Perempuan Aceh: Antara Kenangan dan Kenyataan

in perempuan •  6 years ago 

(Tulisan ini adalah salah satu dari tulisan "Catatan Akhir Tahun Poros Darussalam", sebuah catatan/refleksi akhir tahun dari beberapa penulis tentang Aceh Tahun 2018, ditinjau dari berbagai perspektif, salah satunya adalah cerita tentang kaum perempuannya)

Perempuan.
Kapan tak menjadi trending topic dan selalu ada khususan? Di tingkat nasional, ada kementrian khusus untuk perempuan. Tak hanya itu, ada juga dinas khusus di tingkat propinsi dan kabupaten/kota, ada lembaga khusus seperti
Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), ada Komnas Perempuan, ada undang-undang khusus, ada kuota khusus “30 %” untuk memastikan keikutsertaan, dan banyak lagi keistimewaan yang diberikan bagi warga negara perempuan. Secara legal formal, hal ini juga berlaku untuk perempuan Aceh, bahkan dengan beberapa tambahan. Untuk pelayanan publik misalnya. Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Pasal 1
tentang Asas-Asas Pelayanan Publik, salah satu asasnya hanya menyebut “Persamaan Perlakuan/Tidak Diskriminatif”. Klausa ini pernyataan yang umum sekali maknanya. Sementara dalam Qanun Nomor 8 Tahun 2008 Pasal 1 ada penambahan khusus, yaitu asas “Kesetaraan” dan “Sensitifitas Gender”. Secara perundang-undangan, perempuan
Aceh memang istimewa.

Siapa Perempuan Aceh?
Lantas siapa yang disebut sebagai “perempuan Aceh”?
Apakah mereka yang bergelar bangsawan, keturunan para sultan serta kaum ulebalang? Atau semua perempuan yang lahir dan/atau dibesarkan di bumi syuhada ini, “atau memiliki garis keturunan Aceh, baik yang ada di Aceh maupun di luar Aceh dan mengakui dirinya sebagai orang Aceh” (UUPA, 2006), tak peduli ulebalang atau kawula bahkan lamiet? Karena demikian, UUPA No.11/2006 Pasal 211 mendefinisikan, siapa yang berhak disebut sebagai “orang Aceh”,
termasuk kaum perempuannya. Bagi Pemerintah Aceh, tentu UUPA yang menjadi rujukan. Merekalah yang pemenuhan haknya atas perlindungan hukum, pendidikan, pekerjaan, jaminan sosial kesehatan, akses pada bantuan ekonomi dan
hak-hak lain---sesuai Qanun No.6/2008, perlu dijamin, dilindungi dan dipastikan tak didiskriminasi. Namun mirisnya, beberapa kenyataan berikut menunjukkan bahwa pemerintah dan rakyat Aceh perlu ikhtiar lebih keras untuk memuliakan kaum perempuannya.

