Oleh : Suyadi
TIBA-tiba saja kita tersentak ketika lagu “Rasa Sayange” menjadi nyanyian latar promosi pariwisata negara tetangga. Hal sama terjadi ketika Blok Ambalat di Kalimantan diklaim milik negeri lain. Ini menambah daftar panjang yang – apabila dibiarkan – akan berimplikasi pada kedaulatan bangsa Indonesia. Nasionalisme kita pun bergolak. Akankah lagu “Indonesia Raya” dan pulau-pulau lainnya milik bangsa kita berpindah ke negara lain?
Sejumlah kasus yang menggoyahkan sendi-sendi kedaulatan kita sebagai bangsa berdaulat sedang diuji. Daftarnya kalau diurut bisa sangat panjang: ada wasit karate digimbal polisi, Tenaga Kerja Indonesia disiksa dan diperkosa majikan, istri pejabat kedutaan RI dilecehkan sukarelawan setempat, dan sebagainya.
Begitulah. Rasanya kewibawaan bangsa ini telah meluntur. Semangat heroisme dan nasionalisme yang disuarakan pendiri bangsa ini nyaris bergeming. Padahal, itu terjadi di tengah bangsa yang mulai melek hak asasi manusia dan demokratisasi.
Lalu, benarkah semangat nasionalisme kita – terutama para pemimpin dan penyelenggara negara – mulai pudar? Benarkah mereka seolah-olah ingkar terhadap ikrar Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dan Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945?
Betapa tidak, ketika rakyat mencemaskan sembako, ahan bakar, listrik, air minum, bencana alam, degradasi moral dan mental anak-anak, serta kagok aneka budaya global, para pemimpin kita justru tetap sibuk memikirkan kursi dan jabatan. Sementara negara ’dizalimi’ bangsa lain.
*
PEMBICARAAN mengenai nasionalisme dan multikulturalisme bersifat posteriori karena beberapa konsep harus dibicarakan lebih dahulu sebelum membahas isu tersebut. Dalam hal ini, tentu banyak diwarnai pemikiran antropologi.
Kebangsaan atau nasionalisme adalah topik baru dalam antropologi. Kajian tentang nasionalisme – ideologi negara-bangsa modern—sejak lama adalah topik pembicaraan ilmu politik, sosiologi makro dan sejarah.
Bangsa (nation) dan ideologi kebangsaan adalah fenomena modern berskala besar. Meskipun kajian mengenai nasionalisme memunculkan masalah-masalah metodologi yang baru berkaitan dengan skala dan kesukaran mengisolasi satuan-satuan penelitian, masalah-masalah ini justru mengait dengan topik-topik lain.
Perubahan sosial telah terjadi di wilayah sentral kajian antropologi, yang mengintegrasikan jutaan orang ke dalam pasar dan negara. Perhatian antropologi terhadap nasionalisme justru menempuh jalur yang berbeda dari ilmu politik yang sejak awal menempatkan negara sebagai pusat kajian.
Antropologi, sejalan dengan tradisi teorinya yang menempatkan evolusi sebagai premis dasar, memosisikan negara sebagai bagian dari pembicaraan mengenai evolusi masyarakat dari sederhana ke kompleks (modern). Dalam hal ini, negara menjadi bagian dari pembicaraan tentang proses masyarakat mengota (urbanizing) sebagai akibat proses evolusi dari masyarakat sederhana (baca: masyarakat primitif).
Dengan kata lain, negara adalah suatu institusi yang merupakan konsekuensi dari evolusi masyarakat tersebut, suatu pengorganisasian yang tumpang-tindih dengan institusi kekerabatan pada masyarakat sederhana pada masa lampau. (Cohen 1985).
Secara metodologi, seperti halnya kita yang hidup pada masa kini, dan disini, informan penelitian antropologi adalah warga negara. Selanjutnya, masyarakat primitif mungkin tak terisolasi seperti pada masa lampau, sehingga kini tak lagi “lebihasli” atau “lebih murni” daripada masyarakat kita kini.
