©Ikhwanul Halim (ayahkasih)
Aku melihat asap rokok menari sampai tipis membiru, mengingatkanku kepada kemarahan alam.
Aku melihat asap itu menghilang ke langit dan awan apung. Aku melihat burung-burung yang nyinyir berteriak minta bantuan, tapi manusia mengira mereka bernyanyi. Aku melihat abu rokok jatuh ke tanah bagai daun kelor kering gugur ke selokan. Aku melihat apa yang dikerjakan angin, menggeser debu mikro ke tempat yang terlalu samar untuk diperhatikan. Aku melihat semut berkomplot untuk melakukan revolusi, tapi manusia mengira mereka mengumpulkan makanan untuk mengisi lumbung musim menghadapi paceklik panjang.
Alam marah, dan kemarahannya terwujud dalam gempa, gunung berapi meletus, banjir, kekeringan dan wabah penyakit, namun manusia menganggapnya sebagai bencana alam.
Aku merasa hampa dan kosong, dan untuk mengisinya berbelanja ke department store. Dan karena telah berhenti merokok, maka aku membeli camilan yang mengganti kecanduan terhadap tembakau. Aku masih merasa hampa dan kosong.
Aku bukan satu-satunya yang hampa dan kosong dan berbelanja. Sepertinya semua orang sama sepertiku. Di mana-mana orang makan mengisi untuk mengisi kekosongan, belanja memenuhi kehampaan dan kemudian mati. Bagiku ini adalah rutinitas yang telah berlangsung beberapa generasi. Kita belanja, kita makan dan kita mati. Setiap hari.
Tapi aku belum sedemikian putus asanya, belum terjun dalam jurang kegelapan, sehingga menghadiri demonstrasi dan bergabung dengan partai politik. Mereka memberiku kaos untuk dipromosikan dan menyodorkan formulir untuk kutan datangani dan menyanyikan himne pujian untuk para pemimpin.
Pemimpin biasanya sangat disanjung dan patut dicurigai. Mereka memiliki gelar yang sebelumnya tak ada sehingga karena beberapa alasan patut dihormati. Setelah menandatangani formulir kamu harus mengenakan kaos dengan wajah pemimpin, dan kamu harus membelanya dan tidak mempertanyakannya di depan umum.
Jika kamu melakukan sebaliknya, boleh jadi kamu akan dikucilkan. Partai-partai politik ini tidak berbuat banyak. Mereka membuat janji dan memberi simpatisan kaos gratis lima tahun sekali.
Aku pergi ke masjid, musala, klub, reuni dan pesta perkawinan dan kenduri khitan. Aku lelah, tapi aku selalu pergi belanja. Saat badanku litak, aku memberinya minuman energi atau susu segar dan tidur enam jam, tapi letihku tak juga hilang.
Saat mahasiswa, aku menjelajahi segala aliran filsafat dan sastra, menatap gadis-gadis cantik dengan mata binar. Namun perasaan hampa terus berlanjut. Semakin aku mencoba untuk menemukan makna semakin merasa terasing, terputus dengan dunia nyata. Tidak ada yang penting lagi dan tidak ada yang harus masuk akal. Aku selalu merasa bodoh atau semua orang bodoh. Duniaku berubah menjadi rumah sakit jiwa, dan semua orang sepertinya tak merasa itu sebuah masalah besar.
Generasi pendahulu ingin membunuhku. Mereka tahu bahwa jika mereka tidak menghabisiku, mereka akan mati kecewa. Mereka dibunuh oleh generasi sebelum mereka. Pembunuhan berupa kutukan yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Bukan salahku jika guru, perawat, dokter dan insinyur dari negara yang sekarat ini membenci diri sendiri. Aku juga memiliki kebencian terhadap diriku yang harus kuatasi. Aku si buta yang tidak bisa mengubah warna dan menemukan angka. Mereka membuatku menghabiskan belasan tahun di bangku sekolah agar aku mengenakan toga–semacam gaun tidur warna hitam yang berat. Aku lulus dan mereka bertepuk tangan.
Orangtuaku membual kepada tetangga dan kerabat tentang gelar sarjanaku, bahwa aku akan menjadi budak yang canggih. Selembar ijazah yang dirayakan seperti orang bodoh merayakan gol offside.
Aku mohon maaf. Kita cukup bodoh untuk ditipu, digendam, dan diberi harapan palsu. Itu bukan pertama kalinya. Kita juga menjadi korban penipuan serupa di masa silam. Apakah kamu ingat tahun 2014?
Kita pikir hidup kita akan berubah. Tidak ada yang berubah. Kita masih budak dan menderita.
Gelar sarjanaku tidak berguna seperti jalur jalan tol yang melayang di atas tudung rimba. Mobil-mobil berhenti menepi memberi jeda kepada penumpang untuk kencing di sisinya.
©Ikhwanul Halim (ayahkasih)
Bandung, 28 Februari 2018
Baru itu yang ditahu, baru itu yang katakan, baru itu yang dilakukan. begitu saja dari saya. People do what they believe!
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
That's a fact, my truly friend 👍😊
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit