Pers Aceh dan Penegakan HAM di Masa Damai |

in opinion •  6 years ago 



- Refleksi 9 Tahun KontraS

Oleh @ayijufridar

PERJANJIAN Damai antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka, ikut mengubah warna pemberitaan media cetak dan elektronik di Aceh. Sebelum kesepakatan tersebut ditandatangani, jurnalis di Aceh (juga nasional dan internasional), berita tentang konflik Aceh merupakan tema liputan yang seksi. Berita-berita tentang konflik dengan segala ketragisannya, menghiasi halaman-halaman media cetak.

Setelah terjadinya bencana tsunami 26 Desember 2004, berita konflik mulai bergeser. Sebagai gantinya, tragedi tsunami mendapat tempat utama tidak hanya di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia. Tak salah bila menyebutkan, tsunami membuat telah membuat nama Aceh kian dikenal di komunitas internasional. Belum ada pemberitaan tentang Aceh selama ini yang segencar tsunami.

Perhatian pers dunia masih tertuju ke Aceh di tengah proses rehabilitasi dan rekonstruksi yang terus berlangsung. Perjanjian damai antara pemerintah dengan Gerakan Aceh Merdeka menjadi isu utama. Kemudian, pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara serentak di 19 kabupaten/kota plus gubernur yang disebut-sebut terbesar di Indonesia (bahkan dunia?), membuat Aceh masih tetap mendapat tempat di media.

Kini, setelah Pilkada selesai dan hampir tiga tahun tsunami berlalu, Aceh seperti kehilangan isu yang bernilai. Rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh masih tetap menjadi perhatian. Sesekali, berita tentang proses tersebut muncul di halaman satu media cetak yang beredar di Aceh, bersaing dengan berita-berita kriminal bersenjata api yang belakangan kian marak. Selebihnya yang tersiar adalah berita talking news tentang janji pejabat yang akan memberantas pembalakan liar dan sebagainya. Dari segi nilai, berita itu tak lebih sebagai lips service untuk membentuk opini publik bahwa kebijakan pejabat sudah benar. Bukannya tidak penting, tapi banyaknya berita tentang pernyataan pejabat menunjukkan pers lebih berperan sebagai corong pejabat daripada perpanjangan mulut rakyat.

KontraS selama ini sering bekerja sama dengan per untuk kasus kekerasan dan orang hilang. Namun, posisi jurnalis sangat pasif dalam membina hubungan tersebut. Misalnya, wartawan hanya menerima rilis dari KontraS dan memuatnya secara utuh. Padahal, rilis adalah sumber informasi yang paling lemah. Masih butuh verifikasi di lapangan atas kebenaran informasi tersebut.

Selama ini, wartawan di Aceh kerap memuat utuh rilis yang mereka terima dari KontraS dan lembaga lainnya. Masih syukur bila ada yang melakukan konfirmasi atas rilis tersebut. Masih banyak wartawan yang tidak melakukan konfirmasi sama sekali sehingga berita yang disajikan tidak cover both side dan cenderung melakukan trial by the press.

Organisasi seperti KontraS dan lembaga lain yang sering memberikan rilis kepada wartawan, sebaiknya memberikan semacam warning bahwa informasi yang mereka berikan masih butuh konfirmasi dan verifikasi. Jadi, tidak ada klaim bahwa informasi itu sudah benar adanya. Sebagai contoh, dalam kasus penganiayaan empat prajurit TNI di Desa Alue Dua, Nisam Antara, Aceh Utara yang berlanjut dengan penganiayaan sejumlah warga sekitar. Dalam rilis seperti itu, KontraS perlu mengingatkan jurnalis bahwa masih perlu verifikasi di lapangan mengenai kejadian tersebut. Namun, perlu diingat, seorang yang baik akan melakukan verifikasi tanpa harus diingatkan. Warning text semacam itu hanya bagian dari upaya KontraS dan siapa pun juga untuk mendukung validitas sebuah berita. Pasal 1 dan 3 Kode Etik Wartawan Indonesia mengingatkan agar selalu berimbang dan menguji kebenaran informasi.




Dalam suasana perdamaian seperti saat ini, ternyata ancaman terhadap kebebasan pers di Aceh masih tetap ada. Bahkan, intensitasnya meningkat beberapa bulan terakhir ini. Catatan AJI Lhokseumawe dan AJI Banda Aceh, dari November 2005 – Mei 2007 sedikitnya terjadi 15 kasus kekerasan terhadap jurnalis mulai dari pelecehan, intimidasi, sampai pemukulan. Jumlah kasus yang sebenarnya jauh lebih banyak lagi karena banyak wartawan yang enggan mempersoalkannya. Pelaku kekerasan tersebut berasal dari berbagai kalangan, mulai dari pejabat, anggota TNI, mantan GAM, sampai petugas pelayanan publik.

