1 April 2018. Tadi, aku menemani Teungku Jamaica ---yang baru-baru ini ditunjuk sebagai juru biacra (jubir) Partai Aceh (PA) dan akan dialntik pada 10 Aril 2018---, untuk melihat ia membeli kerang sekaligus melihat keramba tiram.
Ada hal unik terlihat, bagaimana perangai masyarakat kita sekarang sudah.
Dengan tujuan untuk menyejahterakan para pencari kerang dan tiram, Teungku Jamaica membeli kerang (istilah orang setempat 'aneuk panah') yang masih hidup termasuk kulitnya (tanpa dikupas) seharga Rp 150 ribu per drum (kaleng cat ukuran besar).
(Sebelum Teungku Jamaica membeli itu, tidaka da yang membeli tiram tersebut sebelum dikupas. Sebelum itu, para pencari tiram mengupas dan membuang kulit tiram sebelum menjualnya, dengan harga sekira RP 80 ribu denan perbandingan sebanyak yang dibeli Rp 150 ribu oleh Teungku Jamaica ).
"Kita harus membeli barang hasil usaha orang miskin lebih mahal supaya derajat mere teangkat. Bukan malah minta kurang, sementara di supermarket malah uang recehan lebih kadang tidak diambil. jadi berbalik. Seharusnya membantu orang miskin," kata Teungku Jamaica.
Namun, maksud baik Teungku Jamaica, ternyata tidak langsung berbias baik kepada masyarakat di sana. Teungku Jamaica memlebi satu drum kerang seharga Rp 150 ribu pada toke bangu. Namun toke bangku itu membayar 100 ribu per drum kepada pencari kerang. Pencari kerang ini harus menyelam selama beberapa jam dalam air asin untuk mendapatkan kerang. Ia juga harus membayar Rp 20 ribu per drum untuk orang yagn membersihkannya.
Ketika pencari tiram itu tahu berapa harga yang dibayar Teungku Jamaica Rp 150 ribu per drum, dan tokle bangku membayar Rp 100 ribu untuk mereka, maka mereka marah. Toke bangku ini tidak menyelam untuk tiram, dan tidak mengeluarkan modal, ia membayar setelah Teungku Jamaica membayar. Masalah itu akhirnya menjadi perdebatan sengit antara toke bangku dan pencari kerang. Pencari tiram akan setuju jika toke bangku ambil 20 ribu per drum, dan untuk mereka 130 ribu per drum.
Peristiwa itu aku saksikan sendiri tadi. Bahwasanya, ada masalah di dalam pola pikir sebagian masyarakat. Perang puluhan tahun telah merusak rasa kebersamaan dan menyayangi sesama. Sifat individualis mementingkan diri sendiri, memakan hak orang menyerabar dari tingkat atas sampai ke bawah.
Ternyata, bantuan yang harus diberikan masyarakat, bukan saja uang, tetapi juga pola pikir yang sehat. Setelah membeli lima drum kerang, kami pulang. Keramba tiram tidak terlihat (hanya erlihat bambu pancangnya) karena air tengah pasang.*