Ibu, topik yang tak kan pernah habis untuk dibahas. Jabatan mulia yang Tuhan sematkan bagi kaum hawa, yang tak didapati oleh lelaki. Sebagaimana Rasul memerintahkan setiap anak untuk berbakti pada Ibu baru kemudian pada Ayah, hal ini dengan jelas menunjukkan kemulian Ibu. Mengapa posisi ibu begitu penting? Karena Ibu adalah madrasah (sekolah-red) pertama bagi setiap anak. Maka, ibu adalah penentu utama keberhasilan dan kesuksesan dunia akhirat setiap anak. Bahkan pepatah Aceh dengan gamblang menyebutkan “kiban u meunan minyeuk, kiban Ma meunan aneuk”, yang maknanya, perilaku anak tidak akan jauh berbeda dengan ibu atau orang tuanya.
Ibu, sebagai sekolah pertama bagi anak, sudah sepatutnya mempunyai ilmu dan kemampuan yang lebih sebagai modal dalam mengasuh dan mendidik anaknya. Ketika zaman semakin berkembang, Ibu juga tak boleh kudet alias kurang up date terhadap perkembangan yag ada. Ibu tak boleh kuno, karena ia harus mempersiapkan anaknya untuk masa depan nantinya.
Meski tak ada pendidikan khusus untuk menjadi seorang ibu, namun bukan berarti Ibu boleh abai terhadap perannya bagi anak. Ibu mestilah pandai dan kekinian, karena Ia akan menjadi referensi pertama bagi anaknya. Kalau dulu, Ibu belajar dari pengalaman orang tuanya sebagai pedoman dalam pengasuhan anak. Maka kini, ada banyak teori dan hasil penelitian mengenai berbagai pola asuh keluarga yang harus dipahami oleh semua Ibu. Karena mengasuh dan mendidik bukan untuk dicoba-coba, tetapi untuk disesuaikan dengan kebutuhan dan target keluarga masing-masing.
Ibu dan Pola Pengasuhan
Sejarah mencatat betapa masyarakat Aceh sangat pemberani pada masa penjajahan Belanda. Hal ini tak lepas dari peran Ibu pada masa itu. Kebiasan menyenandungkan syair-syair (termasuk hikayat Prang Sabi) sebagai pengantar tidur si-anak, menjadikan semua pemuda Aceh tak kenal takut dalam mengusir penjajah. Bahkan, banyak tokoh Ibu yang menoreh namanya dengan tinta Emas pada masa itu. Siapa tak kenal Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, dan Laksamana Malahayati? Merekalah wanita sekaligus Ibu hebat yang membangkitkan semangat juang masyarakat Aceh, yang ditakuti oleh para penjajah.
Ibu hebat akan senantiasa melahirkan anak-anak hebat. Karakter yang ditularkan orang tua, baik sadar maupun tidak akan membentuk pribadi anak-anaknya. Menurut teori pengasuhan Baumrind, Ibu yang mengasuh anaknya dengan pola yang berimbang antara kasih sayang dan tuntuan akan menjadikan si anak mampu melihat kekuatan dan kelemahan dirinya sebagai bekal sebelum terjun ke dunia nyata. Ibu atau orang tua yang memberikan kelimpahan kasih sayang tanpa adanya tuntutan sedikitpun, akan menjadikan anak manja, dan tidak mandiri. Orang tua yang hanya memberi banyak tuntutan tetapi minim kasih sayang, hanya akan menjadikan anak terkekang atau pemberontak. Dan orang tua yang abai akan kasih sayang dan tuntutan, akan menjadikan anak bebas tanpa aturan.
Harry Santosa, dalam bukunya Fitrah Based Education (2017), juga menekankan bahwa orang tua, tidak hanya Ibu, harus paham terlebih dahulu akan fitrahnya sebagai orang tua, baru kemudian bisa menumbuhkan fitrah anak-anaknya. Kita harus mendidik anak sesuai dengan perkembangan fitrahnya, tidak asal didik. Mendidik anak haruslah disesuaikan dengan zaman dimana anak tumbuh, bukan mengikuti zaman orang tuanya. Anak-anak disiapkan untuk mampu mengenali setiap potensi yang ada pada dirinya sehingga nantinya mampu eksis di masyarakat.