Di tengah ancaman tersebut, pers Aceh harus tetap mengkampanyekan penegakan HAM. Masalah HAM merupakan tugas yang tidak bisa dikesampingkan karena menjadi salah satu dari lima peranan pers nasional. Padal 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 menyatakan; Pers nasional melaksanakan peranan menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak azasi manusia, serta menghormati kebhinekaan. Atas dasar itu, persoalan hukum dan HAM harus menjadi agenda utama pers nasional, termasuk di Aceh.

Agenda ini sepertinya yang belum masuk dalam liputan jurnalis di Aceh, setidaknya terekam dari berita-berita yang disampaikan. Pers masih bersikap reaktif alih-alih membuat agenda liputan. Sebagian besar berita yang diturunkan mengikuti agenda pihak lain atau sering disebut dengan berita jatuh dari langit. Padahal untuk memainkan peran yang lebih optimal dan agar bisa mempengaruhi kebijakan publik, dibutuhkan lebih banyak berita by design. Berita yang dirancang untuk mendukung perubahan kebijakan publik, dan bukannya berita reaktif atas sebuah kebijakan yang sudah diambil.[]

Penulis adalah Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Lhokseumawe. Tulisan ini disampaikan dalam Diskusi Refleksi 9 Tahun KontraS di Banda Aceh 26 Juni 2007.






Badge_@ayi.png


follow_ayijufridar.gif

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

Thanks for sharing it

Posted using Partiko Android

You Welcome @ahmanik. Saleum.

Please Check my blog

Posted using Partiko Android

Mmg stiap berita yg di update msti brita yg hngat
sama seperti mkanan juga, klo tak hangt brti tk
segar, klo tk segar...yah,,, kurg laku, bgtulh adanya.

salam eksis sllu @ayijufrridar

Dan yang lebih, berita itu memiliki nilai akurasi tinggi dan nilai edukasi tinggi sehingga bermanfaat bagi pembaca. Saleum @fauzan11.

ya, betul sekali sdr @ayijufridar

Patut dijadikan renungan bagi seorang wartawan atau Jurnalis,

Artikel lama @khairumanyun. Tapi akan tetap update sampai kapan pun karena itulah intisari dari jurnalisme.

Jujur, Bang @ayijufridar, selama ini saya lihat ada celuruk yang belum terisi atau belum terpenuhi oleh para jurnalis di celah media kita, yaitu jurnalis yang bisa atau punya metode depth research, khususnya untuk kasus-kasus besar. Barangkali media nasional hanya beberapa saja yang punya dan itupun belum sempurna. Sebutlah Tirto.id. Tetapi mereka juga kekurangan orang. Barangkali, Aceh butuh jurnalis macam itu untuk mengupas kasus-kasus berat seperti yang abg bahas. Just opinion, bang.. :)

Sebenarnya, banyak wartawan di Aceh yang sudah memiliki kemampuan investigavite reposrting. Tapi memang tidak mudah melakukan itu karena membutuhkan banyak waktu, tenaga, dan biaya. Makanya, isu-isu besar untuk dilakukan inevstigas mendalam dengan riset dan sebagainya, dilakukan oleh tim. AJI Lhokseumawe dulu secara rutin memberikan pelatihan dan beasiswa investigasi reporting. Tempo hari, lembaga Bytra untuk mendanai investigasi reporting khusus isu lingkungan. Sayangnya, minat wartawan di Aceh sangat rendah. Padahal, sudah bisa mengiktui pelatihan dengan gratis, dapat biaya liputan lagi.

Bahh.. Saya mau daftar bang kalau ada program semacam itu lagi. Jujur, meski background saya Antropologi, tetapi rasa-rasanya saya cukup cocok dan tertantang dengan jurnalis berat yang meliput kasus-kasus besar. Asli bang, kalau ada program semacam itu, libatkan saya.. Teman-teman di komunikasi Unimal juga ada yang berminat. Saya sangat percaya.. :)

Sayangnya, @samymubarraq sedang di luar daerah. Kalau ada di Lhokseumawe, bisa mengikuti pelatihan seperti ini.

Siap riset ini insya Allah pulang dan lebih sering melibatkan diri dalam wadah seperti ini, Bang @ayijufridar.. :)

Liputan dengan topik yang begitu hangat dan menarik kanda @ayijufridar
semoga memberikan banyak manfaat bagi penulis dan juga para pembaca.

Seperti kata @samymubarraq di atas, liputan investigasi merupakan primadona jurnalisme di tengah tsunami informasi saat ini. Inilah yang memberikan berita lepas yang bisa diproduksi siapa saja melalui media sosial dengan informasi profesional hasil investigasi mendalam yang menyajikan data dan fakta akurat.