KONFLIK ACEH: HOBI ATAU KEWAJIBAN?

in konflik •  7 years ago 

KONFLIK ACEH:
HOBI ATAU KEWAJIBAN?
dekjal.jpg

Dalam perputaran sejarah di Aceh terkesan masyarakatnya doyan berperang dan tidak mau berhenti sebelum sampai masa klimaks. Hal ini dibuktikan oleh beberapa kali perang, baik dalam skala besar maupun kecil. seperti perang melawan Portugis, Belanda, Jepang dan dua perang besar melawan Indonesia pada masa Orde Lama (DI/TII) dan masa Orde Baru (GAM). Dalam skala kecil mungkin diwakili oleh perang Cumbok, kasus jubah puteh dan lain sebagainya. Yang menarik diperhatikan dalam konflik demi konflik di Aceh adalah rakyat Aceh tidak pernah menerima kekalahan dalam arti penyerahan diri pimpinan atau penyerahan kedaulatan dan kekuasaan.
Dalam rentetan sejarah, Aceh tidak pernah dikalahkan dan tidak pernah menyerah kalah, walaupun mujahidin dan mujahidah berganti generasi dari satu generasi ke generasi lainnya. Dalam perjuangan menegakkan Negara Islam Aceh dalam bingkai Negara Islam Indonesia yang bermula pada tahun 1953, pimpinan ulama dan pemimpin besar Teungku Muhammad Daud Beureueh, Aceh tidak kalah walaupun juga tidak bisa disebut menang. Paling tidak, demikianlah ungkapan yang sering dilantunkan bekas menteri perangnya, (alm) Hasan Saleh dalam beberapa kesempatan di masa hidupnya. Perihal yang sama muncul pula dalam perjuangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dicetus oleh Tengku Hasan Muhammad di Tiro pada tahun 1976. Perjuangan yang memakan waktu lebih kurang 29 tahun tersebut berakhir dengan perdamaian yang tidak mengalahkan Aceh dan tidak memenangkan Indonesia. Perdamaian ini tentu saja menjadi satu berkah dan keunikan tersendiri buat rakyat Aceh.
Watak Aceh
Arys Medan dalam bukunya Mengapa Daud Beureueh Berontak dengan runut menggambarkan bagaimana kerasnya watak rakyat Aceh sehingga ketika mereka berjuang sulit berhenti sebelum mencapai tujuan. Katanya, orang Aceh lebih baik syahid dalam peperangan ketimbang malu akibat kekalahan yang harus ditanggung badan dalam kehidupan. Orang Aceh bermental baja, demi Islam nyawanya berani dikorbankan, demikianlah cuplikan watak Aceh yang digambarkan oleh Arys Medan.
Fanatisme yang dimiliki rakyat Aceh dari zaman ke zaman sangat terkait dengan perjuangan agama. Hanya karena agamalah mereka mau berjuang mati-matian, kondisi seperti ini tergambarkan dalam beberapa kali perang baik melawan penjajah Belanda maupun rezim Indonesia yang nasionalis-sekularis. Dalam perlawanan terakhir yang dimotori Gerakan Aceh Merdeka (GAM), fanatisme itu terbelah dua. Pertama, fanatisme perjuangan demi membela panji-panji Islam yang dimotori oleh mantan-mantan pejuang DI/TII dan sebagian kader Muslim. Kedua, perjuangan yang lebih cenderung melawan dominasi fanatisme Ke-Acehan yang didominasi mayoritas kaum muda.
Kalau fanatisme pertama itu lebih terkait dengan eksistensi keberadaan harga diri Aceh yang identik dengan Islam, maka fanatisme kedua lebih dipengaruhi oleh perkembangan globalisasi dunia maya. Karenanya, apa saja bentuk perjuangan Aceh dan bagaimana model perjuangannya tetap dalam konteks Islam, namun metode dan teknisnya yang harus disesuaikan dengan perkembangan zaman. Sebagai contoh, ketika Islam dibenci oleh penguasa dunia, maka perjuangan Aceh itu tetap berorientasi Islam namun bermetodologi fleksibel. Dengan demikian watak asas ke-Acehan akan tetap eksis dalam sebuah strategi yang ambivalen dan fleksibel.
Doktrin Agama
Hampir semua konflik yang berorientasi perlawanan di Aceh dipicu oleh motif agama. Perlawanan terhadap kaum penjajah lebih didominasi oleh faktor agama ketimbang nasionalisme Aceh. Dua kali perlawanan terhadap Indonesia juga dimotivasi oleh faktor Islam, cuma taktik dan strateginya saja yang sesekali berubah mengikuti perkembangan dengan memperhitungkan kemungkinan kemenangan.
Mengacu pada sosiologi ke-Acehan yang menyebutkan orang Aceh lebih terikat dengan agama disebabkan oleh tiga faktor, pertama, Aceh merupakan wilayah paling awal Islam bercokol dan berkembang sehingga dapat meng-Islamkan kawasan-kawasan lainnya di Asia Tenggara. Kedua, dalam beberapa kali penyerangan pihak luar termasuk Indonesia terhadap Aceh, Islam dijadikan sasaran utama pihak penyerang sehingga membangkitkan semangat jihad bagi pihak Aceh sendiri. Ketiga, peradaban Aceh identik dan menyatu dengan peradaban Islam.
Manifestasi tiga faktor tersebut menjiwai kehidupan rakyat Aceh dalam berbagai dimensi. Karenanya setiap konflik yang terjadi di Aceh pasti berkisar antara hobi dengan kewajiban. Hobi yang dimaksudkan disini adalah rakyat Aceh sudah lama diterpa oleh konflik peperangan yang berkepanjangan, baik berhadapan dengan pihak dalam maupun dengan pihak luar. Rakyat Aceh sudah kenyang dengan kekerasan. Perang sudah menjadi hobi. Apakah hal ini diakibatkan oleh banyaknya para agresor yang membuat peperangan di Aceh? Atau itu karena kondisi yang memang menyebabkan harus perang atau memang sudah menjadi pola kehidupan rakyat ini dengan menjadikan perang sebagai hobi? Walaupun notabennya adalah perjuangan demi menuntut kebenaran dan keadilan.
Perjuangan dan konflik yang terjadi di Aceh selalu menindaskan Islam dan umat Islam Aceh. Karena itu pula, rakyat Aceh mau tidak mau terpaksa bangkit dengan semangat jihadnya. Apakah kondisi ini dikarenakan peradaban Aceh itu identik dengan peradaban Islam? Kalau memang acuannya identik dengan peradaban Islam, apakah jihad itu menjadi salah satu unsur penting pembelaan harga diri dan agama bagi rakyat Aceh? Apakah karena alasan ini pula setiap konflik dan perjuangan orang Aceh itu terkait erat dengan jihad? Jihad yang dimaksudkan di sini adalah perjuangan sungguh-sungguh dengan menggunakan segala fasilitas yang ada untuk membela dan menegakkan Islam di Aceh yang bermuara pada kepentingan dan kemaslahatan rakyat Aceh.
Solusi
Hampir dapat dipastikan setiap konflik dan perlawanan yang terjadi di Aceh selalu berakhir dengan tiga alternatif.
Pertama, hancur akibat keberingasan kedua belah pihak dalam perlawanan yang mengakibatkan kehancuran yang tidak ternilai harganya bagi pelaku konflik itu sendiri. Contoh berharga adalah kasus perlawanan Aceh terhadap Belanda dalam invasi pertama dan kedua tahun 1947/1948. Aceh hancur total sementara kemenangan tidak memihak kepada siapapun karena dengan datangnya Jepang, Belanda pun ngacir keluar dari Aceh.
Kedua, menang seperti perlawanan Aceh terhadap Portugis yang dikabarkan memperoleh kemenangan besar ketika penjajah berhasil dihalau oleh Sultan Ali Mughayat Syah sehingga lari ke Goa dan kembali ke negaranya. Kemenangan yang sama juga diperoleh Aceh pada zaman Sultan Iskandar Muda yang dapat mengusir Belanda dengan kekuatan armada Cakra Donya sehingga kafhe-kafhe Belanda hengkang dari Aceh, Malaka serta sebagian besar Semenanjung Malaya.
Ketiga, tidak kalah dan tidak menang seperti kasus konflik Aceh– Indonesia dalam konteks DI/TII dan GAM. Setelah lelah berperang selama sembilan tahun yang mengorbankan banyak harta benda dan nyawa, kedua belah pihak akhirnya berdamai dalam satu ikrar yang terkenal dengan sebutan Ikrar Lamteh. Untuk memuluskan hasil Ikrar Lamteh tersebut kemudian digelar Musyawarah Blang Padang untuk seluruh komponen masyarakat Aceh, dan dengan demikian Aceh relatif aman setidaknya hingga tahun 1975.
Sementara perlawanan GAM terhadap RI yang memakan waktu lebih kurang tiga dasawarsa pun akhirnya selesai dan reda lewat perjanjian perdamaian Helsinki tanggal 15 Agustus 2005. Kedua konflik tersebut memberi pelajaran buat kita bahwa, setiap konflik pasti ada jalan untuk diakhiri yaitu dengan jalan damai. Tidak ada pihak yang kalah dan tidak ada pula yang menang. Perang hanya membawa kesengsaraan berkepanjangan. Perang hanya membuat penderitaan rakyat yang tidak tahu menahu soal politik.
Kini, Aceh sudah relatif aman. Perdamaian ini harus kita jaga bersama karena perdamaian adalah milik bersama. Adalah kewajiban kepada semua komponen rakyat Aceh untuk betul-betul menjaga perdamaian yang sudah bersemi ini sehingga rakyat yang sebelumnya sudah sangat menderita dapat memetik hasil dari buah perdamaian di Aceh. Dengan adanya perdamaian, kita harapkan berkah ini betul- betul membawa kehidupan yang aman sehingga rakyat Aceh pun dapat mencari nafkah tanpa merasa ketakutan.

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

Hi! I am a robot. I just upvoted you! I found similar content that readers might be interested in:
https://www.politikaceh.co/2016/01/05/regulasi-politik-di-aceh-pasca-mou-helsinki/