Setiap bidah adalah kemaksiatan. Namun, belum tentu maksiat itu bidah. Seorang pezina atau pemabuk tidaklah disebut dengan ahlul bid’ah atau mubtadi’. Dengan kata lain, bidah itu lebih khusus daripada maksiat. Untuk lebih memahami hal ini, berikut kami uraikan perbedaan-perbedaan antara bidah dan maksiat.
Perbedaan pertama
Bidah itu adalah kesesatan, sehingga mubtadi’ (ahlul bid’ah) disebut dengan (ضال و مضل) “sesat dan menyesatkan”. Berbeda dengan maksiat lain (yang bukan bidah), pada umumnya tidak disifati dengan kesesatan. Demikian juga ketika seseorang melakukan kesalahan atau kekeliruan yang tidak disengaja ketika melaksanakan suatu perintah agama, maka hal itu adalah perkara yang dimaafkan, dan pelakunya tidaklah disifati (disebut) dengan kesesatan. Sebagaimana label “kesesatan” itu juga tidak diberikan kepada orang yang bersengaja melakukan perkara maksiat.
Hal ini karena kesesatan itu adalah lawan dari al-huda (petunjuk dalam kebenaran). Ahlul bid’ah disebut tersesat karena mereka menyangka bahwa jalan yang dia tempuh itu adalah jalan yang lurus, padahal bukan. Sedangkan jalan yang lain (yaitu jalan yang ditempuh ahlus sunnah), dia sangka sebagai kesesatan. Dia sebenarnya menyimpang dari jalan yang lurus, namun dia menyangka sedang menempuh jalan menuju Allah Ta’ala. Inilah mengapa ahlul bid’ah disebut tersesat.
Selain itu, ahlul bid’ah menjadikan akal dan hawa nafsunya sebagai penentu dalam menetapkan syariat, sedangkan dalil syar’i hanyalah sebagai pengikut dan penguat saja dari apa yang ditunjukkan oleh akalnya. Jika hal itu ditambah lagi dengan kebodohan terhadap pokok-pokok syariat, maka akan lebih parah lagi dan pada akhirnya bisa terjerumus dalam tahrif (mengubah-ubah makna dalil seenaknya sendiri).
Sebagai bukti, kita tidak mendapati seorang ahlul bid’ah yang menisbatkan dirinya kepada agama ini, kecuali dia akan menyebutkan dalil syar’i sebagai alasan untuk membenarkan bidahnya. Sehingga dia paksa dalil tersebut untuk mengikuti kehendak akal dan hawa nafsunya. Berbeda dengan pelaku maksiat pada umumnya yang tidak berbuat demikian, atau bahkan pelaku maksiat menyadari bahwa perbuatannya itu bertentangan dengan dalil (perintah) syar’i. Seorang pelaku maksiat, misalnya mencuri, tentu tidak akan mencari-cari dalil untuk membenarkan perbuatannya. Berbeda halnya dengan pelaku bidah, yang bisa jadi mencari-cari dalil untuk mendukung bidahnya.
Perbedaan kedua
Bidah itu memiliki kemiripan dengan syariat, berbeda dengan maksiat yang sama sekali berbeda dengan syariat. Ketika ada orang yang berbuat bidah, bisa jadi orang lain yang tidak tahu akan menyangka bahwa dia sedang berbuat ketaatan atau sedang beribadah kepada Allah Ta’ala. Karena perbuatan bidah itu memang mirip dengan ibadah syar’i.
Lanjut baca: https://muslim.or.id/69784-perbedaan-bidah-dan-maksiat-bag-1.html
✍🏼 Ust. M. Saifuddin Hakim
Repostx by :
🌀TEGAR DI ATAS SUNNAH
Grup Sharing Kajian Islam
Untuk mendapatkan informasi seputar agama Islam,Daftar WhatsApp:
▪️Ikhwan : bit.ly/2Ol9Avt
▪️Akhwat : bit.ly/2xbTmhr
Telegram : bit.ly/2x7XEFR
Silakan di-share, barakallahu fiik.