Para antropolog sejak lama berupaya mengangkat kasus-kasus pada tingkatan mikro, sebagaimana tercermin dari masyarakat sederhana (primitif) yang berskala kecil, populasi kecil, hidup di suatu lingkungan yang relatif terisolasi, dan memiliki kebudayaan yang relatif homogen, ke tingkatan abstraksi yang bersifat makro, sehingga mampu menjelaskan gejala yang sama di berbagai tempat di dunia.
Meski demikian, upaya ini tidak mudah diwujudkan terlebih ketika antropolog masa kini semakin cenderung menyukai keanekaragaman dalam paradigma berpikir konstruktivisme yang kini berkembang, seolah paradigma relativisme kebudayaan yang berakar pada tradisi antropologi masa lampau memperoleh tempat baru pada masa kini.
Dalam terminologi klasik antropologi sosial, konsep “bangsa” (nation) digunakan secara kurang akurat untuk menggambarkan kategori-kategori besar orang atau masyarakat dengan kebudayaan yang kurang lebih seragam. I.M. Lewis (1985: 287), misalnya, mengatakan bahwa :”Istilah bangsa (nation), mengikuti arus pemikiran dominan dalam antropologi, adalah satuan kebudayaan.”
Selanjutnya Lewis memperjelas bahwa tidak perlu membedakan antara “suku bangsa” (tribes), “kelompok etnik” (ethnic groups), dan “bangsa” (nation) karena perbedaannya hanya dalam ukuran, bukan komposisi struktural atau fungsinya.
Dalam terminologi masa kini, ketika argumentasi homogenitas semakin sukar dipertahankan, maka pembedaan bangsa dan kategori etnik menjadi semakin penting karena keterkaitannya dengan negara modern. Lagi pula, suatu negara yang isinya adalah suatu kategori etnik semakin langka adanya.
Dengan kata lain, suatu perspektif antropologi menjadi esensil bagi pemahaman secara menyeluruh mengenai nasionalisme. Suatu fokus yang bersifat analitis dan empiris mengenai nasionalisme dalam penelitian modernisasi dan perubahan sosial, menjadi penting dan sangat relevan dengan lapangan kajian yang lebih luas dari antropologi politik dan kajian mengenai identitas sosial.
*
BERKAITAN masalah nasionalisme pasca-”Rasa Sayange” dan ”Indonesia Raya”, barangkali penting merujuk pandangan Ernest Gellner (1983) tentang nasionalisme: “Nasionalisme adalah prinsip politik, yang berarti bahwa satuan nasion harus sejalan dengan satuan politik. Nasionalisme sebagai sentimen, atau sebagai gerakan, paling tepat didefinisikan dalam konteks prinsip ini.
Sentimen nasionalis adalah rasa marah yang timbul akibat pelanggaran prinsip ini, atau rasa puas karena prinsip ini dijalankan dengan baik. Gerakan nasionalis diaktualisasikan oleh sentimen semacam ini” (hal. 1). Pandangan Gellner tentang nasionalisme ini lebih pas untuk konteks negara-bangsa (nation state) seperti Indonesia.Hal ini tercermin dari konsep “satuan nasion” yang terkandung dalam kutipan di atas. Tampaknya Gellner masih memandang “satuan nasion” sama dengan kelompok etnik – atau setidak-tidaknya suatu kelompok etnik yang diklaim keberadaannya oleh para nasionalis.
Dengan kata lain, nasionalisme, menurut pandangan Gellner, merujuk kepada keterkaitan antara etnisitas dan negara. Nasionalisme, menurut pandangan ini, adalah ideologi etnik yang dipelihara sedemikian sehingga kelompok etnik ini mendominasi suatu negara.
Negara-bangsa dengan sendirinya adalah negara yang didominasi oleh suatu kelompok etnik, yang penanda identitasnya –seperti bahasa atau agama—kerapkali terkandung dalam simbolisme resmi dan institusi perundang-undangannya.Tokoh lain yang dikenal dengan gagasan teoretisnya tentang nasionalisme, khususnya Indonesia, adalah Benedict Anderson, yang mendefinisikan nasion sebagai “an imagined political community” – dan dibayangkan baik terbatas secara inheren maupun berdaulat.Kata “imagined” di sini lebih berarti “orang-orang yang mendefinisikan diri mereka sebagai anggota suatu nasion, meski mereka “tak pernah mengenal, bertemu, atau bahkan mendengar tentang warga negara yang lain, namun dalam pikiran mereka hidup suatu citra (image) mengenai kesatuan komunion bersama” (hal. 6).
