Infrastrukturisme Jokowi
Saiful Mahdi*
Mereka yang skeptis, terutama dari kalangan oposisi, menuduh fokus pada infrastruktur di bawah Presiden Jokowi sudah kebablasan. Daya ungkitnya terhadap perekonomian Indonesia juga belum terlihat. Anggaran negara sudah kedodoran dan hutang Indonesia membengkak karena besarnya kebutuhan anggaran untuk berbagai proyek infrastruktur di bawah Jokowi. Sejak 2016, memang banyak anggaran departemen dan lembaga yang dipotong demi pendanaan infrastruktur.
Apakah Jokowi sedang mengulangi kegagalan pembangunan ala Orde Baru atau rejim sebelumnya yang konon juga punya fokus pada infratruktur? Atau ada yang beda dengan fokus pembangunan infrastruktur ala Jokowi?
Pemerintahan Jokowi bisa jadi sedang menggunakan resep pembangunan infrastruktur konvensional yang dipercaya sebagai pengungkit pertumbuhan ekonomi dan sebagai usaha mitigasi dampak resesi ekonomi. Resep ini, misalnya, menyatakan bahwa “Jalan adalah urat nadi perekenomian”. Tentu saja “jalan” di sini bisa jalan, jalan tol, jalur kereta api, subway, busway, tol darat maupun laut. Intinya, jika pergerakan manusia dan barang jadi sangat mudah dan murah, ekonomi akan tumbuh dan diharapkan kesejahteraan akan meningkat. Tapi Jokowi jelas punya cara yang berbeda dan karena itu layak disebut “Infrastruktur-isme Jokowi”, fokus pembangunan infrastruktur ala Jokowi.
Infrastruktur dan pertumbuhan
Fokus pada pembangunan infrastruktur seringkali diklaim sebagai resep ampuh dalam usaha merangsang dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Pandangan dasarnya adalah infrastruktur seperti jalan dan jembatan, pelabuhan, bandara, bendungan, jalur kereta api, listrik, dan sarana telekomunikasi adalah urat nadi perekonomian. Pembangunan infrastruktur juga bisa menjadi resep ampuh dalam bertahan dan kemudian bangkit dari resesi ekonomi.
Di tengah banyang-bayang Depresi 1930, Presiden Amerika, Eisenhower, mulai membangun ribuan kilometer highways (jalan tol) hingga pembangunan Hoover Dam yang terkenal itu sebagai bagian dari invetasi publik terbesar pada 1950-an. Recovery Act 2009 yang meningkatkan investasi pemerintah Amerika untuk infrastruktur publik dianggap berhasil meredam dampak Resesi 2008.
Jepang pasca perang dunia kedua juga bangkit lewat pembangunan infrastruktur. Kebijakan investasi publik besar-besaran juga yang dipakai Jepang saat menghadapi resesi setelah krisis minyak 1974 dan Resesi Heisei setelah 1991.
Cina tidak menjadi raksasa ekonomi dunia secara tiba-tiba. Investasi besar-besaran di sektor infrastruktur telah mejadi kebijakan utama sejak 1990-an. Dalam artikel pada tahun 2013, “Chinese Infrastructure: The Big Picture”, McKinsey malaporkan, “Pembangunan infrastruktur tetap menjadi prioritas utama pemerintah Cina, yang sudah sejak lama mengakui bahwa ekonomi modern berlari pada jalan dan jalur kereta api, listrik, dan telekomunikasi yang dapat diandalkan”.
Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina juga melakukan investasi pada sektor infrastruktur secara besar-besaran dengan memanfaatkan berkah harga minyak, gas dan tingginya harga beragam komoditas pertanian sejak 1970-an. Ketiga negara terakhir itu sempat belajar banyak dari bahkan memanfaatkan perusahaan-perusahaan pembangun infrastruktur dari Indonesia sejak 1980-an.
Infrastrukturisme Jokowi
Apakah pemerintahan Jokowi sedang menggunakan resep tersebut untuk Indonesia? Pro-kontra manfaat pembangunan infrastruktur sebagai pengungkit pembangunan ekonomi Indonesia sudah sering kita baca dan dengar lewat berbagai media. Di sisi lain, walaupun termasuk yang masih tumbuh positif dan cukup tinggi, Indonesia tak lepas dari pengaruh resesi global sejak 2008 itu.
Lantas apa yang membedakan fokus infratsruktur era Jokowi dari era pemerintah sebelumnya?
Pertama, Jokowi memulainya dengan melihat proyek-proyek infrastruktur yang sudah ada atau sedang dibangun. Ternyata banyak proyek itu yang mangkrak atau tidak fungsional. Ada embung dan irigasi raksasa dibangun, tapi saluran air yang seharusnya mengalirkan air ke sawah petani tidak ada! Tahun 2016 pemerintah Jokowi menemukan proyek mangkrak senilai Rp 143 triliun, sebagian besar proyek pembangunan tol, kelistrikan, dan jalur kereta api.
Kedua, Jokowi memulainya dari pinggir dan menggelontorkan dana sangat besar untuk pembangunan infrastruktur di luar Pulau Jawa dan untuk pembangunan perdesaan. Di masa Jokowi lah keberpihakan pada daerah luar Jawa dan pada penduduk desa nyata lewat politik anggaran. Ini berkebalikan dari resep konvensional pemerintahan sebelumnya yang selalu memulai pebangunan dari “pusat-pusat pertumbuhan” dengan harapan pusat pertumbuhan ini akan memberi efek menetes ke wilayah di sekitarnya dan jenjang di bawahnya. Terbukti, trickle down effect ala ekonomi neo-klasik ini tidak jalan dan kini sering menjadi kambing hitam tertinggalnya pembangunan di banyak negara berkembang. Karena kapitalisme agung yang seharusnya mendistribusikan kekayaan justru telah menjadi kapitalisme rakus yang tujuannya hanya untuk akumulasi kekayaan segelintir warga di atas penderitaan warga negara lainnya.
Ketiga, Jokowi memastikan bukan hanya fungsionalisasi, tapi juga konektivitas infrastruktur antar wilayah dan antar jenis infrastruktur. Sebelumnya ada proyek infrastruktur yang tidak berfungsi karena tidak terhubungnya berbagai infrastruktur itu dengan beragam sektor ekonomi di sekitarnya.
Jokowi, misalnya, mengingatkan agar infrastruktur jalan dan pariwisata sekitar bendungan juga harus dipikirkan. Karena banyak bendungan di berbagai wilayah ternyata juga menjadi objek wisata tapi tak pernah disiapkan sejak awal. Bahkan ada bendungan yang tidak punya saluran sampai ke sawah penduduk dengan alasan dinas pekerjaan umum dan dinas pengairan adalah dua direktorat yang berbeda.
Keempat, Jokowi lebih total dan sungguh-sungguh. Sang Presiden secara teratur memeriksa sendiri pembangunan proyek-proyek infrastruktur itu. Tidak seperti para pemimpin sebelumnya yang hanya datang untuk meresmikan saat proyek “selesai”. Dengan cara ini, Jokowi ikut memastikan para mentri dan pimpinan wilayah dimana proyek itu berada melangkah bersama dengannya.
Investasi publik lewat pembangunan infrastruktur memang bukan panacea. Tapi jika dilakukan dengan benar, resep ini sudah banyak bukti keberhasilannya. Semoga Jokowi dan pemerintah Indonesia kali ini melakukannya dengan benar.
Kalaupun tidak, nama Jokowi tetap layak dikenang ketimbang mereka yang bertanggung jawab dengan berbagai proyek infrastruktur yang tidak fungsional atau magkrak. Seperti proyek Tol Becakayu yang baru diresmikan Jokowi Jumat (3/11/2017) setelah 20 tahun mangkrak! ‘
Karena itu, model pembangunan infrastruktur ala pemerintahan Jokowi ini layak kita tabalkan sebagai “Infratsrukturisme Jokowi”.
*Saiful Mahdi, PhD adalah doktor dari Program Regional Science, Perencanaan Kota dan Wilayah, Cornell University; Staf Pengajar di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Email: [email protected]
Congratulations @saiful.mahdi! You received a personal award!
Click here to view your Board
Do not miss the last post from @steemitboard:
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Congratulations @saiful.mahdi! You received a personal award!
You can view your badges on your Steem Board and compare to others on the Steem Ranking
Vote for @Steemitboard as a witness to get one more award and increased upvotes!
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit