Jazz: Apakah Musik ini Untukmu? | Mengenal Tantangan dalam Menikmati Jazz

in komposer •  5 years ago  (edited)

Jazz. Apa yang terpikirkan oleh anda ketika mendengar kata itu? Apakah anda terpikirkan “musik berat”? Apakah anda terpikirkan bahwa jazz merupakan musik yang tidak punya pendirian karena terlalu banyak improvisasi? atau anda terpikirkan musik piano yang spontan dan asal-asalan?
Jika anda punya pemikiran yang seperti itu, maka anda sudah pernah mendengar dan mulai mengidentifikasi Jazz secara mendasar dan umum.

Jazz adalah aliran musik yang mengandalkan improvisasi. Ritme boleh berulang, namun untuk melodi dan permainan solo — jazz adalah dunianya para musisi untuk merespon dengan spontanitas melalui kreativitas musikalnya.
Jika anda adalah seorang musisi yang berniat memainkan jazz, yang terpenting anda mampu merespon dengan ekspresif — tidak mempermasalahkan disonansi musikal namun menggambarkan energi melalui dinamika, tempo, register, atau timbre pada melodi instrumen yang anda mainkan.

Disonansi musikal adalah gambaran dari kombinasi nada yang tidak enak di dengar; bergantung pada selera musik.
Dan jika anda mengikuti ritme instrumen lain yang sedang berlangsung dengan improvisasi (misal: piano) yang harmoninya bisa ditolerir, orang-orang yang mendengarkan pun bisa ikut larut menikmati musik anda; bahkan mengagumi kepiawaian anda dalam beraudiasi (perfect pitch) dan berpikir cepat untuk merangkai melodi (modal jazz) yang terpadu dengan irama ritme instrumen lain yang sedang berlangsung. Semakin harmonis improvisasi yang anda mainkan, semakin besar apresiasi yang anda terima.

Jazz juga bisa digambarkan seperti orang yang berbincang-bincang apa adanya, tanpa perencanaan ataupun mengikuti skrip. Mendengar (menyimak), berpikir (memproses data dan informasi) lalu merespon dengan berbicara. Jika anda tulus, bergairah, dan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti, orang yang mendengarkan pun bisa antusias dengan pembicaraan anda. Kalau misalnya anda sedang mendengarkan seseorang berbicara atau sebaliknya namun gagal fokus mendengar atau berbicara “seenak jidat”— kemungkinan yang terjadi adalah salah paham, kecanggungan, kegagalan dalam membangun ikatan, bahkan yang paling parah adalah konflik dan chaos (kekacauan). Dan coba bayangkan jika bahasa yang anda gunakan dalam berbincang itu adalah musik; bayangkan suara yang anda lontarkan adalah suara instrumen (misal: piano/saksofon) dan bayangkan juga ketulusan anda berbincang adalah rangkaian melodi yang penuh spontanitas namun memiliki timbre—itulah Jazz.

Seperti yang saya analogikan di atas, jazz bisa membuat seseorang antusias mendengarkan karena gairah kebebasannya — yang juga bisa mengurangi antusiasme karena spontanitasnya yang “gagal fokus”.
Pada tahun 1940-an, Jazz mulai muncul dengan cikal bakal yang dinamakan Bebop. Aliran Bebop ini dikenal dengan keunikannya melalui rentetan akord pada progres lagu berisikan kombinasi lima atau enam nada di dalamnya. Berbeda dengan musik pop standar yang akordnya berbentuk triad (gabungan tiga jenis nada). Hal ini pastinya akan menambah ruang pada musisi untuk lebih leluasa “bermain-main” atau berimprovisasi dengan melodi. Melalui bebop inilah improvisasi dan bentuk jazz mulai muncul walaupun masih menjaga harmoni dalam permainannya.
Pada tahun 1950-an, Miles Davis (musisi/pemain trumpet) mulai bereksperimen dengan mengimprovisasi melodi yang terdiri dari not tertentu secara skalar atau berantai (horizontal) ketimbang memainkannya dalam bentuk akord/dibunyikan serentak (vertikal). Teknik ini dinamakan modal jazz. Teknik yang nantinya digunakan Davis dalam album jazz populer revolusionernya bertajuk Kind of Blue.
Album ini merupakan masterpiece karena menonjolkan improvisasi melodi yang berkutat dengan rangkaian modes sehingga menjadi trendsetter untuk musisi Jazz. Jika anda mengenal Bill Evans (Evans adalah pianis favorit saya) atau John Coltrane, mereka adalah musisi yang ikut berkolaborasi dengan Davis dalam album tersebut — yang nantinya kedua musisi ini menjadi musisi yang paling berpengaruh dalam blantika jazz. Bisa dibilang formasi dalam band ini adalah superband dalam sejarah musik jazz.