Jadi, berbeda dari pendapat Gellner yang lebih memusatkan perhatian pada aspek politik dari nasionalisme, Anderson lebih suka memahami kekuatan dan persistensi identitas dan sentimen nasional. Fakta bahwa banyak orang yang rela mati membela bangsa menunjukkan adanya kekuatan yang luar biasa itu.
Meski Gellner dan Anderson memusatkan perhatian pada tema yang berbeda, prinsip politik dan sentimen identitas, keduanya sesungguhnya saling mendukung. Keduanya menekankan bahwa bangsa adalah konstruksi ideologi demi menemukan keterkaitan antara kelompok kebudayaan (sebagaimana didefinisikan warga masyarakat yang bersangkutan) dan negara.
Anderson sendiri berupaya memberikan penjelasan terhadap apa yang disebut “anomali nasionalisme”. Menurut pandangan Marxis dan teori-teori sosial liberal tentang modernisasi, nasionalisme seharusnya tidak lagi relevan di dunia individualis pasca-Pencerahan, karena nasionalisme itu berbau kesetiaan primodial dan solidaritas berbasis asal-usul dan kebudayaan yang sama.
Maka, kalau kita kini menyaksikan “goyahnya” nasionalisme di Indonesia, hal ini mungkin disebabkan antara lain oleh masuk dan berkembangnya pemikiran liberal dalam ilmu-ilmu sosial di Indonesia, dan menjadi bagian dari cara ilmu-ilmu sosial memikirkan negara-bangsa dan nasionalisme kita sendiri.
Kajian antropologi mengenai batas-batas etnik dan proses identitas mungkin dapat membantu memecahkan problematika Anderson. Penelitian tentang pembentukan identitas etnik dan dipertahankannya identitas etnik cenderung menjadi paling penting dalam situasi-situasi tak menentu, perubahan, persaingan memperoleh sumberdaya, dan ancaman terhadap batas-batas tersebut. Tak mengherankan, gerakan-gerakan politik yang berdasarkan identitas kebudayaan kuat dalam masyarakat yang tengah mengalami modernisasi, meskipun hal ini tidaklah berarti bahwa gerakan-gerakan tersebut menjadi gerakan-gerakan nasionalis.
*
DARI analisis tentang perspektif antropologi mengenai nasionalisme dannegara di atas, dapatlah dikemukakan bahwa negara-bangsa Indonesia kini menghadapi tantangan-tantangan besar, yang apabila tak berhasil menghadapi dan menaklukkan tantangan tersebut, dapat diprediksi bahwa negara kesatuan Republik Indonesia ini akan berakhir.
Akan tetapi kalau kita memiliki kesepakatan dan komitemen bahwa negara kesatuan ini adalah final, maka kita perlu memperhatikan secara seksama tantangan-tantangan yang kita hadapi, dan tugas-tugas yang harus kita laksanakan untuk menghadapinya.
Banyak orang berpendapat, multikulturalisme merupakan alternatif yang paling tepat untuk membangun kembali integrasi bangsa tersebut, meski belum ditemukan model multikulturalisme seperti apa yang paling tepat untuk Indonesia.
Pendapat tersebut tidak salah, karena pendekatan proses dalam multikulturalisme lebih relevan untuk menjawab isu kebangsaan dan integrasi nasional yang kini dituntut mampu menjawab tantangan perubahan.
Menghadapi tantangan nasionalisme kita dari tekanan bangsa alain, ada beberapa hal yang perlu dicermati. Pertama, fakta keanekaragaman sukubangsa, ras, agama, dan golongan sosial-ekonomi, semakin diperumit oleh faktor geografi Indonesia yang kepulauan, penduduk yang tinggal terpisah-pisah satu sama lain, mendorong potensi disintegrasi meningkat.
Kedua, premis antropologi bahwa nasionalisme dan negara seyogianya dibicarakan mulai dari akarnya, yakni mulai dari konsep-konsep “suku bangsa”, “kelompok dan etnisitas”, jelas menunjukkan bahwa apabila semangat nasionalisme luntur karena berbagai sebab, maka yang tertinggal adalah semangat kesukubangsaan yang menguat. Dengan kata lain, meningkatnya semangat primordial (antara lain kesuku-bangsaan) di tanah air akhir-akhir adalah indikasi melunturnya nasionalisme.
