Agama adalah akhlak. Begitu nilai-nilai yang ditanamkan Rasulullah pada sahabat. Lalu ditransformasikan ke jiwa para tabiin, tabi’it tabiin, sampai pada wali, ulama, dan leluhur bangsa.
Teringat sebuah kisah ulama yang sempat menjadi murtad. Kisah ini saya dengar dari tausiyah Syekh Rohimuddin An Nawawi Al Bantani, keturunan ulama besar: Syekh An Nawawi al Bantani.
Kurang lebih begini kisahnya…
Alkisah ada seorang Ulama besar yang punya majelis dengan murid banyak. Suatu ketika, datang seorang wanita cantik jelita.
Allah menghujamkan rasa cinta pada ulama itu kepada sang wanita. Lantaran besarnya cinta, sang ulama berniat menikahinya.
Diselidiki latar belakang wanita itu. Ketika memastikan tempat tinggalnya, sang ulama berkunjung.
Beliau bertemu dengan pria yang ternyata ayah dari wanita yang diincarnya. Diutarakanlah keinginannya menikahi sang putri.
“Boleh saja, tapi ada syaratnya,” kata ayah dari wanita itu. Syarat yang diajukan adalah melepaskan jubah dan surban. Ulama menuruti.
Namun, yang dimaksud jubah dan surban adalah agamanya. Ya, wanita yang diincar ulama itu adalah non-Muslim. Ayahnya meminta ulama tersebut melepaskan Islam.
Apa yang terjadi? Karena cintanya, ulama itu pun menuruti. Ternyata syarat itu belum cukup. Ayah dari wanita itu minta syarat lain.
Mengurusi hewan ternak yang masih kecil. “Jika hewannya sudah besar, baru boleh kau nikahi anakku.” Diberi syarat itu, lagi-lagi sang ulama menyetujui.
Di tempat lain, murid-muridnya bingung lantaran gurunya tak ada di majelis. Dinanti beberapa hari tak kunjung datang. Ditanya ke sana ke sini tak ada yang tahu.
Hingga datang informasi mulut ke mulut jika guru mereka berada di tempat wanita non-Muslim, mengurus ternaknya dan telah menjadi murtad.
Muridnya menyambangi. Benar saja, guru yang juga ulama besar di daerah tersebut telah berpindah agama. Lalu apa tindakan muridnya?
Kaget? Tidak. Marah? Boro-boro. Mencaci dan menyakiti gurunya? Tidak sedikit pun cercaan dan atau tudingan yang keluar dari lisannya. Lantas?
Murid itu tersenyum. Ia gembira. “Duhai guru, apa kabar?” sapanya dengan lembut. Ulama besar yang pindah agama itu malu. Ia enggan menatap muridnya. Enggan menyapa balik.
“Siapa kamu? Pergi. Aku tidak kenal,” jawab sang guru. Muridnya tak pergi. Ia malah mendekati. Lalu bersimpuh di kaki gurunya.
“Hari ini aku lebih mencintaimu dibanding hari-hari sebelumnya.” Murid itu melanjutkan:
Guru, dulu engkau mendidik kami jika Allah maha membolakbalikkan hati. Dulu engkau mendidik kami tak ada yang bisa diperbuat manusia kecuali atas izin Allah. Engkau ingatkan kami, manusia tempatnya salah dan dosa.
Guru, hari ini apa yang kau katakan dulu telah terbukti. Hanya Allah yang maha membolakbalikkan setiap hati manusia. “Kembalilah guru…”
Deg! Dada sang guru terguncang. Beliau menangis. Kembali bersyahadat. Memeluk muridnya. Lantas, kembali ke majelis. Membersihkan diri. Bertobat.
Betapa dahsyat akhlak keduanya. Tak ada kemarahan, tak ada kekecewaan, tak ada caci maki, tak ada bantah membantah, apalagi fitnahan, dan tudingan. Alih-alih pembunuhan.
Guru dan muridnya menyadari manusia tempat salah dan dosa. Mereka saling mengingatkan, menyadarkan, menyentuh jiwa dan hati dengan kelembutan serta kasih sayang. Berharap muncul hidayah dari Allah.
Allah pun membalikkan hati sang ulama. Hingga akhirnya kembali mendidik murid-muridnya di majelis tersebut. Masya Allah indahnya. Malu sekali mendengar kisah itu.
Elok nian kemuliaan akhlak. Alangkah gembiranya kalau akhlak mereka bisa ditauladani para ulama, ustaz, dan aktivis dakwah di Indonesia.
Alangkah geram dan takutnya musuh-musuh Islam jika umat bersatu. Berteduh dalam satu payung bernama: ukhuwah Islamiah.
Tapi, sebaliknya. Begitu senangnya musuh-musuh Islam melihat umat terkotak. Sesama ustaz saling klaim, saling balas bantahan, lalu diikuti murid-murid dan atau jamaahnya.
Belum cukup. Tak hanya bantahan di forum terbuka, tapi juga caci maki. Tudingan bidah, sesat, kafir, musyrik dilemparkan dengan enteng: hanya lantaran beda amaliyah. Sesuatu yang telah dituntaskan para Imam Mazhab.
Klaimnya ahli sunah. Tapi akhlaknya? Hanya Allah yang mampu menilai dan menghakimi.
Oh, sayang sekali tapi. Kami terlalu taat mengikuti yang dipertontonkan. Saling tuding terlanjur mengular. Sudah merembet ke sosial media, melebar ke media massa, meluas ke kehidupan umat dan berbangsa.
Mengacak-acak ukhuwah. Merobek-robek nilai welas asih, persatuan, tepo seliro, saling memahami, saling menyayangi, saling memaklumi, yang telah dijaga para Ulama terdahulu.
Hi! I am a robot. I just upvoted you! I found similar content that readers might be interested in:
https://kkaswaja.com/2018/02/kisah-ulama-murtad-dan-ahli-sunah/
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit