Setiba di stasiun kereta Jakarta Kota, saya melangkahkan kaki ke utara hingga sampai Pelabuhan Sunda Kelapa di muara Sungai Ciliwung. Dahulu wilayah tepi laut ini merupakan pelabuhan Kerajaan Sunda yang beribukota di Pakuan Pajajaran (kini Bogor) dan dinamakan Kalapa, karena banyak pepohonan kelapa. Di sini dijual lada salah satu komoditas rempah yang sangat dicari oleh pedagang asing kala itu. Lokasi pelabuhan yang strategis serta pintu masuk menuju pedalaman Sunda yang kaya rempah menjadikan pelabuhan ini ramai dikunjungi pedagang dari berbagai wilayah Nusantara serta Eropa.
Pelabuhan dan daerah sekitarnya kemudian disebut Sunda Kelapa. Dahulu Sungai Ciliwung bahkan dapat dilintasi kapal-kapal dagang bertonase sedang sementara kapal bertonase berat berlabuh di depan pantai. Kini Pelabuhan Sunda Kelapa hanya berfungsi sebagai pelabuhan antar pulau dengan ukuran kapal kecil hingga sedang. Aktivitas bongkar muat dengan cara tradisional masih ditemukan dengan komoditas berupa sembako, kelontong, bahan bangunan, tekstil dan hasil bumi.
Alkisah pada 1522, raja Sunda mengundang Portugis guna membangun benteng di Sunda Kelapa serta meminta bantuan untuk melindungi Sunda Kelapa dari serangan Kesultanan Cirebon maupun Demak. Sebuah kesepakatan berlangsung di mana Portugis berjanji mendirikan loji (perkantoran dan perumahan yang dilengkapi benteng) serta menyediakan senjata sementara Sunda menghadiahkan 1.000 keranjang lada. Sebuah prasasti disebut Padrao dibangun untuk mengenang perjanjian tersebut.
Kesultanan Demak Jawa Tengah melihat persekutuan Sunda Pakuan Pajajaran dengan Portugis sebagai sebuah ancaman. Tidak ingin Portugis tumbuh besar dan berkuasa penuh seperti halnya di Malaka, Demak menyerang Portugis di Sunda Kelapa pada 1527. Demak beraliansi dengan Cirebon mengirim pasukan gabungan berkekuatan 2.000 tentara dipimpin oleh Fatahillah. Fatahillah sendiri adalah perantau asal Pasai di pantai utara Aceh yang tiba di Demak pada 1524. Lantas siapakah Fatahillah dan mengapa diangkat sebagai panglima tertinggi Demak-Cirebon?.
Dari informasi yang dipamerkan di Museum Fatahillah dilengkapi lukisan Fatahillah. Lahir bernama Maulana Fadhillah pada 1471, Fatahillah dibesarkan di lingkungan Kesultanan Pasai. Beliau memiliki beragam nama lokal yang menggambarkan bangsawan seperti Ratu Bagus Paseh, Tubagus Paseh (gelar Banten), Wong Agung Sebrang (gelar Jawa), Fadhillah Khan, Pangeran Pasee. Sementara Portugis menyebutnya Falatehan. Fatahillah memperoleh pendidikan kemiliteran laut serta ilmu-ilmu agama. Pengetahuan dan pengalaman militer yang mumpuni menjadikan Fatahillah dipercaya sebagai panglima tertinggi pasukan gabungan.
Sumber Portugis dan Belanda menyebutkan bahwa setelah Pasai jatuh ke tangan Portugis pada 1521, Fatahillah pergi ke Mekkah selama 3 tahun. Ketika pulang, Fatahillah yang mendapati Pasai masih dikuasai Portugis melanjutkan perjalanan hingga tiba di Demak, Kerajaan Islam pada 1524. Di sana Fatahillah mengabdi kepada Sultan Trenggana dan kemudian mendapat penugasan mengusir Portugis di Sunda Kelapa. Fatahillah melihatnya sebagai peluang untuk membalas kekalahan Pasai dari Portugis. Pada 22 Juni 1527, Fatahillah dan pasukannya berhasil memenangi pertempuran melawan Portugis dan mengganti nama Sunda Kelapa menjadi “Jayakarta” yang berarti “Kota Kemenangan”. Setiap tanggal 22 Juni diperingati sebagai hari jadi Kota Jakarta. Terkait penamaan “Jayakarta” timbul pertanyaan, sebagai seorang Aceh mengapa menyematkan nama yang diambil dari bahasa Sanskerta. Boleh jadi penamaan Jayakarta untuk Sunda Kelapa yang ditaklukan merupakan amanah dari Sultan Demak. Fatahillah adalah seseorang yang menjaga amanah, jejak kepahlawanan yang patut diteladani.
Namanya diabadikan menjadi nama museum yang menempati gedung bekas balai kota Batavia (dibangun pada 1707-1712) serta jalan dan taman yang menjadi sentral kawasan Kota Tua Jakarta. Pada 1974 Museum Fatahillah bernama resmi Museum Sejarah Jakarta, simbol patriot Aceh. Di salah satu ruangan museum ini pernah pula beristirahat Cut Nyak Dien setiba dari Aceh pada 1906 sebelum menempati rumah besar di Menteng yang kini menjadi Mesjid Cut Nyak Dien, Jakarta Pusat. Setelah dioperasi, beliau diasingkan ke Sumedang.
Destinasi saya berikutnya adalah reruntuhan bekas Kasteel (Benteng) Batavia. Lokasinya berada di jalan Tongkol Pademangan masih di Kota Tua, 500 meter di utara Museum Fatahillah. Kini yang tersisa hanya bekas tembok benteng dan beberapa bangunan yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan VOC kala itu. Di dalamnya dibangun pula rumah pembesar VOC serta Gubernur Jenderal. Kondisinya kini kumuh, tidak terawat dan langitnya dilintasi Jalan Tol Lingkar Luar. Jejak orang Aceh di sini terkait peristiwa kematian Jan Pieterszoon Coen. Coen adalah Gubernur Jenderal Hindia Belanda penakluk Kota Jayakarta dan mendirikan Batavia di atas reruntuhannya pada 30 Mei 1619. Terkenal pula karena pembantaiannya di Banda, Maluku.
Melansir historia.id dengan sumber valid, Coen terbunuh oleh prajurit intelijen Kerajaan Mataram yang disusupkan ke dalam Kasteel Batavia pada 1629. Alkisah pada rencana penyerbuan kedua Mataram atas Batavia, Sultan Agung berupaya memperkuat basis intelijen kerajaan sejak 1627. Seorang wanita asal Tapos Bogor yang memiliki kemampuan telik sandi dikirim ke Pasai Aceh guna mendalami ilmu intelijen. Pasai kala itu sudah lepas dari Portugis dan menjadi bagian Kesultanan Aceh. Kesultanan Aceh masa itu berada dalam periode kejayaannya di bawah Sultan Iskandar Muda (1607-1636).
Di Pasai, wanita yang bernama Nyimas Utari ini menikah dengan seorang agen telik sandi lokal bernama Mahmuddin. Pria ini bernama sandi Wong Agung Aceh. Mahmuddin yang berprofesi sebagai saudagar membina bisnis yang dekat dengan VOC di Batavia. Saat itu Kesultanan Aceh dan VOC adalah mitra dagang. Pada 1602, Aceh mengirim duta besar ke Belanda. Mengingat kejayaan Aceh masa itu, keberadaan orang Aceh sangat disegani Belanda. Sebagai mitra bisnis, pria Aceh ini serta istrinya, Nyimas Utari, dapat dengan mudah memasuki Kasteel Batavia dan bertemu Coen dan keluarga.
Kala Mataram kembali menyerang Batavia, Mahmuddin masuk ke ruangan Coen dan menewaskannya dengan golok Aceh (Kelewang-pedang khas Aceh). Ketika meninggalkan Kasteel, Nyimas Utari terkena tembakan Kompeni dan meninggal dunia. Makamnya berada di Desa Keramat, Tapos. Jasad Coen sendiri awalnya dikuburkan di balai kota Batavia (kini Museum Fatahillah) sebelum dipindahkan ke areal perkuburan di halaman gereja yang kini menjadi Museum Wayang. Namun, sumber sejarah Belanda (setelah melakukan penggalian) meragukan kalau kuburan tersebut berisi jasad Coen. Setelah menewaskan Coen, Mahmuddin lewat perantara prajurit Mataram membawa jasad Coen ke Sultan Agung. Oleh Sultan, jasad Coen ditanam pada anak tangga ke-716 di pemakaman raja-raja Jawa di Imogiri. Ketika menginjak tangga ke-716 ada ritual menghentakkan kaki tanda pengutukan terhadap jiwa Coen.
Ada baiknya pegiat sejarah Aceh menghimpun kembali jejak kepahlawanan orang Aceh di Kota Tua dalam bentuk narasi sejarah berikut diorama dan budaya Aceh-Pasai untuk diusulkan ke pengelola museum guna melengkapi koleksi sejarah yang dipamerkan di Museum Fatahillah. (Penulis: Yopi Ilhamsyah, Pegiat Sejarah)