1_ZsTC72dMcSGvzDFOPK9NyQ.jpeg
Dari kiri: John Coltrane, Cannonball Adderley, Miles Davis, dan Bill Evans

Sekarang kita akan menggali apa kemungkinan yang membuat seseorang bisa menikmati atau tidak bisa menikmati Jazz. Jika anda jeli, saya berulang-ulang menuliskan kata “improvisasi” dalam tulisan ini sebagai penekanan untuk menggambarkan jazz secara lugas kepada anda (pembaca). Improvisasi melodi dalam bermusik (untuk konteks ini, jazz) — bisa menjadi sebagai cara untuk mewakili kepiawaian musikalitas seorang musisi karena kecepatannya berpikir menerka dan mengeksekusi ke dalam bentuk instrumentasi (melodi atau ritme) untuk bermain solo atau mengikuti irama dari kolaborasi. Namun sayangnya, improvisasi seperti ini kadang tidak lepas dengan disonansi dalam memainkan nada atau permainan melodi yang sengaja (ekspresif) atau tidak (salah tekan/memainkan), berada diluar zona harmoni apalagi jika dimainkan dalam bentuk band.

Untuk pendengar yang sehari-harinya tidak terbiasa dengan disonansi, mereka biasanya akan menganggap permainan musik seperti itu adalah kesalahan musikal; berasumsi bahwa itu adalah bentuk human error si musisi — yang parahnya lagi, mengkritisi kalau si musisi memang tidak punya bakat dalam bermusik.
Lucunya, musisi yang menyadari disonansi itu malah membela diri dari asumsi jelek atau kritikan itu dengan trik yang unik — yaitu dengan mengulangi lagi disonansi itu (melakukan repetisi) seolah-olah mempertegas atau memberi ilusi kepada pendengar bahwa “saya memang salah tekan tuts, terus anda mau apa? Anda suka — bagus. Kalau tidak — ya sudah” atau; “saya memang sengaja melakukan disonansi (padahal tidak), buktinya saya memainkannya ulang dan anda yang mendengarkannya saya jamin akan baik-baik saja”.

Trik lain dari musisi jazz untuk mengelabui pendengar agar tidak menganggap disonansi dalam permainan mereka sebagai kesalahan, adalah dengan menerapkan karakteristik suara manusia seolah-olah menciptakan respon emosional dengan cara menyembunyikannya dalam timbre yang semrawut; suara yang semakin membesar; dan memainkannya pada kontur yang meninggi pada saat mencapai klimaks. Hal ini pernah didemonstrasikan oleh dua orang psikologis, Klaus Scherer dan James Oshinsky melalui artikel berjudul Cue utilization in emotion attribution from auditory stimuli — mengenai level tekanan nada, kontur nada yang meninggi ternyata punya korelasi dengan karakteristik suara manusia ketika melontarkan perkataan atau omongan yang menunjukkan amarah, ketakutan, atau rasa semangat saat mulai menutup atau mengakhiri pernyataannya (statements). Trik ini akan membuat pendengar menolerir secara natural timbre permainan jazz itu karena familiar dengan keseharian mereka. Namun, kenyataannya adalah selera tetaplah selera. Tidak ada yang bisa melarang seorang musisi untuk ekpresif dan bebas dalam musikalitasnya. Sedangkan pendengar juga hanya ingin menikmati musik yang ia dengar untuk menghibur diri.
Ketika kedua pihak ini berkutat pada egonya, yang terjadi adalah konflik. Si musisi jazz bisa saja emosional membela diri dengan musiknya, sedangkan si pendengar yang tidak mengapresiasi — malah sibuk memojokkan musikalitas si musisi karena ia sama sekali tidak mendapatkan penghiburan karena tidak memenuhi “standarnya” seperti (contohnya) musik yang bersifat tonal, diatonik, dan berpola harmoni.

Semakin bertambahnya pengalaman musikal musisi terhadap jazz, genre ini pun semakin berkembang menjadi lebih bebas dalam bentukan free jazz yang lebih atonal dan liar karena menggunakan tangga nada (skala) kromatik yang memberikan kesan ambigu sehingga melebarkan definisi jazz sebagai musik yang mendobrak norma dengan permainan yang semakin menggambarkan musik yang egosentris. Hal ini akan semakin kontra dengan para penikmat musik yang tidak terbiasa dengan hal itu.

Masalah selera ini akan selalu kembali ke masing-masing individu. Jika anda tidak menyukai jazz, untuk apa juga anda memaksakan diri untuk mendengar? Lebih baik anda mendengar musik yang familiar dan nyaman di telinga — mungkin mendengarkan pop, electronic dance music atau dangdut.
Namun, jika anda masih penasaran dimana letak magisnya jazz, saya menyarankan anda untuk melatih diri dengan mendengarkan alunan yang anda anggap sebagai disonansi dengan pikiran yang terbuka. Anda bisa memulainya dengan mendengarkan album Kind of Blue atau ke level big boss-nya melalui album John Coltrane berjudul Giant Steps.

Tulisan ini pernah saya posting di Medium/I've written this post before on my medium: https://medium.com/@Ade_Anugrah/jazz-apakah-musik-ini-untukmu-1e7fce500177

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

Hi! I am a robot. I just upvoted you! I found similar content that readers might be interested in:
https://medium.com/@Ade_Anugrah/jazz-apakah-musik-ini-untukmu-1e7fce500177