Awal Kisah "Kumatsugata"

in kumatsugata •  3 years ago 

Ini adalah awal baru, langkah awal ketika bosan ditambah lelah berada ditengah pandemi dan dipaksa manut dengan perintah pemerintah. Telah lebih dari setahun sejak ditetapkan ancaman Corona ini datang menyerang ke Indonesia.

Setahun yang berat, namun bulan-bulan awal yang indah. Dimana jam bekerja bisa berkurang, bahkan diskon besar hingga 50% dari jadwal normal. Awal yang sesuai harapan untuk dapat tidur siang dalam porsi lebih. Hihihi. Namun tak bertahan lama, namun sifat bosan terlalu cepat menyerang dan mengambil kebahagiaan rebahan.

Setahun sudah, aku tak kuat jika harus terus bertahan rebahan dan makan tabungan yang lambat laun akan terus menipis.

Hp smartphone sudah pusing karena terus menerus berputar di tanganku. Layar LCD juga banyak bekas-bekas sentuhan jempol. Terlintas di teel ada teman yang posting foto sedang minum kopi dan seolah mengundang teman sekitar yang bisa merapat dan ngopi bareng. Aku coba PM Edo yang sedang ngopi tak jauh dari rumah.

Tiiiittt....

Tiiiittt....

Suara dari hp tanpa nada sambung. Dan tak lama Edo mengangkat telponku

“Assalamuaikum bro..” sergah Edo seketika setelah menerima telponku.

“Waalaikumsalam bro, dimana? Masih ngopi?” tanyanku tanpa basa basi.

“Masih nih, kemarilah. Aku sendirian ni ngopi, mana enak ngopi sendiri macam jomlo aja.”

“macam jomlo! Lah, ntar kalo aku kesana dan kita ngopi berdua ntar dikira LGBT pula.” Ujarku sedikit bercanda.

“sudahlah, kemari aja. Aku nunggu ni,” harapnya yakin tanpa memberi pilihan kepadaku.

Aku bergegas bersiap ngopi bareng Edo. Sebelum pergi, aku berpamitan dulu ke istri yang tengah mengajari anak yang sudah kami keluarkan dari sekolah dan sepakat untuk beralih ke Home Schooling.

“Bun, ayah keluar sebentar ya, mau ketemu teman di warkop depan.”

“Jangan lama-lama, jangan lepas masker, jangan duduk rame-rame, bawa handsanitizer atau sering-sering cuci tangan,” pesan istriku yang memang sangat perhatian kepada suaminya.

Brum.. brum... aku mulai menghidupkan mesin motor dan langsung memacunya menuju warkop tampat Edo sedang seruput kopi.

9 menit aku sampai di warkop yang dituju. Setelah memarkirkan kendaraan, mataku langsung tertuju ke arah meja tempat Edo duduk.

“dah lama ya ngopinya,” aku menyapanya lebih dulu.

Sambil mengangkat gelas memperlihatkan isi gelas kopinya yang masih tersisa setengah. “Belum bro, ni satu aja belum habis.”

“Bang, SP 1,” ujarku ke pelayan warkop sambil menempatkan ujung jempol berada di suku tengah jari telunjuk sebagai kode pesan Kopi SP atau Sanger Panas setengah gelas.

“Ngopi mulu bro, ga bosan?” ujarku sambil membenarkan posisi tempat duduk.

“Ngopi sedikit, silaturahminya yang banyak.” Jawabnya yakin.

“Gini bro, kalo ngopi bisa dirumah juga tapi kalau ngorol gini kan ga dapat dirumah,” lanjutnya lagi menjelaskan manfaatnya ngopi di warkop.

“Iya sih,” aku mengiyakannya saja karena tau itu sudah bahasan harian.

“Bro, aku suntuk ni, pandemi ga bisa gerak jauh ni,” keluhku.

“Kan masih bisa ke warkop bro,” pungkasnya.

“Ke warkop terus malah bikin tekor lah bro.”

“Ya udah, kamu buka warkop aja bro, ntar aku yang jadi pembelinya.” Dia menjawab sekenanya tanpa melihat kearah saya lawan bicaranya.

“Warkop banyak tutup, apalagi waktu ngumpul di warkop itu dibatasi, jumlah kursi juga ga boleh banyak.” Kilahku karena melihat banyak warkop tutup dan sering dirazia satgas.

Mendadak Edo yang sedang seruput kopi menjadi diam dan menatap ke arahku. Kemudian dia lanjut memberi nasehatnya.

“Gini bro, budaya kita memang minum kopi. Setelah ganja itu dilarang, maka hanya kopi yang jadi doping legal untuk orang Aceh.”

“Virus itu kan harus dilawan dengan imun yang kuat, lah kan kita minum kopi juga mampu meningkatkan imun bro. Ga ngopi seminggu stress kan?” ucapnya panjang meyakinkan saya untuk membuka usaha warkop.

Aku yang mendengar perlahan membenarkan alasan Edo, ide untuk membuka warung kopi buat nongkrong juga mulai berseliweran di pikiranku.

Akhirnya aku membenarkan idenya.

“beutoi gata bro, nyan kumatsugata,” (benar kamu bro, saya pegang ucapanmu) ujarku bersemangat.

Mendengar semangatku, Edo dengan semangat pula menghirup kopi hitam hingga hanya menyisakan ampas di dasar gelasnya.

Saya pun ikut menyeruput sanger panas dengan semangat dan melanjutkan dengan mengambil sepotong kue lapis yang sedari tadi telah disajikan oleh pegawai warkop.

Sesaat kemudian aku pun mengecek hp yang lama tergeletak di meja, ku perhatikan perlahan-lahan. Ternyata ada pesan masuk dari istri dirumah yang minta diambilkan paket pesanan frozen foodnya yang sudah diorder via telpon ke toko langganan kami.

Karena matahari juga sudah menuju ke puncaknya, saya pun berniat untuk pamit dan menyudahi ngopi dan bincang santai bersama Edo.

“Do, aku duluan ya, mau ambil orderan istri dulu ke toko depan,”

“Sip, aku juga mau balik ni bro, kopi juga sudah habis.” Balas Edo.

Sambil mengangkat tangan memanggil pelayan warkop, “Bang, tolong hitung” ucapku sedikit berteriak.

Dengan cepat sang pelayan menghitung jumlah yang harus dibayar, “25 ribu bang,” ucapnya yakin tanpa perlu menghitung di kertas atau kalkulator.

Kami berdua sama-sama mengeluarkan uang untuk membayar kopi dan makanan yang sudah kami nikmati. Kami pun beranjak keluar dari warkop dan langsung menuju ke motor masing-masing.

Bersambung.....

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  
Loading...