Apa kabar, Sahabat Steemian? Edisi akhir Februari kali ini, saya akan mencoba mengulik sosok ibu luar biasa yang inspiratif. Beliau adalah Free Hearty – yang akrab disapa Bundo Free –perempuan paruh baya yang mengabdi di perguruan tinggi lebih dari tiga puluh tahun. Selain berupaya mencerdaskan anak bangsa, hingga kini beliau masih aktif menulis dan berorganisasi.
Menulis bagi Bundo Free tidak membutuhkan waktu khusus. Ketika inspirasi datang, ia langsung mencatatnya. Hal tersebut bisa dilakukan di mana saja, bahkan bisa di kamar kecil sekalipun. Setelah ide dicatat, kemudian ide tersebut bisa diolah kapan saja. “Membaca dan menulis di kamar mandi adalah hal yang biasa. Daripada termenung saja, lebih baik memanfaatkan waktu luang,” ungkapnya.
Meski berusia senja, Bundo Free masih aktif menulis. Bukan karena tuntutan profesi atau kegemaran belaka, melainkan lebih pada kebutuhan jiwa. Saat ide-ide atau pemikiran bermunculan dalam kepala, cara mudah menuangkan imajinasi tersebut hanya dengan menulis. Hal inilah yang menjadi salah satu kesulitan Bundo Free bila diminta pesanan menulis dengan tema tertentu. Terkadang bisa saja muncul inspirasi dengan tema terkait, tetapi kadang susah juga memancingnya. Maka, Bundo Free lebih sering menolak menulis karya dalam bentuk pesanan. Kecuali bila tiba-tiba muncul inspirasi berkaitan dengan tema yang ditawarkan.
Bagi seorang penulis, membaca adalah hal yang penting. Menurut Bundo Free membaca memberikan banyak manfaat.
“Bacalah sejarah sastra, kritik sastra, dan karya-karya sastra! Bila tertarik dengan sebuah buku, apa pun itu, baca sajalah! Otak akan terlatih memilih dan memilah bacaan dengan sendirinya. Hal ini tidak bisa dengan menunjuk sebuah bacaan saja. Harus rajin, rajin, dan rajin membaca! Sebab minat setiap orang berbeda-beda, juga tingkat pemahamannya tentu berbeda. Satu-satunya jalan untuk menambah wawasan, ya harus membaca banyak. Maka perempuan-perempuan Indonesia perlu banyak membaca!”
Sejauh ini, Bundo Free tidak memiliki ketertarikan secara khusus dengan penulis tertentu. Beliau yang sudah hobi membaca sejak kecil, lebih menyukai buku-buku yang berbobot falsafati, dalam, dan indah, baik itu ditulis oleh penulis Indonesia maupun penulis luar negeri. Bacaan yang menarik akan selalu memanjangkan imajinasi dan memunculkan inspirasi. Kalau tidak bagus, maka ia akan hilang begitu saja tersapu angin.
Dalam perbincangan kami yang hangat, Bundo Free menuturkan bahwa selama ini perempuan lebih banyak digambarkan oleh penulis laki-laki. Penulis laki-lakilah yang membangun citra perempuan. Perempuan dicitrakan sebagai makhluk lemah yang bodoh, berada di bawah kekuasaan laki-laki, tidak bisa memutuskan sendiri, hidup sepenuhnya di bawah bayang-bayang lelaki. Perempuan sering menjadi korban atau dikorbankan. Perempuan seperti tidak punya kesempatan bersuara. Suaranya selalu disuarakan oleh kaum laki-laki. Gambaran tentang diri, perasaan, dan keinginan perempuan ditulis melalui perspektif laki-laki dan kebanyakan perempuan hanya patuh saja.
“Ketika perempuan mendapat kesempatan bersuara, ini menjadi penting. Karena itulah suara yang otentik: suara hati dan pikiran kaum yang bersangkutan. Ini tentu saja menjadi penting dipelajari dan dibincangkan untuk mengenal perempuan lebih jauh. Akan terlihat dari karya-karya kritis perempuan bahwa mereka tidak seperti yang digambarkan para penulis laki-laki, yang masih mengikuti pola pemikiran budaya patriarki. Tidak lagi menjadi objek yang korban dan dikorbankan. Meskipun demikian, masih banyak juga para penulis perempuan yang bukannya menggugat citra yang dibangun untuknya, tetapi malah mengukuhkan citra seperti budaya tradisi tersebut. Hal ini pun perlu dibincang dan dipelajari. Dua kubu perempuan ini perlu dipelajari dan dikritisi. Karena ada pendapat bahwa perempuan pula yang melemahkan perjuangan para perempuan. Terutama para perempuan yang sudah duduk di zona aman. Merasa tidak perlu menggugat karena posisinya yang aman itu. Padahal, jutaan perempuan di luar masih saja terpinggirkan, termarginalkan, teraniaya, dan selalu jadi korban. Ini yang perlu diperjuangkan perempuan-perempuan yang kritis. Tidak hanya sibuk dengan diri sendiri. Perempuan harus berani dengan strategi cerdas!” kata Bundo Free sambil tersenyum.
Salah satu buku yang ditulis oleh Bundo Free berjudul “Kajian Perempuan Malaysia – Indonesia dalam Sastra”. Meski masih dalam satu rumpun melayu, yang membedakan karakter penulis perempuan Indonesia dan Malaysia adalah pengalaman, pemahaman, pemaknaan, serta imajinasi tentang semesta. Namun, persamaannya lebih banyak berkutat tentang tema yang sangat dekat dengan kehidupan perempuan, seperti kisah-kisah mengenai rumah tangga, pengkhianatan, dan kesetiaan. Hal ini tentu disebabkan oleh tradisi akar budaya melayu yang hampir sama.
Lalu, bagaimana posisi perempuan dalam sastra Indonesia? Menurut Bundo Free, perempuan sudah mulai mendapat tempat dalam sastra Indonesia. Hanya saja masalah yang timbul, tema-tema perempuan lebih banyak mengisahkan cerita domestik. Perempuan kebanyakan dianggap laki-laki sebagai “orang yang baru menulis” sehingga dalam beberapa seminar dan pertemuan, beberapa perempuan masih saja diperlakukan lebih rendah – dengan lebih menekankan keperempuanan penulisnya – bukan karyanya. Bahkan ketika membicarakan karya perempuan, laki-laki terkadang sedikit “melecehkan” dengan menyebut perempuan secara general. Akan tetapi, perlakuan semacam itu tidak terjadi bila yang dibicarakan adalah karya laki-laki.
Sebenarnya, perempuan itu berperan besar dalam kebudayaan, terutama untuk generasi penerus. Karena perempuanlah yang paling pertama dan utama dalam mendidik manusia. Perempuanlah yang lebih memiliki kesempatan untuk menanamkan nilai-nilai dan membentuk budaya manusia yang bisa ditanamkan sejak lahir. Dari perempuan, manusia pertama kali belajar banyak hal. Namun, bila perempuan masih belum bisa melepaskan diri dari cangkang tradisi lama – yang meminggirkan dan mengerangkengnya dalam “kebodohan” – maka perannya tentu tidak maksimal dan tidak tampak.
Sekarang, sebagian perempuan memang sudah mulai lepas dan memiliki kebebasan di satu kaki. Namun, kaki yang lain masih menapak pada pemikiran tradisi lama yang malah mengukuhkan pandangan bahwa perempuan itu inferior, tidak rasional, dan sangat tidak mandiri. Lalu ketika merasa bisa mandiri, arahnya agak kebablasan. Ketika perempuan berjuang, mereka seperti disadarkan pada kebebasan yang sayangnya tanpa memahami makna perjuangan itu sendiri.
Lalu kira-kira, apa ya yang membedakan karakter penulis perempuan dan laki-laki? Bundo Free menjelaskan bahwa dalam berkarya, perempuan banyak membicarakan peristiwa dengan tema yang melingkupi arena domestik, sedangkan lelaki lebih banyak bicara tentang arena publik. Jarang sekali perempuan menulis karya dengan tema politik atau perang. Mestinya kalaupun bicara tentang arena domestik, bila lebih menukik untuk menggugat ketidakadilan, perempuan perlu membangun citra baru. Tidak pula larut harus dengan tema perempuan korban. Ini justru mengukuhkan juga. Membangun tema yang menampilkan potensi perempuan cerdas.
Pandangan Bundo free tentang perempuan masa kini, yakni perempuan sekarang mengikuti zamannya yang semakin maju, di mana jarak tidak lagi menjadi masalah dan informasi mudah diperoleh. Mereka mendapat ruang untuk bergerak dengan lebih bebas. Lebih bisa mengembangkan diri dan masyarakat lebih bisa menerima. Ini berkat perjuangan kaum perempuan terdahulu yang memperjuangkan kesejajaran hak dan kewajiban dengan laki-laki. Sejajar, tetapi tidak sama. Kepahamam ini yang banyak tidak sungguh-sungguh dimengerti dan dipahami sehingga ada juga wanita zaman sekarang yang kebablasan. Ada nilai-nilai yang dipegang teguh oleh pendahulu kita, bergeser demikian jauh. Kebebasan yang kebablasan terkadang memunculkan tragedi baru. Perempuan harus memahami perjuangan itu, memahami diri sendiri, dan memahami pula tujuan hidupnya dengan cerdas dan kritis. Jangan asal ikut-ikutan!
