Photo by Dayne Topkin on Unsplash
Audiation. Sebuah kata yang dicetuskan oleh Edwin E. Gordon — yang kemungkinan secara etimologi berasal dari kombinasi kata audio + -ation.
Kata Audiation memang masih belum memiliki padanan kata dalam KBBI. Audiation bisa saja diartikan terngiang-ngiang dalam Bahasa Indonesia sehari-hari — tapi saya merasa audiation ini lebih mengarah ke bentuk musikal (nada) dibandingkan dengan ingatan tentang ucapan atau denging.
Maka karena itu, saya harap anda sepakat dengan diksi “audiasi” sebagai padanan katanya agar saya bisa bercerita dengan luwes mengenai dilema seorang komposer kepada anda.
Menurut Wikipedia Bahasa Indonesia, Audiasi terhadap suara sama seperti imajinasi terhadap gambar. Misalnya, audiasi bisa melibatkan pendengaran dan pemahaman musik secara mental, bahkan meski tidak ada suara fisik yang muncul. Ini merupakan proses kognitif ketika otak memberi arti terhadap bunyi musik. Pada dasarnya, audiasi musik sama seperti berpikir dalam sebuah bahasa.
Sedangkan berdasarkan pengamatan Gordon pencetusnya sendiri, ia berpendapat bahwa audiasi muncul pada saat seseorang sedang “mendengarkan, mengingat, menampilkan, menafsirkan/mengulas, membuat, berimprovisasi, membaca notasi, atau menulis” musik.
Dalam bukunya Learning Sequences in Music: A Contemporary Learning Theory, ia juga menambahkan ada enam jenis keadaan audiasi. Di antaranya adalah:
- Retensi Sesaat (terngiang dalam jangka pendek).
- Mengimitasi lalu mengaudiasi pola rangkaian nada dan pola ritme serta mengenali dan mulai mengidentifikasi nada pusat (finalis) dan macrobeat.
- Membangun/menyusun suara (nada) secara subyektif atau obyektif beserta asumsi meterannya.
- Mempertahankan audiasi pola rangkaian nada dan pola ritme yang telah diatur.
- Mengingat pola rangkaian nada dan pola irama yang sudah diatur dan didengar oleh karya musik lain.
- Mengantisipasi dan memprediksi pola rangkaian nada dan rentetan proses ritme.
Catatan: Mungkin anda merasakan poin #4 dan #5 cenderung mirip, karena saya juga merasakannya. Namun saya berasumsi perbandingan antara keduanya adalah — pada poin #4, audiasi muncul sendiri tanpa pemicu lalu si audiator mempertahankannya dalam ingatan untuk direkam melalui perangkat rekaman atau pembuatan notasi. Sedangkan pada poin #5, audiasi muncul sebagai efek dari mendengarkan suatu audio (musik).
Berdasarkan gagasan itu, saya sebagai penikmat musik yang juga sering larut dalam proses kreatif (komposer) pun merangkum dan menyimpulkannya ke dalam definisi yang saya artikan sendiri bahwa,
Audiasi adalah daya mental seseorang untuk membayangkan audio dalam bentuk bunyi, suara atau musik berdasarkan pengalaman mendengar; bisa dimanfaatkan dengan produktif secara musikal dengan cara mengembangkan dan mengolah kembali persepsi mental itu yang kemudian merekamnya dengan bantuan notasi atau perangkat rekaman melalui instrumentasi, sehingga menjadi karya seni yang konkret (bisa dirasakan oleh orang lain dalam konteks audio).
— Ade Anugrah (2019)
Pada sub-judul, saya menambahkan kalimat lanjutan judul besarnya yaitu Sebuah jebakan kecil untuk komposer — seolah-olah menyudutkan audiasi ke dalam konotasi negatif namun masih terselamatkan dengan menyisipkan kata “kecil”. Saya menuliskan jebakan kecil karena memang audiasi ini berpotensi menjadi “jebakan kecil” dalam proses kreatif seorang komposer — meskipun saya sendiri masih menganggap audiasi adalah alat bantu yang sangat berguna dan patut untuk disyukuri bagi orang-orang yang menikmati musik.
Mengapa audiasi ini sangat berguna dan patut disyukuri?
Karena, dengan audiasi,
- Kita bisa mengingat/mengiangkan lagu favorit tanpa harus membawa perangkat pemutar musik.
- Kita bisa mengidentifikasi pitch atau nada sehingga bisa terhindar untuk menyanyi sumbang.
- Kita bisa bernostalgia dengan lagu yang “menempel” pada suatu kenangan.
- Kita bisa menerka lagu yang berpola sehingga kita bisa berimprovisasi sehingga dapat mengikuti orang-orang yang memainkan musik atau menyanyi terlebih dahulu.
- Kita bisa membayangkan suara instrumen beserta nadanya; kemudian mengolahnya ke dalam proses kreatif dalam membuat komposisi musik orisinal atau melakukan harmonisasi pada suatu aransemen. Dan masih banyak keuntungan lainnya, yang saya percayai bisa anda pahami dan ketahui.
Lalu, mengapa saya bisa-bisanya berpendapat bahwa audiasi adalah jebakan kecil untuk komposer?
Anggapan itu muncul karena pemahaman dan pengalaman saya mengenai audiasi yang ternyata sangat erat kaitannya dengan memori (bawah sadar). Kita bisa membayangkan suara alam seperti petir, desiran ombak atau musik seperti petikan gitar, gesekan biola, atau nyanyian vokal karena pengalaman mendengar (memori) — yang juga sama berlakunya dengan nada. Kita juga bisa menyusun rentetan melodi yang masih asing dan bisa dianggap orisinal melalui audiasi karena pengaruh reflektif dari musik yang kita dengar — apalagi mengingat sebuah karya musik yang bisa mengandung banyak sekali elemen yang dapat diidentifikasi untuk dicontoh seperti aransemen atau harmoni orkestrasi, variasi melalui modulasi dalam struktur lagu, efek suara, teknik bernyanyi, keahlian instrumentasi, genre beserta subgenre-nya dan lain-lain. Yang menjadi jebakan kecil di sini adalah ketika seorang komposer meyakini telah menciptakan suatu rentetan melodi yang dianggap orisinal saat beraudiasi hanya karena ketidaksadarannya — bahwa ternyata rentetan melodi itu sebenarnya ingatan yang “terbenam” di alam bawah sadar. Yang bisa diartikan bahwa audiasi bisa membuat si komposer secara tidak sengaja menggunakan melodi dari karya yang sudah eksis — yang bisa saja merupakan bagian dari karyanya terdahulu atau parahnya adalah karya orang lain dari pengalaman mendengar, baik itu sengaja ataupun tidak.
Hal ini menjadi masalah besar yang sangat memalukan jika seorang komposer mengklaim bahwa piece yang ia selesaikan itu adalah murni dari proses kreatifnya; dengan bangganya memperdengarkannya ke orang lain secara langsung atau setelah komersialisasi — yang kemudian di respon dengan penghakiman, “Dasar plagiat!” hanya karena ada empat bar dari struktur lagu yang terdengar familiar dan mirip dengan karya orang lain yang sudah eksis menurut si pendengar.
Berdasarkan pengalaman, ada dua reaksi yang muncul bersamaan ketika seorang komposer dikritik seperti itu. Yang pertama adalah penyangkalan — dan di saat bersamaan atau yang kedua, si komposer pelan-pelan menggali kembali pengalamannya mendengar musik dengan beraudiasi untuk dibandingkan dengan karyanya yang disebut plagiat.
Dan jika misalnya si komposer menemukan lagu yang familiar dan mirip dengan karyanya, ia tidak akan meloncat kegirangan sambil meneriakkan “eureka!” — yang terjadi justru perasaan menyalahkan diri sendiri (menganggap tidak kreatif), yang parahnya adalah si komposer berniat pensiun untuk berkarya.
Audiasi memang membantu komposer untuk menerka-merangkai-membayangkan musik. Tapi sayangnya tidak ada alat bantu untuk menghindari bias dan ilusi orisinalitas karena komposer mengira menciptakan melodi orisinal yang ia anggap bagus, namun ternyata dicomot tidak sengaja dari musik atau lagu yang pernah ia dengar.
Saya pun pernah mengalami ini. Saya pernah membuat aransemen sesi strings yang akhirnya saya sadari terdengar mirip dengan intro lagu rap yang sering saya dengarkan sewaktu kelas 5 SD.
Saya menyadarinya dengan terlambat karena diberitahukan oleh seorang teman — yang seketika, membuat saya teringat, sadar dan mengucap “pantas saja” — Karena pada saat mengaransemen, saya merasa nyaman mengaudiasikan melodi tersebut pada musik sustain-nya. Kemungkinan terbesar mengapa saya bisa kecolongan disebabkan karena pemilihan tempo dan instrumentasi yang terdengar alternatif dengan lagu aslinya.
Jadi, sejak kejadian itu — saya menjadi lebih berhati-hati lagi dengan audiasi, namun di sisi lain memanfaatkannya sebagai tolak ukur untuk mencegah mengulangi kesalahan yang sama.
Triknya adalah saya menggunakan audiasi untuk mengukur familiarnya musik-musik yang saya buat dengan cara berprasangka “mengapa melodi ini enak didengar dan tidak asing?” lalu dilanjutkan dengan menggali kembali musik-musik yang bisa saya ingat.
Hal itu memang bukanlah tips yang pasti, tapi cukup membantu saya untuk menghindari rasa sesal nantinya. Dan kalaupun “melodi yang enak didengar dan tidak asing” itu tidak ada padanannya (tidak ditemukan) dalam memori sadar, saya akan tetap melanjutkannya namun dengan menambah modifikasi seperti ornamen, counterpoint, variasi kontur melodi atau melakukan modulasi pada segmen itu. Modifikasi tersebut paling tidak akan membuat ilusi “musik yang baru” bahkan semakin menantang kreativitas si komposer dalam berkreasi.
Tulisan ini pernah saya kirimkan di Medium/I've written this post before on my medium: https://medium.com/@Ade_Anugrah/audiasi-musik-melodi-dalam-kepala-541a9e538297