"Sejarah menunjukkan kepada kita bahwa manusia tidak pernah belajar dari sejarah” (Hegel)
Dalam bahasa Indonesia kita mengenal peribahasa yang mungkin sering kita dengar, “semut di seberang lautan nampak, gajah di pelupuk mata tak nampak.” Peribahasa ini seolah menyindir sikap kita yang sok peduli atau memermasalahkan soal orang lain, sementara persoalan diri sendiri masih menumpuk dan terabaikan.
Apa yang terjadi dengan Rohingya bisa menjadi pelajaran. Kekejaman terhadap kemanusiaan bisa terjadi kepada siapa saja. Tanpa melihat ras dan agamanya, genosida yang terjadi pada umat Yahudi di era rezim Nazi sangat mengerikan. Begitu pula dengan Etnis Armenia yang dibumihanguskan Turki Ottoman pada Perang Dunia Pertama menjadi catatan kelam bangsa tersebut hingga kini.
Namun, jangan salah fokus dan mengabaikan prioritas. Permasalahan bangsa sendiri masih menumpuk dan menunggu untuk diselesaikan. Apakah kita tiba-tiba saja mengidap “amnesia” terhadap kekejaman yang dilakukan sebagian elemen bangsa terhadap saudara-saudara sebangsanya sendiri ? Bagaimana dengan pembantaian elemen yang dianggap komunis pasca G-30S 1965 ? Bagaimana pula dengan praktek kekejaman di zaman Orde Baru, seperti peristiwa Tanjung Priuk, Lampung atau 27 Juli 1996 ?
Atau bagaimana dengan peristiwa kerusuhan Mei 1998 yang tidak pernah diketahui otak di belakangnya ? Era reformasi yang idealnya menjadi era perbaikan dari era-era sebelumnya menjadi harapan kosong belaka. Konflik berlatar agama, ras menjadi catatan kelam yang kembali harus dirasakan sebagian anak bangsa. Konflik Ambon, Poso, Sampit adalah catatan hitam yang banyak melukai dan menumpahkan darah anak bangsa. Setelah peristiwa tersebut, ternyata kita tidak pernah belajar.
Peristiwa-perisitwa yang nyaris serupa terjadi lagi untuk kesekian kalinya. Kali ini menimpa elemen kelompok Ahmadiyah atau Jema’at Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan kelompok Syiah. Ahmadiyah bukanlah kelompok baru di tanah air. Kehadirannya jauh sebelum kemerdekaan. Mereka bahkan satu tahun lebih tua dibanding Ormas Nahdlatul Ulama.
Utusan pertama mereka ke Hindia Belanda (Indonesia) adalah pada 1924, yakni Mirza Wali Ahmad Baig. Mereka adalah kelompok Ahmadiyah Lahore. Setahun kemudian, utusan dari Ahmadiyah Qadian datang, yakni pada 1925 yang bernama Maulana Rahmat Ali H.A.O.T. Baik Mirza Wali Ahmad Baig maupun Maulana Rahmat Ali adalah guru-guru bagi para “Founding Fathers.” Dari catatan sejarah kita melihat, bahwa H.O.S. Tjokroaminoto, H.Agus Salim sangat dekat dengan Mirza Wali Ahmad Baig. Begitu pula dengan Soekarno atau Bung Karno. Beliau dikenal dekat dengan kedua tokoh Ahmadiyah ini, bahkan sering berguru kepada mereka.
Ahmadiyah, baik kelompok Lahore atau Qadian –seperti juga dengan ormas Islam lainnya- banyak berkontribusi untuk perjuangan meraih dan memertahankan kemerdekaan. Siapa yang tidak mengenal W.R.Soepratman pencipta lagu Indonesia Raya ? Ternyata Beliau adalah seorang anggota Ahmadiyah Qadian. Namun, semenjak reformasi semuanya berubah bagi mereka. Beberapa kelompok garis keras membidik mereka.
Persekusi, penyegelan rumah ibadah, pengusiran warga Ahmadiyah dari kampung halaman mereka menjadi kejadian yang berulang. Di Lombok Nusa Tenggara Barat mereka harus terusir dari kampung halaman. Bahkan, setelah 13 tahun berlalu, yakni semenjak 2002 mereka tak pernah diizinkan kembali ! Mereka masih tinggal berdesak-desakan di asrama Transito sebagai kamp pengungsian hingga kini dan entah sampai kapan.
Yang lebih tragis dan kembali menjadi catatan kelam bangsa ini adalah peristiwa 6 Februari 2011 lalu. Segerombolan massa merangsek dan menyerang sebuah rumah mubaligh Ahmadiyah di Cikeusik Pandeglang Provinsi Banten. 3 korban jiwa kemudian meregang nyawa. Ironisnya, jasad mereka dirusak dan ditelanjangi. Sebuah perbuatan yang jauh dari unsur manusiawi.
Kejadian serupa terjadi pada kelompok Syiah. Konflik Sunni-Syiah menjadi bahan bakar yang usianya setua agama Islam itu sendiri. Provokasi dan perbedaan dipertajam, sehingga persekusi tinggal menunggu waktu saja. Begitulah yang terjadi di Sampang Madura. Puncaknya adalah peristiwa terjadi pada tanggal 26 Agustus 2012 antara kelompok Tajul Muluk al Ali Murtadha (penganut aliran Syiah) dengan kelompok M Rois Al Hukuma (penganut aliran Sunni) yang mengakibatkan 1 (satu) orang meninggal dunia, 11 (sebelas) luka-luka parah termasuk Kapolsek Omben AKP Aris Dwiyanto, 49 rumah warga Syiah dibakar dan puluhan mengungsi.
What about they, it seem destroy
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
yes, intolerance group destroyed Ahmadiyya sect and Shi'ah, these all happen in my country who well known as a largets moderate moslem...
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Congratulations @afreza! You have completed some achievement on Steemit and have been rewarded with new badge(s) :
You published your First Post
You made your First Vote
You got a First Vote
Click on any badge to view your own Board of Honor on SteemitBoard.
For more information about SteemitBoard, click here
If you no longer want to receive notifications, reply to this comment with the word
STOP
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit