Kemajuan teknologi informasi mendorong banyak perubahan pada semua ranah kehidupan manusia. Tidak terkecuali pada ranah politik, teknologi informasi menciptakan transformasi politik di Indonesia. Informasi pun begitu cepat diakses dan didapatkan. Dari tahun ke tahun pengguna media sosial semakin meningkat.
Di sini, dalam melihat suatu persoalan juga beranekaragam dengan frame yang ditangkap dari media sosial. Ketangkasan publik dibutuhkan, untuk mengevaluasi informasi yang ada dengan seselektif mungkin, agar tidak mengalami ‘gagal paham’ dari informasi yang kebenarannya masih dipertanyakan. Nicholas Negroponte penulis buku Being Digital yang terbit pada tahun 1995 menulis: “Computing is not about computers any more. It is about living.” Apa yang ia tuliskan tersebut menjadi kian relevan saat ini.
Bukan hanya itu. Dari data yang diperoleh perusahaan pemantau jejaring sosial, Buzzsumo, klaim ini berdasar. Dari 16 juta respons yang diperoleh dua puluh berita teratas perihal pemilu di Facebook, 8,7 juta respons tertuju kepada berita palsu seperti “Paus Francis mendukung Trump” atau “Hillary terungkap Wikileaks menjual senjata ke ISIS.”
Sebagian besar berita tersebut melejitkan citra Trump dan mencederai citra Hillary. Revolusi teknologi informasi telah membebaskan komputer dari sekadar kotak berisi keyboard dan layar hingga menjadi benda-benda yang kita gunakan untuk berbicara, kendarai, sentuh, bahkan gunakan.
Seperti yang dilangsirkan dalam survei The Reuters Institute Digital Report 1 September 2016, hasil survei Reuters Institute Digital News Report, menunjukkan, separuh dari 50.000 konsumen berbasis berita online yang di survei di 26 negara menjadikan media sosial sebagai sumber pemberitaan. “Bahkan sebesar 12 persen menggunakan media sosial sebagai sumber berita utama.
Dimana, kaum muda sangat tinggi sekali persentasenya, menggunakan media sosial, sebagai satu-satunya sumber informasi. Salah satu peran teknologi adalah lahirnya masyarakat cyber-demokrasi secara lurus diartikan sebagai demokrasi dalam ruang maya. Cyber-demokrasi melihat internet memiliki pengaruh transformatif karena menekankan prinsip kebebasan mengakses dan bertukar informasi secara cepat. Sumber http://print.kompas.com/baca/opini/jajak-pendapat/2016/09/01/Media-Sosial-Jadi-Kanal-Informasi-Baru
Prinsip ini menciptakan ruang ideal dimana orang-orang berkomunikasi dengan bebas dalam forum-forum yang dibentuk untuk mengambil keputusan kolektif. Orang muda paling banyak menggunakan teknologi. Karena itu, mereka mempunyai the power of transformation bagi kesadaran berpolitik.
Peran vital anak muda sudah terasa dan tercatat dalam sejarah kemerdekaan Bangsa Indonesia. Sumpah pemuda lahir dari gerakan generasi muda. Pada 1998 sebagaimana yang sudah kita ketahui bersama pemerintahan rezim Soeharto lengser karena gerakan politik pelajar. Demikian juga pada tingkat global, orang muda tampil menjadi senjata pamungkas melawan status quo dan keterbelengguan sosial akibat struktur politik yang tidak adil dan koruptif.
Namun sekarang, keterlibatan politik kaum muda belakangan ini, tampak nyata terwujud dalam kelompok yang sifatnya temporal, tidak mempunyai struktur yang baku dan idiologi tersendiri yakni relawan. Peran relawan menjadi salah satu faktor penentu kemenangan Jokowi pada Pilpres 2014 yang lalu.
Jokowi yang oleh kebanyakan elite politik ragu dan kurang berpengalaman dalam bidang politik justru menjadi kuda hitam di antara wajah-wajah lama yang tak lelah mengejar kekuasaan
Mayoritas relawannya adalah anak-anak muda. Unsur yang paling penting mengapa gerakan relawan ini menjadi trend dalam politik di Indonesia belakangan ini karena, orang muda jenuh dengan situasi politik yang lamban membawa perubahan.
Padahal, tuntutan persaingan di tingkat global merupakan agenda utama orang muda. Mengontras realitas demikian, para relawan tampil kepermukaan untuk menciptakan sebuah perubahan dengan mendukung secara sukarela figur pemimpin yang berkualitas, teruji kepemimpinannya, bisa dipercaya dan transparan dalam membuat kebijakan publik.
Relawan merupakan bentuk rasionalitas masyarakat tingkat bawah bahwa politik masih merupakan satu-satunya juru kemudi untuk terciptanya sebuah kemajuan bersama.
Mustahil sebuah masyarakat atau bangsa tetap eksis tanpa politik. Politik yang dimaksudkan di sini yaitu segala yang berkaitan dengan prosedur dan regulasi baik itu menyangkut kekuasaan, manajemen pemerintahan untuk mendistribusikan keadilan secara merata. Kesadaran politik para relawan merupakan sikap antagonis terhadap wajah politik yang buram dan memelihara status quo.
Faktor lain, yang membuat politik di negeri ini tidak melahirkan perubahan yang cepat ke arah positif ialah para aktor penentu perubahan membawa idiologi parsial atau golongannya karena, mereka terbelenggu oleh sistem partai yang sentralis seperti sistem dan kebijakan yang selalu memprioritaskan partai di atas kepentingan semua golongan.
Kita tidak perlu menampik kenyataan bahwa, provinsi DKI Jakarta merupakan provinsi dengan tingkat persoalan yang cukup tinggi seperti korupsi, kemiskinan, dan segala bentuk mafia, baik mafia politik, maupun ekonomi, juga indeks pembangunan manusia yang harus ditata, mengingat Jakarta merupakan miniatur dari Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Namun yang paling penting adalah bagaimana proses politik yang kita ciptakan mampu memberikan kesempatan kepada pemimpin yang mempunyai kapabilitas untuk memberikan solusi bagi persoalan-persoalan daerah kita.
Seperti yang saya pernah menulis di salah satu portal, yaitu indonesiana.tempo.com tentang “Media Monster dan Ahok”. Tentu, sebagai orang komunikasi saya merasa resah, dan juga geram dengan kebanyakan pers yang memberitakan yang tidak faktual kepada khalayak. Cenderung sifat provokatif, dan mengadu domba sesama.
Media Jangan Jadikan Monster
Perkembangan media sekarang begitu pesat, baik media cetak, elektronik (Televisi dan Radio), maupun media online yang kerap disebut media meanstream.
Seperti yang dilangsirkan LITBANG Kompas, 1 September 2016, hasil survei Reuters Institute Digital News Report, menunjukan, separuh dari 50.000 konsumen berbasis berita online yang di survei di 26 negara menyatakan menjadikan media sosial sebagai sumber pemberitaan.
Bahkan, sebesar 12 persen menggunakan media sosial sebagai sumber berita utama.
Dalam peri kehidupan yang umum, tindaklah senantiasa berlaku ungkapan persilatan. “Tantang dijauhi apabila, apabila terjadi pantang dielakkan”. Tidak kehidupan tanpa tantangan atau challenge yang merupakan perlengkapan dinamika. Tanpa dinamika bukan saja tidak ada perubahan, tetapi sebagai tanda tidak ada lagi kehidupan.
Hukum alamiah inilah yang melekat pada semua aspek kehidupan dan semua kelompok termasuk pers. Pers selalu dalam dinamika yang senantiasa bersua dengan tantangan. Sebaliknya, peluang dapat sirna begitu saja karena momentum peluang dibiarkan berlalu (disadari atau tidak disadari).