Ketiga, hak-hak minoritas senantiasa melekat pada fakta pengaturan keanekaragaman yang ada. Apabila pengaturan nasional berorientasi pada kebijakan kebudayaan seragam dan sentralistis, maka fakta pluralisme, diferensiasi, dan hierarki masyarakat dan kebudayaan akan meningkat.
Dalam kondisi ini hak-hak minoritas akan terabaikan karena tertutup oleh kebijakan negara yang terkonsentrasi pada kekuasaan sentralistis. Namun, apabila pengaturan tersebut adalah demokratis dan/atau multikuluralistis maka hak-hak minoritas akan semakin dihargai.
Yang perlu diperhatikan adalah bahwa upaya membangun bangsa yang multikultural itu berhadapan dengan tantangan berat, yaitu fakta keanekaragaman yang luas dalam konteks geografi, populasi, sukubangsa, agama, dan lainnya. Oleh karena itu, membangun negara-bangsa yang multikultural sepertinya harus dibarengi oleh politik pengaturan dan sentimen kebangsaan yang kuat.
Keempat, perekat integrasi nasional yang selama ini terjadi seperti politik penyeragaman nasional dan konsentrasi kekuasaan yang besar sesungguhnya adalah hal lumrah dalam politik pemeliharaan negara bangsa. Namun, mekanisme pengaturan nasional ini terganggu ketika seleksi global “tidak lagi menghendaki” bentuk negara-bangsa sebagai bentuk pengaturan nasional pada abad yang baru ini.
Kondisi negeri kita yang serba lemah di berbagai sektor mempermudah kita menjadi rentan untuk “tidak lagi dikehendaki” dalam proses seleksi global. Untuk itu, sudah seharuslah para pemimpin negeri ini memberikan suri-teladan nasionalisme kepada rakyatnya. Tidak cuma berebut kursi dan jabatan. ***
PUSTAKA
Abdullah, Taufik (ed), 1996. Agama dan Perubahan Sosial. Jakarta : RajaGrafindo Persada
Adimihardja, Kusnaka, 1983. Kerangka Studi Antropologi Sosial dalam Pembangunan. Bandung : Tarsito
Al-Barry, M. Dahlan Yacub, 2001. Kamus Sosiologi Antropologi. Surabaya : Indah
Anderson, B. (1991 [1983]) Imagined Communities. Reflections on the Origins and Spread ofNationalism. 2ndedition. London: Verso
Barth, Frederik, 1998. Kelompok Etnik dan Batasannya.Jakarta : UI Pers
Bowen, John R, t.t. Religions in Practice : An Approach to the Anthropology of Religion. Washington University in St. Louis
Cohen, A. (1974) Two-dimensional Man. London: Tavistock
Coppel, Charles A., 1994. Tionghoa Indonesia dalam Krisis. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan
Diamond, Larry dan Plattner, Marc F., 1998.Nasionalisme, Konflik Etnik, dan Demokrasi.Bandung : ITB
Eriksen, Thomas Hylland, t.t. Ethnicity and Nationalism : Anthropological Perspektives. Pluto Press
Faruk dkk, 2000. Perlawanan Diskriminasi Rasial-Etnik. Magelang: IndonesiaTera
Furnivall, J.S. (1938) The Netherlands Indies: A Study in Plural Economy. Cambridge: Cambridge University Press
Geertz, C. & D. Apter, eds. (1969) The Old Societies and New States. Chicago: Aldine Publications
Gellner, E. (1983) Nations and Nationalism. Oxford : Blackwell.
Geerts, Clifford, 1992. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta : Kanisius
Giddens, Anthony dan Held, Davids, 1987. Kelompok, Kekuasaan, dan Etnik. Jakarta : Rajawali
Saifuddin, A.F. (2005) Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritik Mengenai Paradigma. Jakarta : Prenada-Media
Smith, A.D. (1986) The Ethnic Origin of Nation. Oxford: Blackwell
Turner, V. (1969) The Ritual Process: Structure and Anti-Structure. Chicago: Aldine Publications.