Revisi UUMKD DPR makin sakti

DPR adalah wakil rakyat yang diberi mandat oleh masyarakat untuk mewakili aspirasinya kepada pemerintah. DPR memiliki tiga tugas pokok yaitu : pengawasan, legeslasi dan budgeting/anggaran.
Nah, dalam seminggu terakhir ini DPR RI disoroti berbagai media karena merevisi UU MD3 yang isinya dianggap melemahkan demokrasi di Indonesia. Beberapa pakar hukum di Indonesia pun angkat bicara dan tidak sedikit yang kontra dengan revisi UU MD3 tersebut.

Pasal 122 huruf k UU MD3 menyebutkan, "MKD bertugas mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR". Melalui pasal ini parlemen sangat mungkin menafsirkan laporan orang terhadap anggota DPR RI yang diduga melakukan perbuatan menyimpang/melanggar hukum seperti korupsi sebagai salah satu bentuk merendahkan lembaga tersebut.

Terlebih pasal 122 huruf k UU MD3 itu dinilai mengancam masyarakat. Seolah dengan pasal ini rakyat diancam oleh wakilnya sendiri untuk tidak bersuara keras-keras mengkiritiknya.
Padahal baru-baru ini anggota dewan juga mengkritik pasal penghinaan terhadap presiden dimasukkan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pasal tersebut dianggap mencederai demokrasi di Indonesia. Seharusnya mereka juga melakukan otokritik terhadap lembaganya sendiri.

Indonesia hari ini telah maju, pasal ini tidak relevan lagi di jaman moderen dan era demokrasi. Menghina adalah delik yang paling digunakan oleh raja-raja atau diktator zaman dahulu untuk menopang kewibawaan agar orang tidak banyak bertanya tentang perilaku mereka yang tiran dan korup. Jika pasal tersebut benar-benar disahkan maka demokrasi di Indonesia telah mundur beberapa langkah ke zaman orde baru, dimana rakyat dibungkam untuk berpendapat.

Sementara di era demokrasi kehormatan sebuah kekuasaan itu diletakkan pada kuasa rakyat. Rakyat yang memutuskan kapan, dimana, dan kepada siapa kehormatan itu diletakkan.