quote "Sejatinya bahagia bukan karna telah memiliki segalanya, tapi memberikan segalanya">quote
(gambar: tribunjatim)
Seorang lelaki bertubuh landai, dengan gigih yang tak rata, menggurui hatinya. Percakapan-percakapan terjadi di sepertiga malam, gigil malam telah menusuk kemudi yang ia bawa, sebuah kisah dari kasih tanpa mengerti apa-apa.
"Kau ini siapa?" Tanyaku
" Aku ini kau" jawabnya
Elegi bertemu dengan rimbun duga-duga, semuanya didedaki pertanyaan yang mengabarkan bahwa lelaki ini sedang mencari kabar dari hatinya, bagaimana ia harus tahu diri, tahu alam dan tahu dengan siapa ia bicara.
Dalam kisahnya, hati berbicara panjang mengenai anak gelandangan tanpa bapak dan ibu, di atas roda kehidupan ia masih saja senang berbagi apa yang ia miliki.
Namanya Nurdin, anak yang masih belasan tanpa pendidikan, tanpa kasih-sayang adalah seorang gelandangan yang biasa mengunjungi tong sampah depan rumah kontrakanku, ia masih ngerti bagaimana harus hidup tanpa sisa-sisa kasihan, tanpa minta-minta di jalanan dan harus menghidupi delapan anak kecil yang didapatnya di emperan. Barangkali anak itu sisa bejat lelaki dengan pasangannya di sebelah utara kota. Tempat wisma menyediakan surga tempat tidur.
Ia menyisakan dahaganya dan laparnya di kepulan barang bekas, mengamini keyakinannya bahwa hidup sejati memberikan segalanya, bukan memiliki segalanya.
Kemana mereka dengan gagah berkata hentaskan kemiskinan? Sebuah lelucon dari para teknokrat, ia berkata, janji ini janji rakyat, bukan janji para penjual mahar politik dengan tagihan membengkak. Negara masih memiliki tanggungan hidup tanpa mampu memberi jalan keluar.
Nurdin, setelah berbalas jasa, dengan menghidupi tanggungan yang seharusnya dari mereka, ia masih tetap memberi cintanya. Cinta memang lebih dalam dibanding perut keroncongan. Apabila keadaan masih belum bisa beranjak baik, setidaknya kesabaran masih tetap tabah menghadapi keadaan.
Jeneponto, 09 Agustus 2018
(gambar: dream.co.id)