Laporan Subur Dani | Banda Aceh
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Bupati Aceh Besar, Ir Mawardi Ali, mengeluarkan sebuah surat penting, tertanggal 18 Januari 2018.
Surat itu, berisikan aturan wajib berpakaian muslimah bagi pramugari semua maskapai yang mendarat di Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM) Blangbintang, Aceh Besar.
Surat yang ditandatangani Bupati Mawardi Ali itu, ditujukan kepada pimpinan delapan maskapai yang melayani rute Aceh.
Antara lain surat ditujukan kepada GM Garuda Indonesia, Lion Air, Batik Air, Citilink, Sriwijaya Air, Wings Air, AirAsia, dan Firefly.
Dalam surat dengan nomor 451/65/2018 itu disebutkan, semua pramugari diwajibkan untuk berpakaian muslimah, jika mendarat di Bandara SIM Blangbintang.
“Kepada semua pramugari diwajibkan mengenakan jilbab/busana muslimah yang sesuai dengan aturan Syariat Islam," demikian bunyi salah satu point penekanan dalam surat tersebut.
Hingga berita ini diturunkan, Serambinews.com belum berhasil mengonfirmasi hal tersebut kepada Bupati Aceh Besar.
Berikut bunyi petikan surat yang juga ditembuskan ke beberapa pihak, seperti Gubernur Aceh, Ketua DPR Aceh, GM PT Angkasa Pura II di Blang Bintang, Kadis Syariat Islam Aceh, dan sebagainya.
"Bahwa sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam, dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh,"
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dipandang perlu untuk mensinergikan sekaligus dukungan serta kerja sama untuk mencegah segala tindakan yang tidak sesuai dengan syariat Islam, adat istiadat, dan etika masyarakat Aceh. Oleh karena itu, dimintakan kepada seluruh maskapai penerbangan yang memasuki wilayah Kabupaten Aceh Besar agar melakukan hal-hal sebagai berikut,"
a) Mentaati segala Peraturan dan Undang-Undang syariat Islam yang berlaku di wilayah Aceh secara umum dan Aceh Besar secara Khusus;
b) Kepada Pramugari diwajibkan mengenakan jilbab/ busana muslimah yang sesuai dengan aturan Syariat Islam;
c) Kepada semua pihak supaya dapat bekerjasama dan mendukung pelaksanaan Syariat Islam di wilayah Kabupaten Aceh Besar,
Demikian surat ini disampaikan untuk dipedomani dan diindahkan.
Surat Bupati Aceh Besar ini langsung viral di dunia maya dan mendapat sambutan luas masyarakat Aceh.
Beberapa hari sebelum surat Bupati Aceh Besar ini beredar, salah satu tokoh Aceh, Ahmad Farhan Hamid, menulis panjang lebar tentang jilbab untuk pramugari ini di dinding Facebooknya.
Berikut tulisan Ahmad Farhan Hamid yang dipublikasikan untuk publik di dinding Facebooknya, 9 Januari pukul 07.48 WIB.
Menyertai tulisannya, Farhan juga memosting sebuah foto yang memperlihatkan seorang pramugari berjilbab sedang melayani penumpang pesawat.
"Pagi tadi dalam penerbangan ke Aceh dgn Batik Air, saya mendapati seluruh pramugarinya memakai hijab. Saya ingat-ingat, rasanya dalam penebangan tahun lalu, tidak demikian.
Ada rasa bahagia, pikiran awal saya ini kebijakan perusahaan untuk menghormati penerapan syariat Islam di Aceh.
Pikiran saya bergerak ke masa lalu. Pemberontakan DI/TII Aceh tahun 1953-1961 salah satu (bukan satu-satunya) penyebabnya karena Soekarno ingkar janji. Sempat berjanji kepada Dawud Beureu-Eh, Aceh diberi peluang menerapkan syariat Islam sesudah Indonesia sepenuhnya merdeka. Janji itu diucapkan di awal kemerdekaan, saat Soekarno berkunjung ke Aceh. Korban perang tak terkira.
Perdamaian (Ikrar Lam Teh) melahirkan Daerah Istimewa Aceh, istimewa bidang agama, pendidikan, dan adat-istiadat. (Mungkin) pikiran pemimpin Aceh dan tokoh masyarakat saat itu, inilah ruang menerapkan syariat Islam. Ternyata tak pernah terjadi, semua usaha gagal. Jakarta menolak.
Gerakan Aceh Merdeka, 1976, sebenarnya sebuah upaya melahirkan (kembali) Aceh sebagai satu bangsa dan ingin mewujudkan kedaulatan negara Aceh. Bagi sebagian besar pengikut GAM, terutama generasi yang pernah terlibat dan tahu DII/TII Aceh, keinginan menerapkan syariat Islam di Aceh, adalah bahan bakar yang mendorong mereka terlibat dalam gerakan yang diinisiasi oleh Allahyarham Teungku Hasan Muhammad di Tiro.
Reformasi 1998 melumat habis kekuasaan diktator Soeharto.
Saya ingat almarhum Drs. Kaoy Syah, MA., salah satu anggota DPR RI hasil Pemilu tahun 1997, periode DPR RI masa itulah lahir UU 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh. Posisi legal Syariat Islam di Aceh mulai mendapat ruangnya. Tetapi pasal-pasal dalam UU tersebut tidak mudah diterapkan.
Sesudah Reformasi, muncul ide melahirkan Otonomi Khusus untuk Aceh. Selain TAP MPR, lalu dibentuk UU 18 Tahun 2001. Dalam UU ini aplikasi syariat Islam di perjelas, namun tetap kurang rinci. Lahirlah Mahkamah Syar’iyah.
Penerapan syariat Islam dilaksanakan. Muncullah “kehebohan” akibat operasi hijab di jalan, operasi celana ketat perempuan, pelaksanaan hukuman cambuk, dan lain-lain. Bisa dimaklumi, kita semua sedang belajar.
Kini, disadari atau tidak, syariat Islam di Aceh di hormati banyak kalangan, karenanya teruslah berikhtiar agar Aceh menjadi tauladan, jangan patah semangat karena sindiran kritis, termasuk dari awak droe.
Salah satu buah perjuangan Allahyarham Teungku Hasan Muhammad di Tiro adalah orang Aceh sekarang sudah berani dan tegas mengatakan dirinya BANGSA ACEH. Tidak usah khawatir tentang ke Indonesiaan. Saya teringat salah satu vidio ustaz Abdul Somad dari Riau itu, kekuasaan adalah “jalan” terbaik melakukan amar makruf-nahi mungkar. Lahirnya UU yang di dalamnya mengandung Pasal tentang syariat Islam itu karena “kekuasaan” yang di amanah kan pada orang yang memikirkan hal tersebut.
Kembali ke pramugari yang berjilbab tadi, saya tanya “berjilbab ini karena penerbangan ke Aceh?”, “Ya” jawabnya. Rasanya baru ya?
Benar pak, baru mulai tanggal 5 kemarin, jelasnya. Saya melanjutkan, apakah ini kebijakan perusahaan?
Bukan pak, bukan inisiatif perusahaan. Tetapi merespon permintaan pemerintah Aceh. Perusahaan menerima surat-el (email) dari pemerintah Aceh.
Begitulah perubahan dapat dilakukan dengan kekuasaan. Seperti juga bangsa lain, jika bangsa Aceh teguh dengan sesuatu (yang baik), tetap akan dihormati oleh pihak lain."(*)