Foto: Atlas van Stolk
Pada tahun 1900-an tidak ada yang pernah menduga bahwa kolonialisme Eropa yang sudah mapan di Asia dan Afrika akan berakhir dalam waktu kurang dari 50 tahun, termasuk di Indonesia.
Bermula dari mulai munculnya kalangan terdidik yang lahir sebagai akibat dari politik etis pemerintah kolonial yang mengizinkan pribumi untuk bersekolah. Kalangan terdidik ini kemudian yang menjadi salah satu motor gerakan nasionalisme Indonesia yang mulai marak sejak tahun 1920-an.
Selain itu kelompok Islam dan kelompok kiri juga bergerak di jalurnya masing-masing, dengan organisasi kemasyarakatan dan partai politik sebagai kendaraannya. Namun semua upaya menuju kemerdekaan Indonesia menemui jalan buntu, pemerintah kolonial Hindia Belanda masih terlalu kuat.
Namun pada tahun 1941 terjadi hal yang membalikkan keadaan, yaitu invasi Jepang ke Hindia Belanda. Hanya dalam hitungan pekan pemerintah kolonial Hindia Belanda bertekuk lutut dan menyerah tanpa syarat.
Sejak saat itu Indonesia berada di bawah pendudukan militer Jepang yang tengah dalam peperangan besar melawan pasukan Sekutu. Seluruh daerah yang didudukinya pun dipersiapkan untuk menghadapi serangan Sekutu yang bisa datang sewaktu-waktu. Pelatihan militer dan semi-militer pun diadakan untuk rakyat, termasuk di Indonesia.
Akibatnya, ketika Jepang kalah perang dan kekuatan kolonial ingin kembali berkuasa Indonesia sudah memiliki tentara hasil didikan Jepang. Mereka inilah yang berperan penting dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari Agresi Militer Belanda 1945-1949.
Foto di atas memperlihatkan suasana ketika Presiden Soekarno dan kabinetnya menemui wartawan asing yang meliput di Jakarta pada Oktober 1945. Dunia internasional ingin mengetahui lebih jauh tentang negara baru ini dan mendukung perjuangan kemerdekaannya. Pada akhirnya sejarah membuktikan bahwa kolonialisme tidak lagi mendapat tempat di dunia setelah Perang Dunia II usai.