Jokowi, Cekmad & Moratorium Sawit

in moratorium •  7 years ago 

 Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan pernyataan akan  menerbitkan Inpres tentang moratorium lahan sawit dan lahan tambang di  Indonesia. Pernyataan tersebut disampaikan  pada acara Gerakan Nasional Penyelamatan Tumbuhan dan Satwa Liar Dalam  Rangka Hari Hutan Internasional, di Pulau Karya, Kepulauan Seribu,  14/4/2016.
Jokowi beralasan, lahan kelapa sawit yang telah ada saat ini dinilai  sudah cukup dan dapat ditingkatkan lagi kapasitasnya dengan  memaksimalkan potensi yang ada, begitu pula halnya dengan lahan tambang.  Selain itu, moratorium ini dianggap penting untuk menjaga kelestarian  alam dan masa depan dunia bergantung pada kelestarian alam Indonesia,  yang kaya akan keanekaragaman hayati.

Bagi sebagian masyarakat dan organisasi yang memandang ekspansi  perkebunan kelapa sawit sebagai ancaman terhadap lingkungan, memberikan  apresiasi dan merupakan langkah maju yang dilakukan oleh Jokowi. Karena,  kondisi saat ini usaha perkebunan kelapa sawit dengan pendekatan swasta  telah berdampak serius terhadap kelangsungan lingkungan hidup dan  manusia. Selain berdampak terhadap bencana, konflik lahan warga dengan  Hak Guna Usaha (HGU) juga masalah besar yang belum tuntas.
Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) mencatat, rentan waktu 2004 –  2015 terjadi konflik agraria 1.772 kasus dengan luas lahan sengketa 6,9  juta ha, yang berdampak terhadap 1,1 juta rumah tangga petani. Dari  jumlah kasus tersebut, 50% terjadi di sektor perkebunan, 28% dari  infrastruktur, 9% dari hutan, 5% dari sektor tambang, dan 8% dari  lainnya. Atas kondisi tersebut, dalam Strategi Nasional (STRANAS)  Reforma Agraria, dari enam program perioritas, satu diantaranya terkait  Penguatan kerangka regulasi dan penyelesaian konflik agraria di  Indonesia.
Juru bicara Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Tofan  Mahdi, mengatakan akan menerima keputusan pemerintah Indonesia yang  berencana tidak akan lagi mengeluarkan izin pengelolaan lahan sawit  (bbc.com).
Menagih janji Jokowi
Sampai Mei 2017, pernyataan Jokowi belum juga ditindaklanjuti dengan  kebijakan dan aksi nyata terkait moratorium lahan sawit di Indonesia.  Moratorium lahan sawit diharapkan dapat melengkapi kebijakan moratorium  hutan dan lahan gambut yang terlebih dahulu telah dikeluarkan oleh  Presiden Jokowi melalui Inpres no. 8 tahun 2015.
Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Nurhidayati, menduga lambannya  Presiden mengeluarkan kebijakan moratorium lantaran mendapat tekanan  dari industri sawit. Para pelaku usaha di sektor sawit berusahaan  meyakinkan Presiden bila industri ini merupakan salah satu sektor  strategis bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Dugaan ini ditandai dengan  adanya upaya yang sistematis dari kalangan industri untuk membuat  perkebunan kelapa sawit sebagai industri strategis, sehingga perlu  mendapatkan fasilitas. Saat ini juga sedang dirancang revisi undang –  undang tentang perkelapasawitan, upaya revisi ini dinilai akan  memberikan keistimewaan kepada kalangan industri perkebunan kelapa  sawit, (wartaekonomi.co.id).
