Mistisisme (mysticism) atau mistik sering difahami sebagai sebuah keambiguan, sesuatu yang tak terjangkau, sangat subjektif (tidak objektif) dan jauh dari penalaran-penalaran logis (William James, 292). Sebagian lagi memahami Mistik aktivitas spiritual (asketisme dan pelatihan-pelatihan) yang berguna untuk melatih ketajaman hati untuk memperoleh cahaya dan limpahan-limpahan (waridat) mistik (ma’rifah). Sebagian lagi memahami Mistik sebagai ritual-ritual kemistikan yang didasari oleh keyakinan bahwa ada kekuatan lain yang lebih besar dari apa yang terlihat. Pemahaman model ini melahirkan beberapa tradisi mistik seperti Tarekat dan Tawasul, Tawar dan Ajimat serta Ziarah dan Wali. Yang kesemuanya itu bukan ditujukan untuk memperoleh waridat ma’rifah seperti sebelumnya, tetapi hanya sebagai ekspresi dari keyakinan akan adanya pengaruh kekuatan gaib dalam kehidupan nyata. Terakhir, mistik difahami sebagai sebuah paradigma, satu model berfikir dan satu bidang ilmu yang digeluti demi mencapai pemahaman yang menyeluruh mengenai Manusia.(Annemarie Schimmel,Mystical Dimension, h.5)
Namun kemudian, seiring berjalannya waktu, mistik atau mysticism telah menjadi satu model studi kebudayaan (Culture-Studies) yang mencoba memahami fenomena-fenomena dan narasi-narasi mistik sebagaimana adanya. Dengan menggunakan berbagai pendekatan (umumnya fenomenologi) para sarjana mulai mengkaji dan menelaah bidang-bidang mistik dalam bentuk yang lebih teratur, disiplin, obektif dan ilmiah. Hal ini disebabkan karena sifat fenomenologi yang berusaha memaparkan fenomena-fenomena termasuk fenomena mistik secara lebih objektif dan apa adanya. Tanpa membatasi diri pada lahan-lahan empiris dan logis. (Corbin h.3)
Kamaruzzaman Bustamam Ahmad atau KBA dalam hal ini juga berbicara mengenai mistisme. Dalam narasi mistisisme, KBA selain menjadikannya sebagai subjek kajian (mystical studies) juga menjadi bagian dari sistem berfikir seorang KBA (mystical paradigm). Boleh dikatakan bahwa pengaruh mistisisme sangat kuat dalam diri dan pemikiran KBA.
Tokoh Mistik Barat yang pemikirannya paling berpengaruh bagi KBA adalah Henry Corbin yang diperkenalkan namanya oleh Joel S. Khan. Buku Corbin yang berjudul Creative Imagination in The Sufism of Ibn ’Arabi memberi inspirasi yang berarti bagi KBA. Kajian KBA tentang ‘irfan seperti Dari Fenomenologi ke ‘Irfani, Dari Taylor ke Corbin hingga kajian Dari Teks ke Lapangan, adalah model-model kajian yang meletakkan buku Corbin sebagai inspirasi utamanya. Bahkan buku fenomenal Wahdatul Wujud tidak lain merupakan pengejawantahan dari teori creative imajination-nya Henry Corbin yang kemudian dipakai untuk membedah perjalanan intelektualnya sendiri. (KBA Wahdatul Wujud) Terakhir, pemikiran Henry Corbin juga dijadikan sebagai salah satu kerangka ketika menulis tentang landasan meta-fisika dan metateori Islam Nusantara. (KBA Islam Nusantara 126-145)