Coffee Culture

Aceh memiliki budaya minum kopi sepanjang sejarah negeri para sultan di ujung pulau Sumatra ini. Minum kopi di warkop adalah keseharian warga Aceh setiap hari.

Warkop tumbuh dan berkembang sama dengan pembangunan infrastruktur modern sepanjang wilayah Aceh. Nilai rupiah capai milyaran dari air hitam yang diminum perorang hingga dua tiga gelas sehari.

Sementara setiap tahunnya, nilai uang dari kopi ini capai trilyunan. Sebuah nilai rupiah menjanjikan dari air yang dibumbui kopi.

Warkop di Aceh, bukan saja tempat minum kopi, tapi juga tempat bisnis, transaksi, diskusi dan silaturahmi serta tempat wisata.

Minum kopi menjadi kultur masyarakat Aceh yang bernilai fantastis. Di belahan laun Aceh, tepatnya Dataran Tinggi Gayo, kultur minum kopi bersensasi lain.

Penduduk Dataran tinggi yang bersuhu dingin ini meminum kopi jenis arabica yang tumbuh di halaman rumah mereka. Gaya munum kopi moderen begitu tren saat ini.

Jika dahulu minum kopi warkop, kini tidak lagi. Minum kopi bisa dilakukan di simpang jalan dan bahkan tempat wisata sekalipun. Kopi disuguhkan dari kafe mobil yang berjumlah puluhan.

Dalam kafe mobil, tersedia mesin moderen otomatis, buatan Itali dan China. Suguhan menu berbasis arabica ini seperti, espresso, black dan sanger. Dengan kopi pavorit, Kupi tubruk.

Nilai uang dari kopi arabica gayo ini capai rp. 2-4 trilyun setiap tahun dari kopi yang dieksport ke luar negeri. Terbanyak ke Amerika.

Jika diluar gayo, harga pergelas black coffee dibandrol rp. 20ribu. Di gayo dihargai hanya rp. 8ribu saja.

Para penikmat kopi mobil dan warkop ini adalah kalangan menengah dan pelajar. Saat ini, tradisi minum kopi yang digongseng dengan mesin roast modern ini sudah merambah hingga ke kampung.

Coffee culture di Aceh ini mirip di negara - negara luar, di Barat dan Turki serta negara Afrika.