Deputi Direktur Sawit Watch, Achmad Surambo, menyampaikan  produktivitas kebun kelapa sawit Indonesia masih rendah, hanya 2,79 ton  CPO per hektar per tahun. Padahal pemerintah telah mencanangkan  produktivitas kebun sawit Indonesia bisa mencapai 9 ton CPO per hektar  per tahun. Dari pada terus menambah luas areal, lebih baik pemerintah  berkonsentrasi pada peningkatan produktivitas kebun sawit.
Presiden Jokowi jangan hanya memberikan janji terkait kebijakan  moratorium, Jokowi harus menindaklanjuti dengan kebijakan dan aksi nyata  dilapangan, sehingga moratorium lahan sawit menjadi solusi penyelesaian  menyeleruhun permasalahan sawit di Indonesia. Karena kondisi saat ini,  luas lahan sawit mencapai 10,5 juta hektar atau sekitar 8% dari total  luas lahan/hutan di Indonesia, (GAPKI).
Dalam Nawacita memuat agenda reforma agraria dan strategi membangun  Indonesia dari pinggiran, dimulai dari daerah dan desa. Dalam  pembangunan nasional, reforma agraria penting sebagai fondasi bagi  kebijakan ekonomi nasional yang berkaitan dengan upaya pemerataan  pembangunan, pengurangan kesenjangan, penaggulangan kemiskinan dan  penciptaan lapangan kerja di desa. Skema moratorium lahan sawit harus  dikaitkan dan punya kolerasi dengan program penataan Tanah Objek Reforma  Agraria (TORA). Hasil evaluasi dan penertiban izin perkebunan nantinya  akan mendorong percepatan perhutanan sosial yang selalu dikampanyekan  oleh Jokowi dengan membagi-bagikan lahan 12,7 juta hektar.
Cekmad dan moratorium sawit di Aceh Utara
Beda halnya dengan kondisi di Aceh, tepatnya Kabupaten Aceh Utara,  Bupati Muhammad Thaib (Cek Mad) telah mengeluarkan kebijakan tentang  moratorium sawit. Cek Mad menerbitkan Instruksi Bupati (Inbup)  Nomor.548/INSTR/2016 Tentang Moratorium Izin Perkebunan Sawit Baru Di  Aceh Utara. Kebijakan ini dikeluarkan dalam rangka pembangunan  berkelanjutan yang berwawasan lingkungan untuk terciptanya keseimbangan  alam, sehingga masyarakat dapat berusaha dibidang perkebunan/pertanian  secara berkesinambungan. Dalam pertemuan Nasional yang dihadiri oleh  perwakilan LSM, 5/4/2017 di Bali, Cek Mad dihadapan ratusan peserta  menyampaikan “secara sejarah Aceh Utara tidak pernah jaya dengan kelapa  sawit, melainkan dengan lada, pinang, dan kelapa”. Memaksimal lahan yang  sudah ada merupakan langkah yang tepat, karena Kabupaten Aceh Utara  saat ini memiliki 14 perusahaan besar di bidang perkebunan, dengan luas  lahan 35.336,96.
Moratorium sawit di Aceh Utara diterbitkan pada tanggal 19 September  2016, artinya lima bulan setelah Jokowi memberikan pernyataan akan  menerbitkan moratorium lahan sawit di Indonesia, Cek Mad mulai  memberlakukan moratorium sawit di Aceh Utara. Salah satu poin dalam  Inbup tersebut, menginstruksikan kepada Kepala Bappeda Aceh Utara untuk  tidak melakukan perencanaan tata ruang / lokasi izin usaha perkebunan  kelapa sawit baru di Aceh Utara. Apa yang dilakukan oleh Cek Mad  merupakan langkah maju dan semestinya dapat di contohkan oleh daerah  lain, termasuk kebijakan di tingkat provinsi.
Aceh (secara provinsi), juga telah memiliki regulasi serupa, meskipun  Gubernur terkesan malu-malu dalam penamaannya. Gubernur Aceh telah  menerbitkan Instruksi Gubernur (Ingub) Nomor. 10 Tahun 2016 Tentang  Moratorium Izin Prinsip Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal  Asing di Bidang Perkebunan Kelapa Sawit, yang diterbitkan pada 26  oktober 2016. Bagaimana kemudian, Pemerintah Aceh melakukan langkah  konkrit dalam implemtasinya dilapangan, terlebih Ingub tersebut  diterbitkan masa kempimpinan Gubernur Zaini Abdullah. Beda halnya dengan  Cek Mad memiliki kesempatan memimpin Aceh Utara dua periode, tentunya  kebijakan yang sudah dikeluarkan bisa dijalankan dengan baik.
Walhi Aceh mencatat, penguasaan ruang untuk sektor perkebunan di Aceh  mencapai 1.195.528 ha. Perkebunan besar dalam bentuk HGU mencapai  385.435 ha, sedangkan perkebunan rakyat mencapai 810.093 ha. Penguasaan  lahan HGU terbesar ada di Kabupaten Aceh Timur 101.321 ha, kemudian  disusul Nagan Raya 65.455 ha, Aceh Tamiang 46.371 ha, Aceh Singkil  45.008 ha, dan Aceh Barat 42.322 ha, selanjutkan disusul oleh sembilan  kab/kota lainnya. Sedangkan jumlah perusahan, jumlah terbanyak ada di  Aceh Tamiang 27 perusahaan, Aceh Timur 25, Nagan Raya 15, Aceh Singkil  15, dan Aceh Utara 12 perusahaan.
Keberadaan perkebunan (HGU) kelapa sawit di Aceh belum mampu  memberikan konstribusi yang maksimal terhadap kesejahteraan dan  perekonomian masyarakat. Sebaliknya, di beberapa daerah justru terjadi  konflik lahan warga dengan perusahaan yang sampai hari ini belum mampu  diselesaikan oleh pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah Aceh.  Seperti, konflik lahan warga dengan HGU PT. Syaukath di Bireuen, HGU PT.  Fajar Baizury di Nagan Raya, HGU PT. Dua Perkasa Lestari di Abdya, dan  HGU PT. Asdal Prima Lestari di Aceh Selatan. Atau konflik lahan  pemukiman warga Kuala Seumamyam dengan HGU PT. Kalistas Alam di Nagan  Raya, yang sampai hari ini warga masih bermukim di tengah – tengah areal  HGU.
Melihat dampak dan konstribusi yang diberikan dari usaha perkebunan  kelapa sawit di Aceh, sudah saatnya Pemerintah Aceh melakukan evaluasi  dan review perizinan HGU perkebunan kelapa sawit yang ada. Menutup ruang  untuk izin baru merupakan pilihan yang tepat, sehingga pemerintah Aceh  bisa memfokuskan diri pada penertiban izin lama dan memaksimalkan  produksi pada lahan perkebunan yang sudah ada.
Untuk lebih memperkuat regulasi tingkat daerah, penting kiranya  Jokowi segera menerbitkan regulasi tingkat nasional terkait moratorium  lahan sawit. Tidak hanya dalam bentuk Inpres, akan lebih kuat kebijakan  tersebut dikeluarkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP). Cek Mad  harus segera menyusun langkah strategis dalam implementasi Inbup yang  sudah diterbitkan, termasuk bagaimana strategi melakukan evaluasi dan  penertiban izin yang sudah ada.[] 

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

Hi! I am a robot. I just upvoted you! I found similar content that readers might be interested in:
http://www.acehtrend.co/jokowi-cekmad-moratorium-sawit/

Congratulations @nasir83! You have completed some achievement on Steemit and have been rewarded with new badge(s) :

You published your First Post
You got a First Vote

Click on any badge to view your own Board of Honor on SteemitBoard.
For more information about SteemitBoard, click here

If you no longer want to receive notifications, reply to this comment with the word STOP

By upvoting this notification, you can help all Steemit users. Learn how here!

Selamat @nasir83! Telah datang di Steemit. Senang anda di sini.. sudah kami upvote yah.. :)