulis apa saja di sana. Awalnya saya takut. Saya benar-benar tak bisa menulis.
Beberapa teman di I Love Aceh telah lebih dulu terjun menjadi blogger. Saya diajari dan disemangati menulis oleh mereka. Saya merasa beruntung sebab pada akhirnya, saya mencintai dunia ini sepenuh hati. Saya mulai menulis sejak berada di komunitas ini.
Ternyata setelah saya geluti, menulis bukan perkara yang sulit. Tapi bukan juga perkara yang gampang.
“Tapi bagaimana caranya? Ada nggak trik khusus?” kalau ada yang bertanya demikian, kasih saja kata-kata yang diucapkan Walt Disney ini “Cara memulai adalah dengan berhenti berbicara dan mulai melakukan.”
Mulai saja dengan kalimat awalmu. Terus saja menulis. Bayangkan menulis itu seperti waktu Anda masih kecil belajar sepeda. Ambil sepedanya dan mulailah mengayuh. Jatuh sekali, bangun lagi. Kayuh lagi. Jatuh. Bangun lagi. Kayuh lagi. Harus gigih.
Baiklah kawan, saya rasa cukup sekian aja ya yang perlu saya jelaskan tentang siapa diri saya sebenarnya.
Yang jelas, nama saya Alfath Asmunda. Sekarang menetap hidup di pinggiran kota Banda Aceh. Saya selalu punya pandangan tempat apapun yang saya kunjungi adalah sekolah. Tiap orang yang saya jumpai adalah guru. Saya berharap Steemit ini adalah sekolah. Tempat belajar. Dan orang-orang yang ada di sini adalah guru.
Oh ya, kalau Anda senang menulis, menggilai buku-buku, menjadikan membaca sebagai hal yang candu, senang diskusi tanpa naik tensi, mulai hari ini kamu adalah sahabatku.
Saleum.
Welcome to Steemit, I hope it can bring you a great income. Ill be sure to follow you and a follow back or upvote would be great!
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit