“Lebih baik bekerja keras dan menjadi penggali selokan terbaik di dunia dari pada hidup mudah sebagai seorang elitis yang angkuh dibalik meja.”
Begitulah kira-kira, ucapan ayah Randy Pausch, saat ia mengadukan tentang perasaan rendah dirinya bekerja sebagai seorang buruh pencangkul stroberi di sebuah perkebunan. Sebagaimana dikutip dalam bukunya The Last Lecture Pesan Terakhir. Buku yang berisi tentang pesan terakhir Randy Pausch, profesor Realitas Maya di Universitas Carnegie Mellon, Avenue, yang mengidap 10 tumor di lever.
Betapa seringnya kita merasa rendah diri, malu, engga Pe-De dan minder, hanya karena kita berpendidikan rendah, tidak mempunyai penghidupan mewah dan tidak memiliki status kehidupan yang megah. Padahal semua kemewahan dan kemegahan belum tentu menjadikan kita baik di mata manusia. Apalagi di mata Allah subhanahu wata’ala.
Karena perasaan rendah diri pula lah kita begitu sering melantunkan kata-kata, “ah… saya kan cuma orang kecil.” Atau kalimat, “Apalah daya, saya kan orang tak punya.” Ucapan yang mencerminkan sikap yang terlalu oportunis memandang hidup. Dan terlalu pesimis menatap masa depan.
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak pernah memandang (menilai) wajah (penampilan) kalian, tetapi Allah menilai amal dan hati kalian.”
Penampilan sering menipu. Begitu para pujangga sering mengungkapkan. Buah mangga berkulit begitu menarik dipandang mata dan begitu menggugah selera. Namun, siapa tahu ternyata ulat dan serangga telah menggerogoti daging buahnya dari dalam. Penampilan tidak selamanya menentukan kualitas.
Hidup dalam kemiskinan dan serba kekurangan bukanlah suatu kehinaan. Dan hidup dalam kemewahan dengan kekayaan bukanlah suatu kemuliaan. Bisa jadi, Allah memuliakan si miskin dengan kemiskinannya. Dan menghina si kaya dengan kemewahannya.
Suatu hari, saat Rasulullah SAW sedang duduk bersama para sahabatnya melintaslah dua orang berturut-turut (yang pertama adalah orang dengan penampilan mewah, kemungkinan dia adalah orang kaya dan yang kedua adalah orang yang berpenampilan sederhana, kemungkinan dia adalah orang miskin). Lantas, beliau bersabda, “Siapakah, menurut kalian, diantara dua orang yang baru saja melintas yang paling bahagia hidupnya?.” Para Sahabat menjawab, “Menurut kami adalah orang pertama ya Rasulullah…”. Lalu Rasulullah bersabda bahwa orang kedua lah yang paling bahagia hidupnya. Allah telah mengujinya dengan kemiskinan. Namun, Allah memuliakannya dengan kelapangan hati. Sedangkan si kaya, meski hartanya berlimpah tapi sempit hatinya.
Saat hati kita lapang, apa pun yang menimpa kita, semuanya adalah kebaikan. Umar ibnu Khattab pernah berkata, “Sungguh indah kehidupan orang-orang mukmin. Saat ia mendapat kenikmatan dan ia bersyukur atas nikmat tersebut, maka kebaikan baginya. Dan saat ia ditimpa musibah dan ia bersabar dengannya, itu juga kebaikan baginya.”
Namun demikian, bukan berarti Islam melarang umatnya untuk hidup mewah. Hidup dalam kemewahan dengan bergelimang harta dan kekayaan juga dianjurkan dalam agama yang fitrah ini. Namun, dengan ketentuan tidak melupakan kewajibannya akan perintah agama atas hartanya. Semisal, zakat, infak, sedekah dan wakaf. Karena dalam setiap rezeki yang diperolehnya ada hak-hak orang miskin dan peminta-minta.
“Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang kami anugerahkan kepada mereka.” (Q.S. Al-Baqarah : 2-3).
Bagaimana pun kondisi kehidupan kita, sudah selayaknya kita bersyukur dengan apa yang ada. Karena dengan bersyukur, Allah akan menambahkan nikmatnya kepada kita dan meninggikan derajat kita di sisi-Nya. Oleh karenanya, jangan pernah berbangga dengan kemewahan yang kita punya. Karena bisa jadi ia adalah ujian bahkan hinaan Allah bagi kita. Karena mewah dan megah belum tentu baik. Wallahu a’lam.