Kita bisa melihat, bagaimana saat Jokowi-Ahok jadi gubernur dan wakil gubernur, geliat untuk menebarkan isu SARA sudah bertebaran di media sosial. Saat Jokowi menjadi Presiden dan Ahok jadi gubernur, sangat nampak sekali iau SARA dan rasis itu, menggeliat dan tampak juga di media sosial maupun portal berita online.
John W. Watshon (1878-1958), seorang ilmuwan Komunikasi dan dijuluki bapak Behaviorisme di Amerika mengatakan, semua perilaku, termasuk tindakan balasan atau dikenal dengan respons diakibatkan dari adanya rangsangan stimulus.
Dari pernyataan tersebut kita dapat menyimpulkan, apabila suatu rangsangan telah diamati dan telah diketahui, maka respons dari seorang tersebut akan mudah dan dapat diprediksikan, serta perilaku dapat kita pelajari melalui stimulus dan juga respons (Teori Behaviorisme).
Sejak zaman perjuangan, kemerdekaan, Orde Lama hingga Orde Baru yang terkenal dengan jargon pembangunan, kemerdekaan pers baru dirasakan pasca jatuhnya rezim Soeharto. Pengesahan UU No. 40/1999 tentang pers menegaskan keberadaan kemerdekaan pers kita. UU Pers tidak lagi mengenal Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).
Karena justru bangsa mengalami masalah, kebebasan pers mesti dijaga, sebagai salah satu sarana mendialogkan masalah bangsa itu. Agar segenap bangsa masyarakat, dapat terlibat dalam dialog upaya mencari solusi-antara lain melalu pers yang bebas- dan mencegah agar urusan bangsa tidak hanya ditangani atau dimonopoli segelintir orang, kelompok atau elite kekuasan.
Dalam konteks wawasan kebangsaan, pers bukanlah “monster” untuk menakut-nakuti seseorang, melainkan sebagai wadah untuk mengontrol, mengawasi, mengkritik dan menginformasikan kepada khalayak, publik.
Karena itu merupakan esensi dari pers.
Dan esensi wawasan kebangsaan sebagai cetak biru tujuan dan cita cita bangsa, pers berperan sebagai pencatat, perekam, saksi, penyebar informasi sekaligus pemantau kinerja untuk mengingatkan segenap bangsa, sejauh mana cetak biru yang telah disepakati telah benar dijalankan oleh penyelenggara negara.
Selain sebagai pencatat dan pemantau, pers juga bisa dikatakan juga sebagai aktor penting proses sejarah kebangsaan Indonesia, apa yang dirasakan dan dialami rakyat dalam proses membangun kebangsaan juga dirasakan dan dialami pers.
Pada era kolonial pers Indonesia dikekang, banyak tokoh pers di penjara atau diasingkan, didakwa menyebarkan perasaan kebencian serta penghinaan terhadap pemerintah Belanda, hanya menyampaikan informasi faktual tentang penderitaan rakyat.
Era tiga setengah tahun penjajahan Jepang pers sempat mengalami mati suri tak berdaya, karena pers hanya boleh hidup jika menjadi alat propaganda Jepang.
Sesegera setelah proklamasi kemerdekaan, pers kembali menyuarakan semangat kemerdekaan dan mengajak beberapa bangsa untuk mengisi kemerdekaan itu dan pengakuan dunia Internasional terhadap kemerdekaan Indonsia. Andil pers sebagai penyemangat kemerdekaan mengabarkan ke seluruh pelosok tanah air maupun pelosok dunia.
Pada masa awal pemerintahan Orde Baru juga, pers kembali menikmati kebebasan meskipun itu tidak berlangsung lama (1966-1974) yang dikenal dengan masa madu pemerintah dan pers. Dan bungkamnya pers masa Orde Baru saat meletusnya Malari (15 Januari 1974), karena dinilai pers ikut memanaskan situasi.
Dan pada waktu itu, tujuh surat kabar terkemuka di Jakarta diberanguskan atau dibredel dan diizinkan kembali, ketika pemimpin redaksi menandatangani surat permintaan maaf “junalisme pembangun” yang diintrodusir pemerintah Soeharto, sebagai kedok untuk membungkam kebebasan pers.
Pembungkaman terhadap kebebasan pers selalu merupakan sintom atau perampasan kedaulatan rakyat-suatu bentuk ‘pengkhianatan’ wawasan kebangsaan. Sekuat apapun konsolidasi kekuasan yang merampas kedaulatan rakyat, pada akhirnya kekuasaan semacam itu tumbang juga.
Saat ini, menilai kebebasan pers terlalu kebablasan. Dan sebagai patner pemerintah, terutama rakyat untuk menginformasikan segala jenis kejadian yang sifatnya faktual, aktual dari sumber kedalaman berita. Itulah esensi dari reformasi pers.
Relevansi pers dalam membangun semangat kebangsaan dalam konteks kontemporer adalah mempertanyakan bagaimana kondisi kebangsaan saat ini. Dan pers turut memperjuaangkan pembebasan rakyat dari penjajahan dan penindasan; pada era kini juga pers harus ikut andil memperjuangkan pembangunan untuk melepaskan rakyat dan turut memperjuangkan pembangunan untuk melepaskan rakyat dari kemiskinan, ketidakadilan, dan kemelaratan. Bukan malah menebarkan isu provokatif dan Sara yang merusak tatanan suatu bangsa.
Sistem demokrasi telah diadopsi di Indonesia, meskipun banyak yang menilai demokrasi yang berjalan baru sebatas prosedural, bukan substansial. Di sisi lain, penegakan hukum sebagai suatu ciri bangsa yang beradab, belum juga berfungsi benar. Praktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang semakin subur di Indonesia. Bahkan korup, jadi predikat yang memalukan masih melekat dalam diri bangsa Indonesia.
Peran Kaum Muda
Salah satu hipotesis, kenapa DKI Jakarta tak kunjung melahirkan pemimpin yang membawa perubahan ialah identitas keberagaman yang harus dijunjung tinggi. Secara sosio-antropologis, DKI Jakarta merupakan miniatur dari Ibu Kota Negara, dimana rasa kebangsaan dan persatuan itu, harus ditunjukkan kepada provinsi lain di Indonesia.
Apalagi didukung oleh kualitas kesadaran politik yang rendah membuat sistem politik primordial semakin menguat. Padahal, kebijakan politik itu sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup mereka sendiri, misalnya perjuangan terhadap jaminan pekerjaan, hak dan kehidupan layak sebagai warga negara Indonesia.
Untuk mengikis politik berbasis kesadaran primordial seperti itu, generasi muda harus berperan lebih. Mengapa demikian?
Perkembangan zaman khususnya teknologi mempermudah generasi muda untuk berkumpul dan bertukar ide dan gagasan menciptakan perubahan bagi daerahnya. Seperti komunitas relawan Jokowi lahir dari interaksi di internet.
Salah satu upaya yang harus dilakukan terbentuk ialah menjaring figur-figur pemimpin yang berkualitas. Apa tolok ukur dari pemimpin yang berkualitas? Menempatkan pada urutan pertama tingkat penggunaan teknologi informasi.
Misalnya, segala wacana-wacana politik, program-program yang sejauh itu bukan rahasia dan membahayakan negara perlu dibuka kepada khalayak. Keterbukaan kepada publik merupakan perwujudan pemimpin yang jujur dan bisa menerima berbagai masukan dan kritikan rakyat.
Kedua, platform politiknya. Kebijakan-kebijakan politik yang solutif, kreatif dan efektif serta mampu dipertanggungjawabkan yang harus dikedepankan, bukan bombastis dan persuasif. Pun pula untuk mengukur efektif atau tidaknya, kebijakan politik kandidat perlu dipelajari dan dikritisi bersama. Di sini peran akademisi dan kampus-kampus harus menonjol.
Penulis: D. Febrianto Edo, Generasi Milenial
Hi! I am a robot. I just upvoted you! I found similar content that readers might be interested in:
http://malakanews.com/2017/06/10/menggugat-generasi-tekno-dan-reformasi-pers/
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Thats right
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit