KESENIAN TANPA KARYA BAGAIKAN KEBIJAKAN TANPA HASIL

in seni •  7 years ago  (edited)

Lazim dalam kesenian diutamakan karya dan penciptaan. Relevan dengan proses kreatif yang dikehendaki berujung bukti karya seni. Demikian pun halnya kebijakan dalam kesenian di masa kini, yang lahir dari kepemimpinan adalah hasil pembangunan seni sebagai ukuran.

Kesenian Aceh berlanjut pasca berakhirnya konflik manusia dengan sesamanya (perang Aceh, konflik dengan Jakarta) maupun konflik manusia dengan alam raya (gempa, tsunami). Rafli berujar pada suatu kesempatan, bahwa produktifitas berkarya para seniman Aceh tampil lebih terpacu justru di saat kedua jenis peristiwa konflik tersebut.

Pada saat perang Aceh, Tengku Chik Pantekulu melahirkan karyanya yang monumental "Hikayat Perang Sabil", sebuah denyut pembangkit mental perjuangan bangsa Aceh guna melawan penjajahan kaum kafir, Belanda.

Saat konflik dengan sesama Indonesia, seniman Aceh menghasilkan karya-karya seni yang produktif dan mengajar di jiwa penikmatnya. Lirik lagu bermunculan bagaikan pengobat jiwa Aceh yang lara dan mencekam.

Dari Rahmat Sanjaya, berdasarkan keterangannya pada masa awal 90-an Teater Aceh begitu semaraknya berpentas dan digelar. Raund Kelana pelukis realist otodidak menciptakan puluhan karya lukis yang memukaukan mata Aceh, peristiwa gempa dan tsunami bagi Kelana adalah koneksi paling intim pengaruhnya dengan proses produksi karya lukis Aceh masa itu.

Pemerintah justru di masa sulit tersebut tidak kehilangan peran dalam menggerakkan denyut nadi kesenian. Taman Budaya pada masa Sujiman A. Musa memimpinnya tampak membenahi segenap kebijakan seni maupun budaya, hasilnya adalah peran kebijakan yang proporsional melahirkan intensitas kesenian yang purna, lembaga seni bergerak seirama jiwa Aceh yang memakai konflik masa itu sebagai tantangan positif.

Bergerak ke kesudahan di masa gejolak sosial, alam, keamanan dinilai telah kembali normal, tiba-tiba kesenian Aceh menjadi manja. Rafli mengangkat pula sedikit cubit sapa, mengapa masa kini para seniman terkesan manja, apa-apa nunggu perhatian pemerintah, apa-apa nunggu dana cair proposal. Ya, lebih tepat rasanya seni menjadi lompatan di tengah halangan dan ujian, tanpa tantangan, seakan seni Aceh seolah kurang rangsangan taji kreatif, termasuk mencari-cari alasan ketika berlatih, mengapa Sanggar jadi sepi? Tidak ada agenda.

Lima tahun terakhir ini, sesungguhnya tampak juga ruang kreatif terus terbuka, nilai-nilai sering dihempas waktu, lagu berubah komponen dinamikanya, teater kekurangan aktor siap melakon, dunia kesenian lukis memamerkan hasil seni rupa yang itu-itu melulu.

Kesan berkurangnya kemajuan karya seni Aceh hampir menjadi penyakit kambuhan yang sukar dicari obatnya. Diajak bersatu malah dianggap merusak, di antara kawan sesama seniman saling curiga, dan eloknya malah pemerintah daerah kehilangan kepercayaan kepada seniman. Walaupun pendapat ini mesti dibantah dengan data-data pembelaan yang mumpuni.

Kebijakan kesenian Aceh bagaikan jauh panggang dengan api. Risalah kegagalan even seni menjadi carut marut memakan korban, dapat dicatat pada mutasi kepala dinas pariwisata Kota Banda Aceh akibat tari India berpasangan saat Piasan Seni digelar. 2017 yang lalu pula, 200 lebih penari berlatar belakang siswa/i SMA sederajat di Aceh Timur gagal ditampilkan pada perhelatan akbar pembukaan MTQ Aceh, lagi-lagi disinyalir akibat tari India pula.

Proses berkesenian adalah tumbuh kembangnya nilai-nilai keindahan, etika dan terutama estetika, agar hidup menjadi lebih baik dan lebih bahagia. Namun proses ini memerlukan kebijakan yang proporsional oleh pemerintah, lantas di mana suara seniman dapat maksimal terwakilkan sebagai profesi yang justru sedang didorong oleh pemerintahan Jokowi melalui UU Penguatan Kebudayaan?

Jawabannya sangat tergantung juga pada program yang dialamatkan Pemda Aceh untuk kesenian di Aceh, menjalani proses mencapai Aceh Hebat, di mata dunia internasional jelas kesenian Aceh memang Hebat, lantas siapa pula seniman Aceh yang turut hebat dengan minimal sejahtera terpenuhi priuk dapur, istri dan anak mereka tidak lapar dan suara rapai mampukah membangunkan kreatifitas di lembaga pemerintah agar seniman tidak terus diperalat?. IMG_20180316_145030.jpg

Ilustrasi: Foto penulis saat Zul MS melukis dan Kepala Taman Seni dan Budaya Aceh, Suburhan turut mengunjungi even pameran sejarah di Museum Rumoh Aceh, Banda Aceh, 2017.

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!