Ibu sejatinya adalah observer (pengamat) bagi setiap anaknya, yang mampu menangkap segala kebutuhan yang diperlukan anak, potensi yang dimiliki anak, dan kesalahan yang harus diminimalkan oleh si-anak. Benar-benar bukan pekerjaan ringan, tapi masih banyak ibu yang menganggap enteng sehingga berujung pada salahnya pola asuh. Seandainya semua Ibu, juga ayah mau belajar, dan memperkaya diri dengan ilmu, mungkin tidak akan ada lagi kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga, dan kasus-kasus kenakalan remaja.
IRT vs Ibu Pekerja
Organisasi Buruh Internasional (ILO) mencatat jumlah pekerja wanita semakin meningkat setiap tahunnya. Bukan tanpa alasan dan sebab fenomena ini terjadi. Para ahli neurologi dan psikologi menyatakan bahwa wanita mampu menangani stress pekerjaan lebih baik dibandingkan pria, sehingga berefek pada kualitas pekerjaan mereka. Ellison (2011), juga menegaskan wanita yang telah melahirkan memiliki kemampuan yang lebih dalam beberapa hal (strategi, intuisi, dan reflek) dibandingkan wanita yang belum melahirkan. Dengan kata lain, otak ibu jauh lebih berkembang dan mempengaruhi perilaku keibuannya pada anak dan lingkungan sekitarnya.
Menjadi Ibu Rumah Tangga (IRT) adalah hal mulia. Ibu dapat mencurahkan semua perhatiannya pada keluarga, khususnya anak. Ibu rumah tangga dapat mengontrol dan mendampingi tumbuh kembang anaknya secara utuh. Namun, menjadi ibu pekerja bukanlah hal tercela. Ada banyak alasan mengapa sebahagian ibu harus bekerja di luar rumah, selain hal ekonomi tentunya.
Bisakah kita bayangkan jika tidak ada ibu dengan profesi dokter, bidan, dan guru. Kita akan sangat tidak nyaman saat memeriksa kesehatan dan menitipkan anak kita di PAUD, jika semua penyedia jasa tersebut adalah laki-laki. Jelas tak dapat kita pungkiri bahwa kita tetap membutuhkan ibu yang bekerja di luar rumah. Ada hal-hal yang kita lebih mempercayakannya pada wanita, karena kaum pria kurang mampu melakoninya.
Ibu rumah tangga ataupun ibu pekerja sama hebatnya, sehingga tidak perlu lagi mencibir ibu dengan pendidikan tinggi yang memilih mendedikasikan seluruh ilmunya untuk keluarganya. Karena pada hakikatnya, memilih meninggalkan profesi yang mereka lakoni sebelum berstatus ibu, merupakan langkah berani dan bukti bahwa mereka siap meninggalkan comfortable zone menuju dunia baru yang juga penuh tantangan.
Tidak perlu juga mencemooh ibu yang menitipkan anaknya pada pengasuh berpendidikan biasa, sehingga bisa mengepakkan sayap career-nya lebih lebar. Ada misi keluarga yang kadang orang lain tak tahu. Para ibu pekerja pasti sudah menimbang dengan matang keputusan yang mereka ambil, dan pastinya mereka juga akan memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya.
Semoga dengan ini, tidak ada lagi stigma bahwa ibu rumah tangga lebih mulia dibandingkan ibu pekerja. Atau, ibu pekerja lebih tangguh ketimbang ibu rumah tangga. Keduanya sama-sama mulia, sama-sama tangguh dan hebat, karena Ibu manusia yang Allah titipkan padanya jalan surga bagi setiap anak.