Perempuan Aceh dan Kondisi Kekinian
Pertama, mari mencermati data Semester I 2018 rekapitulasi kasus kekerasan terhadap perempuan dari P2TP2A di 23 kabupaten/kota, bekerja sama dengan LBH Apik dan Polda Aceh. Dari 825 kasus yang dilaporkan, 400 diantaranya adalah kasus kekerasan terhadap perempuan, sementara 425 kasus lainnya adalah kekerasan terhadap anak. Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Aceh menyatakan bahwa tak hanya terjadi
kecenderungan peningkatan angka kekerasan, “modus bentuk kekerasan juga semakin memiriskan” (P2TP2A
Aceh, 2018). Jadi kita tak hanya berhadapan dengan bertambahnya jumlah kasus kekerasan secara signifikan, tapi juga bentuk-bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan yang semakin memilukan. Kedua, hasil penelitian Flower Aceh bersama Permampu menunjukkan bahwa “perempuan menjadi kelompok dominan yang mengalami masalah
kesehatan dan gizi” (Flower Aceh, 2018). Perhatikan salah satu indikator kondisi kesehatan kaum Ibu.
Angka Kematian Ibu (AKI) Propinsi Aceh saat ini masih cukup tinggi, yaitu 143 per 100.000 kelahiran hidup.
Menurut berita, hal ini sudah menjadi perhatian Pemerintah Aceh, sebagaimana yang disampaikan Nova Iriansyah, saat membuka Rapat Kerja Kesehatan Daerah (Raker Kesda) se-Aceh. Untuk mewujudkan program Aceh Seujahtera dan JKA plus, akan dialokasikan dana sebesar 890 milyar rupiah (Serambi Indonesia, 18 April 2018). Adakah kucuran dana yang
tidak sedikit ini berdampak bagi perbaikan berbagai indikator kesehatan di Aceh, khususnya kaum perempuan?
Ketiga, angka kemiskinan Aceh lebih tingi dari rerata angka kemiskinan di Indonesia. Data BPS 2018 menunjukkan bahwa angka kemiskinan nasional berada di bawah kisaran 10 persen, tepatnya 9,82 %. Sementara angka kemiskinan di Propinsi Aceh berada di angka 15,97 %. Dibandingkan sebelumnya di tahun 2010, angka kemiskinan Aceh adalah 20,98 %. Sekilas penurunan angka kemiskinan Aceh terlihat cukup menghibur. Namun sebandingkah capaian ini dengan
alokasi Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) yang jumlahnya demikian besar?

Lebih jauh lagi, mari mengkaji angka kemiskinan Aceh itu berdasarkan jenis kelamin. “Kemiskinan di Aceh
didominasi perempuan” (Nurnisa, 2018). Walaupun selintas tak terlihat perbedaan mencolok, antara
jumlah penduduk miskin laki-laki dengan penduduk miskin perempuan. Namun saat kita telisik, barulah
kita paham bahwa dari sekian penduduk miskin yang ada di Aceh, jumlah kaum perempuan yang mengalami kemiskinan parah ternyata lebih banyak. Adanya diskriminasi akses terhadap faktor-faktor produksi yang membuat perempuan sulit keluar dari keterpurukan kemiskinan (Marcoes, 2015). “Perempuan belum mendapatkan kesempatan dan hak yang sama seperti halnya laki-laki (Riswati dalam Nurnisa, 2018). Padahal Qanun Nomor 6 Tahun 2009
Pasal 15 menegaskan bahwa Pemerintah Aceh wajib “…memfasilitasi akses perempuan terhadap sumbersumber
perekonomian…” Mengapa ketika bicara tentang perempuan Aceh, realitas ini menjadi penting? Agar kita semua dapat
melihat dengan jernih, kondisi perempuan Aceh hari ini berdasarkan kenyataan/fakta. Bukan berdasarkan
kenangan. Perempuan Aceh dan Ilusi Kesetaraan Menyoal “kesetaraan” di Aceh kerap didiskusikan dengan mengandalkan romantisme sejarah masa silam. Kenangan bahwa nun, ada hadih maja di negeri ini yang berbunyi: “Adat bak Poteumerheuhom, Hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang, Reusam bak Laksamana”. Konon, salah satu qanun masa Putroe Phang ini melahirkan adat pewarisan rumah pada anak perempuan, sehingga para istri dalam bahasa Aceh disebut “po rumoh” (pemilik rumah) dalam makna sebenarnya. Kepemilikan rumah sebagai
tempat berlindung tentu menjadi salah faktor penentu bagi perlindungan dan kesejahteraan kaum perempuan. Namun, dapatkah kenangan ini dirujuk untuk menunjukkan bahwa kaum perempuan sudah diikut-sertakan dalam setiap proses kebijakan? Sesuai Qanun No.6/2008 Bab VII Pasal 22 dan 23?

Kemudian kita juga kerap menceritakan kisah kejayaan empat Sulthanah, untuk menunjukkan bahwa masalah kesetaraan di nanggroe kita sudah selesai berabad silam. Jauh, misalnya, sebelum pejuang Women's Suffrage (gerakan perjuangan hak kaum perempuan), seperti Lucretia Mott dan Elizabeth Stanton di Amerika Serikat, membacakan deklarasi akan hak-hak kaum perempuan di Seneca Falls tahun 1848. Tapi benarkah demikian? Karena sebagian masih
saja membantah, para sulthanah ini sebenarnya hanyalah “pemimpin boneka”? Sher Banu A.L Khan (2017), seorang profesor dari National University of Singapore, menulis hasil penelitiannya dalam sebuah buku berjudul “Sovereign
Women in a Muslim Kingdom:The Sulthanahs of Aceh, 1641-1699”, bahwa keempat sulthanah Aceh ini “bukan
sekedar penguasa boneka”. Mereka “the real king”, “the rulers”. Bukan “the queen” yang duduk manis, tapi sulthanah yang bernegosiasi dengan elit bangsawan, bermusyawarah dengan ulama, dan berdiplomasi dengan bangsa-bangsa Eropa.
Kepemimpinan perempuan pada masa itu “dithee le kaphe”(masyur dan dikenal dunia), namun hari ini semua itu hanya ilusi. Qanun boleh menyatakan, bahwa tidak ada diskriminasi bagi perempuan untuk menduduki berbagai jabatan. Lantas kenapa kemudian pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)Kota Banda Aceh tahun 2017 lalu, isu “perempuan tidak boleh menjadi pemimpin” kembali dimunculkan? Kalau dimunculkan para lamiet, mungkin kita anggap hoax. Namun jika yang menyatakan mengaku pewaris Nabi Saw? Tidakkah itu memartir “nanti durhaka,
masuk neraka…” dalam pikiran kita?

Perempuan dan Masa Depan Aceh
Perempuan. Bicara tentang perempuan Aceh adalah bicara tentang ibu, adik-kakak, istri dan anak-anak perempuan Bangsa Aceh. Pada mereka, baik-buruk kualitas satu generasi dari bangsa ini akan kita dititipkan. Namun bila anak-anak perempuan kita dibesarkan dengan “kenangan manis”, untuk tumbuh dewasa dibenturkan dengan “kenyataan pahit”,
akankah mereka menjadi madrasah yang mampu mencerdaskan? Tiga kondisi kekinian perempuan yang penulis
sebutkan hanya sekelumit dari banyak persoalan yang perlu kita selesaikan. Selalu, dibutuhkan kejernihan hati, “prasangka yang bening” (A.Fillah, 2013) dan keikhlasan, untuk segenap ikhtiar memuliakan kaum perempuan. Karena bicara tentang “kesetaraan” bukanlah upaya untuk menjadikan perempuan dan laki-laki “serba-sama”. Justru sebaliknya, bagaimana perbedaan ini bisa saling melengkapi, tanpa mendhalimi. Begitu seharusnya wujud penerapan
syariat Islam, untuk mencapai maslahah bagi semua, di dunia…dan InsyaAllah di akhirat. Demikianlah, Islam.
Agama yang rahmatan lil álamin, untuk seluruh alam. Termasuk alam lingkungan, tumbuhan dan hewan.
Apatah lagi untuk manusia yang kebetulan ditakdirkan Tuhan berjenis kelamin perempuan?

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

Source
Plagiarism is the copying & pasting of others work without giving credit to the original author or artist. Plagiarized posts are considered spam.

Spam is discouraged by the community, and may result in action from the cheetah bot.

More information and tips on sharing content.

If you believe this comment is in error, please contact us in #disputes on Discord

Hi! I am a robot. I just upvoted you! I found similar content that readers might be interested in:
http://portalsatu.com/read/kampus/-47701

Congratulations @dianrubianty! You received a personal award!

Happy Birthday! - You are on the Steem blockchain for 1 year!

You can view your badges on your Steem Board and compare to others on the Steem Ranking

Vote for @Steemitboard as a witness to get one more award and increased upvotes!