Tuhan secara universal diartikan sebagai sesuatu yang disembah, hal itu dibenarkan oleh @nasrijal, lantara dalam setiap keyakinan (Dogma) memiliki suatu keangungan akan keberadaan Tuhan, penyembahan terhadap tuhan dilakukan dengan berbagai upaya bertujuan untuk mendapat keberkahan secara nyata dengan harapan yang ambigius.
Jika dimaknakan terhadap suatu benda, maka jika tuhan (itu benda) tentulah akan mendapat perlakuan istimewa dari sang pemilik, sementara tuhan dimiliki dan memilki dalam konteks keagaaman.
Lalu kita analogi kembali akan kebutuhan sosial media yang menjadikan tempat upaya mencurahkan isi pikiran serta akar logika yang mungkin saja mulai membingungkan pembaca dan penulis saat ini.
Lantaran, perumpaan keagungan seumpama suatu benda adalah hal yang tergolong sesat lagi menyesatkan, tentu saja keinginan kita walaupun tersesat tetap tersesat dijalan yang benar.
Walau demikian, jika saja manusia menjadikan suatu perkara (ciptaan) menjadi harapan laksana mengharapkan suatu mukjizat demi pencapaian suatu hal, tujuan dan reward akan panjatan doa maupun perjuangan.
Mari kita refleksi sejenak, perbudakan diri telah memenuhi alam bawah sadar manusia, dimana abad Post Modern manusia mulai berlomba untuk suatu Hasil (reward) demi mencapai suatu keistimewaan, baik secara mengkloning karya (krativitas) maupun secara terang terangan memakai bentuk fiksi dalam sebuah cerita, apakah itu kebenaran atau hanya demi mencapai keuntungan pribadi dengan melupakan hakikat seorang insan ciptaan.
Mari Muhasabah diri, dilama kamr gelap diiringi dengan cahaya hati untuk melukis kembali hidup dengan tinta kesadaran dari dasar nirwana yang hitam
AFStory