Semalam Di Glee Taleuk

in life •  7 years ago 

DSC08162.jpg

Langit Kecamatan Tiro, Kabupaten Pidie, Sabtu 24 Februari 2018 kemarin, antara iya dan tidak, mendung tapi seakan enggan untuk turun hujan. Cerah, tapi sulit menampakkan sinar mentari yang pasti. Kami, berempat Aku, Afi, Raji Setel dan Khadiredok, nekat melanjutkan perjalan menuju Glee Taleuk. Pinto Sa, sebuah bendungan tertua di Pidie, telah kami lewati, jalan masih beraspal dan enak untuk dilalui, namun itu tidak lama, jalan bebatuan semakin terasa, terbukti dari tempatku duduk yang berboncengan dengan Afi, tak lagi nyaman seperti sebelumnya, bagaikan naik kuda dipadang bebatuan negeri Texas.

Jalan sudah memasuki daerah pinggiran sungai, bebatuan sungai Tiro dari Krueng Agam, semakin membuat pantatku tak nyaman. Perjalanan semakin terasa, saat kami harus menyeberangi sungai demi sungai yang sama, tak pelak aku harus turun dari kendaraan, agar motornya lebih mudah menyeberang.

Jam ditangan Afi, menunjukkan sekira pukul 16.00 Wib, motor telah kami parkirkan dengan baik di kebun warga, suara gongongan anjing si penjaga kebun, terus melonlong dari semak yang tak terlihat, mungkin mereka mengira kami, bagian dari para pencuri ternak. Pemilik kebun tersebut kenal dekat dengan Raji Setel. Kami mulai berjalan kaki menuju pinto Rimba, jalur pendakian menuju Glee Taleuk.

“Berapa lama biasanya pendakian keatas Raji,” Tanyaku kepadanya yang biasanya telah membawa beberapa temanya kelokasi tersebut, sambil terus menyusuri sungai kecil sebelum sampai di Pintu Rimba.

“Biasanya satu sampai dua jam, tergantung fisik juga,” Jawabnya enteng.

Aku sempat berfikir, jika mereka yang biasanya selama itu, aku akan semakin lama, menimbang fisikku yang dibawah rata-rata mereka. Kami sampai di Pintu Rimba, tepat di pinggiran sebuah alur yang airnya cukup jernih, bak air mineral yang sudah puluhan kali disaring menggunakan alat yang canggih, begitu juga dengan rasanya dan dinginnya air gunung, tak pernah membuat kita kecewa walau diminum mentah-mentah.

Ada hal yang lucu saat kami berhenti di Pintu Rimba, dimana salah satu logistic tempat si Khaidiredok, harus sobek dan menumpahkan minyak goreng yang kami beli disebuah warung kecil di jalanan Tiro. Dari ¼ Kg, hanya tersisa sedikit, namun kata Raji, itu cukup untuk memasak ikan asin yang sudah kami sediakan guna persediaan makan selama perjalanan.

Plastic minyak yang masih melekat minyaknya tersebut diperas habis kedalam botol air mineral, bahkan kami tak tahu lagi, yang masuk kedalam botol tersebut, apakah minyak goreng sebenarnya, atau yang sudah bercampur dengan gizi yang menyatu dengan kulit tangan Khaidir.

“Ka sep hai, bek kajurut lei minyeuk nyan, ie-ie Jaroe kah ka lam minyeuk nyan, enteuk kajeut ke Zombie tanyoe mandum keunong minyeuk ie jaroe kah,” tegur Raji, disambut gelak tawa kami berempat.

"Sudah cukup, jangan kamu saring lagi, nanti bercampur minyak itu dengan keringatmu, nanti jadi Zombi kita semua,"

DSC08148.jpg
Perjalanpun dimulai, pendakian juga sudah dimulai, disinilah aku harus menarik nafas panjang. Mengapa tidak, tanjakan didepan yang panjang, seakan memperlama perjalanan hingga mencapai one week lamanya. Aku mulai mendaki pelan-pelan, nasi yang aku makan bersama dengan Afi, tadi dipintu rimba terasa mulai naik keatas lambung, mengakibatkan gelembung udara yang membuat tidak nyaman dalam kerongkongan dan mata berkunang-kunang, ingin kumuntahkan semuanya kembali, tapi tak mampu.

Untungnya, dalam pendakian sahabat setiaku, Afi, yang merupakan warga Glumpang Tiga, sarjana guru Matematika tersebut selalu menemaniku. Dia tahu persis fisik yang aku miliki, sehingga dia tak akan jauh-jauh meninggalkanku, bahkan dia lebih sering berada dibelakangku.

Hari mulai gelap, sekira pukul 17.00 Wib, namun karena berda dalam hutan lebat, suasana pukul etrsebut akan lebih gelap, keadaan semakain kurang nyaman saat hujan deras mulai menguyur huta, membuat suasana semakin gelap, tentu Afi masih berada dibelakangku, itu yang membuatku masih tetap semangat, walau tenaga tidak adalagi, setidaknya gayaku belum berkurang.

“Nyoe tinggai gaya sagai, laen cit ka hana lei dari bunoe,” Pungkasku dalam perjalanan yang dibarengi oleh suara kami tertawa bersama.

"Ini tinggal gaya doang, selain itu sudah habis dikuras tenaga,"

DSC08161.jpg

Waktu terus berjalan, kami tak banyak beristirahat dijalan, hari semakin gelap, ditambah kabut yang terus berdatangan dari berbagai penjuru, layaknya serangan Jendral Santa Anna, dari Meksiko saat menyerang benteng The Alamo, di San Antonio di Texas tahun 1836, tiada ampun. Kami akhirnya juga menyerah dengan kondisi alam, Pukul 18.00 Wib, kami berhenti disebuah tempat yang kami namai Pintu Angin menuju Glee Taleuk, begitu kami namainya lokasi basecamp malam itu.

Saat dinyatakan fix untuk bermalam, aku langsung mengambil kamera dan tripod yang telah aku sediakan, langsung saja hobiku tersalurkan, meskipun tidak cerah, tapi aku bahagia, bukan karena aku bisa mengambil foto, tapi karena sudah sucukup pendakian hari ini.

Posisi kami sangat strategis, sebuah jurang membuat pemandangan tempat kami bermalam terasa lebih terbuka. Jurang tersebut langsung menghadap ke lembah pengunungan Tiro yang sangat menawan, dengan dibelah oleh sebuah sungai besar ditengahnya. Ya, itu lah Sungai Inong, sungai yang lebih besar daripada sungai Agam yang kami lewati tadi dalam perjalanan.

Malam sudah datang, suara binatang sore tadi telah berganti, tidak adalagi burung Rangkong yang terlihat, tidak adalagi sayap helikopternya yang terdengar. Kini hanya pandangan samar lembah Tiro yang kebanyak tertutup awan, sesekali sebelah barat kami muncul kilatan cahaya pertanda didaerah jauh sana, aka nada hujan. Kami berdoa hujan itu tak mengahampiri kami malam ini, karena terpal tenda yang kami bawa ternyata ukurannya kecil dan haya cukup untuk sebuah tenda.

Setelah makan malam terasa dengan menu khusus alam yang tiada duanya, yaitu nasi plus mie instans dengan ikan asin ditambah lagi kerupuk kampung yang hanya dijual dikedai-kedai kecil dalam desa, merupakan menu utama yang siap membuat manjanya rasa malam itu.

Pembahasan yang dibuka oleh Afi, malam itu tidak beraturan, sama seperti kehidupan pribadinya yang tak pernah teratur, penuh dengan kebebasan yang sebenarnya terbelenggu dalam banyak aturan. Malam itu, pembicaraan dimulai dari sejarah perjuangan Aceh mereka , Agama,hingga meentok pada siapa sebenarnyaa orang-orang merdeka itu?? Orang gila atau orang yang tidur? Tidak ada jawaban, hanya ada dawa kusir tanpa ujung yang sengaja diciptakan untuk mengisi sabtu malam, penuh dengan sembilu dingin angin yang didatangkan dari lembah pengunungan Tiro diantara dua savana luas Blang Sala dan Glee Taleuk.

“Lon kujak eh dile beuh, singoeh beudoeh beungoeh, ta kodak beu pah mandum, ta lake doa beu mantap cuaca,” Ucapku, saat tahu bahwa jam menunjukkan sudah pukul 00.05 Wib.

"Aku tidur dulu ya, besok bangun pagi, untuk memotret semuanya. kita doain saja cuacanya bagus,"

“Apa tidur awal-awal, kalau mau tidur cepat untuk apa ke hutan, di kota saja,” Ucap mereka membalas permintaan izinku kepada forum yang tak punya tersebut.

Tanpa peduli apa yang diucapkan mereka, aku langsung mengambil posisi nyaman didalam tenda Doom, yang telah dipasang sejak kami sampai sore tadi. Siap meninggalkan malam indah di Pintu Angin, menunggu mimpi besar besok di padang Savana Taleuk. Tentang mereka yang masih hidup dalam forum tanpa akhir dan nama, I don’t Care.

DSC08138.jpg

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

It's really great shot and great story... Cool.. great job bg Zian

thanks you, love it your comment my Story @irdaagstna

wow