Bungsuku melambaikan tangan. Biasanya, dia akan berlari menuju kelas. Namun kali ini tidak demikian. Dia urung meneruskan langkah, malah berbalik. Kembali menghampiriku.
"Miss anything?"
Dia tidak segera menjawab, hanya menunjuk sebuah motor yang baru tiba di depan gerbang sekolah.
"I wanna wait for Raisa"
Saya memutuskan untuk menemaninya. Karena kebiasaan kami tidak melepas si bungsu, sampai kami pastikan dia masuk gerbang kedua. Di sekolah ini ada dua gerbang. Gerbang pertama langsung terhubung dengan pagar luar sekolah. Dipisah pelataran parkir, kemudian ada gerbang kedua. Hanya siswa, guru dan petugas sekolah yang boleh berada di bagian ini. Sebuah model pengamanan yang bagus.
Kami menunggu Raisa turun dari motor, mengambil kotak makan siang, kemudian menyalami bundanya sebelum menghampiri si bungsu. Berdua, mereka bergenggaman tangan memasuki gerbang kedua. Pemandangan seperti ini sungguh melegakan. Melihat ekspresi si bungsu dan temannya, memulai hari dengan ceria. Indahnya masa kecil!
Tapi tak selalu keceriaan ini hadir mengawali hari. Tak jarang, membangunkan si bungsu di pagi hari untuk berangkat sekolah menjadi pekerjaan yang melelahkan jiwa :) . Apalagi bila kebetulan tenggat waktu pekerjaan tengah berkejaran. Sehingga tak jarang, ayahnya mengingatkan, "Remember, we want her so much. She always becomes our first priority..."
Tentu saja idealnya demikian. Karena anak memang tak pernah minta dilahirkan. Kita yang mengajuk-manja Tuhan, minta padaNya dititipi amanah paling berharga ini. Maka bersabar menghadapi pagi mereka yang tak selalu ceria adalah keharusan tak ditawar. Namun saat para bunda menjalaninya di pagi hari, jelas tak semudah ditulis dan diucapkan. Semua teori yang diperoleh dari berbagai seminar dan buku-buku parenting bisa lenyap disapu kejaran rutinitas pagi dan jadwal bunda absen di kantor :) Karena itu perlu ada "pergantian pemain" dengan ayah, sebelum "singa Mommy keluar", istilah bungsu kami kalau ibunya sudah "menyanyi" dengan suara sopran. "Pergantian pemain" ini cukup membantu menghalau keengganan bungsu kami pergi sekolah.
Salah satu penyebab si bungsu engan menghela selimut biasanya karena suasana pertemanan dan kegiatan belajar yang sedang tidak menyamankan hati. "My friends don't wanna play with me..."
Sebagian kita mungkin akan menganggap ini biasa. Namanya juga anak-anak. Nanti akan berbaikan lagi. Namun bagaimana menentukan bahwa "Ini biasa?" "Mereka masih anak-anak?" Karena mungkin yang dihadapi anak-anak generasi Z ini tidak sama dengan masa kecil generasi X dan Y seperti kita.
Perkembangan teknologi membuka akses tak terbatas, sehingga mereka bisa terekspos oleh berbagai situasi, bahkan yang tidak terbayangkan oleh kita. Hanya dengan satu klik, berbagai "pintu" terbuka. Sayangnya, "pintu" ini tak berpenjaga. Tidak ada yang mempertanyakan soal kepatutan dan batas usia boleh terpapar. Kita sendiri kadang lalai mendampingi. Atau percaya saja pada "parental block" yang kita pasang pada sistem akses di teleon genggam atau gadget jenis lainnya. Tak jarang, kesalahan satu KLIK membuat anak-anak ini terpapar dunia orang dewasa. Jadilah mereka yang memang sedang belajar dengan meniru, menyerap hal-hal yang belum bisa mereka cermati baik-buruknya untuk dipilih. Mereka sering tak paham ketika berbuat dan berucap, utamanya ketika menirukan aksi atau perkataan yang ditangkap dari percakapan orang dewasa. Tak jarang kita mendengar hal-hal miris terjadi. Terheran-heran, "Kok bisa ya?" Hal tersebut dilakukan oleh anak seusia mereka.
Perundungan (bullying) adalah satu hal yang sebenarnya sudah terjadi sejak dulu. Istimewanya, untuk anak generasi Z, perundungan tak berhenti ketika sekolah usia. Ia dapat berlanjut selama 24, karena terhubung di dunia maya. Seorang teman, ketua yayasan sebuah pendidikan mentereng di Jakarta bercerita, bagaimana sulitnya mendamaikan tawuran antar kelas. Sebabnya? Suasana damai kembali panas karena status di sosmed. Akhirnya diputuskan untuk "puasa" gadget selama 1 bulan bagi anak-anak ini. Persoalan selesai! Tapi tak semua orang dewasa akan jeli melihat persoalan dengan jernih dan menyediakan jalan belajar yang tepat untuk generasi Z ini. Biasanya kita menyelesaikan dengan cara pintas saja, yang tak benar-benar menyelesaikan akar persoalan.
Untuk urusan perundungan misalnya. Mengeluarkan perundung dari sekolah mungkin akan menyelesaikan persoalan itu di sekolah asal. Tapi bagaimana dengan "si perundung"? Tidakkah diperlukan ikhtiar yang lebih baik untuk memastikan dia menyadari kekeliruannya? Sehingga kita tak bisa sekedar "menghukum" tapi seharusnya memberi kesempatan belajar? Seringkali, opsi ini tidak tersedia.
Beberapa kali kita membaca menyeruaknya kisah perundungan yang sudah sampai pada tahap fisik. Namun penyelesaiannya tetap tidak paripurna. Teman yang berprofesi sebagai psikolog klinis menyatakan, bahwa sebagian anak sudah sampai pada tahap gangguan psikologis yang parah, karena perundungan yang dia alami luput dari pandangan ayah-bunda.
Masih dengan bayangan si bungsu berlari bergengaman tangan, saya mulai membuka laptop dan menulis cerita ini. Sudah lama beberapa teman psikolog, pemerhati anak dan pegiat pendidikan mengajak untuk berkegiatan, membangun peduli pada kasus perundungan di sekolah-sekolah. Mungkin sudah saatnya ajakan itu di-iya-kan. Bukan, bukan karena si bungsu. Dia sedikit beruntung, karena dikelilingi "privillage" yang Allah anugrahkan untuknya. Namun banyak perundung dan anak korban perundungan yang terbiar sendiri, tak ada penyelesaian. Semoga Allah segera mudahkan jalan, untuk mewujudkan kepedulian ini. Tak sekedar wujud sebatas keprihatinan :((
Hai, hello @dianrubianty.. Selamat datang di Steemit! Senang melihat anda di sini.. telah diupvote yaa.. :o) (Segelintir kontribusi kami sebagai witness pada komunitas Steemit berbahasa Indonesia.)
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Terima kasih atas dukungannya :)
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit