Bagi orang Aceh tolen, istilah "mat jaroe malem" bukan hal asing, atau usung. Bahkan mereka sudah usang mendengar. Namun bagi orang Aceh abal-abal, mat jaroe malem bermakna cium tangan ulama atau teungku.
Sejatinya tidak demikian. Pemahaman yang trpat untuk mat jaroe malem adalah sebuah kata yang paling dinantikan oleh sang pemuda, yaitu menikah.
Dinamakan mat jaroe malem, sebab penghulu atau kepala KUA menjadi pihak yang berhak menikahkan orang lain, itu menerut ketentuan negara.
Kebiasaan, pernikahan dalam adat Aceh sering dinikahkan oleh orang alim tau teungku, baik imam atau teungku rujukana dalam sebuah kampong.
Wali perempuan lebih sering mewakilahkan pernikahan putrinya pada teungku, ketimbang dinikahkan oleh wali. Karena para wali merasa belum pantas menikahkan putrinya.
Jadi kalau pemuda mau nikah, fikirkan juga apakah siap menjadi wali bagi anaknya kelak.
Percakapan mata jaroe malem menjadi buah bibir pemuda Aceh. Orang tua juga tidak ketinggalan bertanya pada pemuda desa: pajan mat jaroe malem?
Kata ini bukan sebuah sindiri bagi orang yang belum menikah. Tetapi tanda kekayaan bahasa Aceh. Juga menjadi bukti nilai sastra rakyat Aceh sangat tinggi. Tak heran petuah dan karya sastra Aceh mendapatkan penghargaan bangsa lain. Hikayat Prang Sabil yang ditulis oleh Tgk Chik Pante Kulu telah diakui dunia sebagai sastra bernilai selangit di abad modern.
Demikian halnya mat jaroe malem, memiliki makna tinggi jika mampu dipahami