Selain menulis, Bundo Free juga aktif berorganisasi. Saat ini, Bundo Free adalah ketua umum organisasi WPI (Wanita Penulis Indonesia). Beliau bergabung di WPI sejak 2008 saat Yvonne de Fretes menjadi ketuanya. Dahulunya, alasan Bundo Free bergabung di WPI karena merasa ada wadah untuk saling berbagi.
“Karakter utama yang harus dimiliki oleh pemimpin adalah kesabaran dan ketegasan. Organisasi tidak akan berjalan bila anggotanya tidak memiliki kesadaran tentang dedikasi, respek, loyalitas, dan tanggung jawab. Sebab organisasi sosial di wilayah kepenulisan bukanlah perusahaan milik ketua. Jadi, harus ada kesadaran bersama untuk membangunnya. Menjadi ketua umum WPI tidak harus seperti organisasi politik bahwa ketua harus mendanai semua kegiatan. Untuk itulah, kontrol ketua kepada anggota untuk menumbuhkan kesadaran berorganisasi adalah hal yang penting,” ungkap Bundo Free.
Ternyata, dulu Bundo Free pernah juga menjadi wartawan. Pada sekolah formal dan kerja kewartawanan yang dilatih adalah akal pikiran. Sementara dalam olahraga dan seni, yang dilatih adalah kecakapan, keterampilan, dan perasaan. Keseimbangan antara dua hal inilah yang telah diajarkan orang tuanya sehingga Bundo Free didorong menjadi pesenam, perenang, penari, penyanyi, dan bahkan pemain Band.
Masa-masa remaja Bundo Free disibukkan dengan kegiatan yang melatih akal budi, perasaan dengan gemblengan etika dan estetika serta moral dan agama. Sebagai pemain band, penari, atau penyanyi, selalu bermain di pentas dari satu daerah ke daerah lain, bahkan ke Malaysia dan Singapura di tahun 70-an itu, membuat Bundo Free terlatih memilah sehingga tidak banyak terpengaruh pergaulan bebas. Dunia hiburan yang prestisius sangat membuat kita terbius: bermain di pentas dan ditepuki. Sorak sorai dan pandangan kekaguman sangat membius kita. Sebaliknya, menjadi pesenam dan perenang mengajarkan sportivitas. Bundo Free pun hingga kini tak henti-hentinya bersyukur seraya mengucapkan terima kasih kepada orang tua yang telah mengarahkannya ke berbagai kesibukan itu.
Nah, Sahabat Steemian. Bundo Free ada pesan nih untuk seluruh perempuan Indonesia.
“Perempuan Indonesia, tetaplah dengan kepribadian bangsa yang tetap tertata dan terjaga harga diri (bukan gengsi), terhormat, cerdas, kritis, dan berpandangan jauh ke depan! Anda telah berada di zaman baru di genarasi Y, yang semua berteknologi tinggi, serba komputer, internet, FB, twitter, line, path, dan lain sebagainya. Hal ini telah memengaruhi nilai-nilai, tradisi, dan adab. Perempuan Indonesia harus hati-hati melangkah bila tak ingin terjerembab! Namun, juga jangan sampai ketinggalan zaman dengan kontrol dan saringan yang kuat! Apalagi memasuki kids zaman now. Banyaknya tempat nongkrong anak muda, internet-kafe dan berbagai hal lainnya membuat perempuan semakin aktif dan kreatif. Anak muda zaman now ini, muda usia dan aktif serta sangat kreatif, tidak lagi tampak perbedaan antara nongkrong dan bisnis yang sudah menyatu. Dengan cepat terjadi pengalihan-pengalihan cara berbisnis, cara mendapat uang, juga cara menghabiskannya. Sikap kehati-hatian dan kekritisan berpikir sangat penting menghadapi era ini. Bila cuek saja, Anda akan tertinggal di landasan, atau malah terhanyut dan hancur terseret tanpa kendali.”
Jadi, Sahabat Steemian, mau menjadi perempuan yang bagaimana? Semua pilihan ada di tanganmu.
BIODATA:
Nama Asli : Free Hearty
Nama Panggilan : Yet / Bundo Free
TTL : 20 April
Pendidikan Terakhir : Doktoral (S-3 )
Pekerjaan : Dosen
Pengalaman Organisasi :
- Ketua Umum WPI (Wanita Penulis Indonesia)
- Ketua Umum PSBNS (Perhimpunan Sastrawan Budayawan Negara Serumpun)
- Vice President FFIJ (Friendship Force Internasional Jakarta)
Prestasi :
- Pernah mendapat penghargaan dari Presiden Soeharto sebagai “Dosen Teladan” (1996).
- Tokoh Mahrajan 2017, penghargaan dari Sabah, Malaysia.
- Sering memenangkan lomba baca puisi ketika muda.
- Pernah mendapat juara pertama lomba Tari Sumatera Barat berpasangan dengan Tom Ibnur.