Pada kesempatan kali ini saya akan me-review buku acehnologi yang terdapat dalam bab 25, yaitu tentang Sistem Budaya Aceh. Saya akan mengupas kemampuan kemampuan manusia aceh dalam menciptakan, merekayasa, dan mempertahankan sistem kebudayaannya. Ada tiga konsep mengenai kemampuan orang aceh dalam memunculkan kebudayaan yaitu: i (saya), being (keberadaan), dan action (aksi).
Aceh telah menunjukkan jati dirinya melalui kesadaran orang aceh (ureng aceh) dalam menemukan bentuk keaslianya. Sebagaimana kita tau dalam bahasa aceh saya berati lon. Adapun keberadaan dapat diartikan dengan na. Dengan demikian, keberadaan saya dapat diartikan na lon. Bukan hanya itu bahasa aceh kerap juga ditambah dengan kata ha, yang ditulis menjadi hana lon (saya tidak berada).
Dan masih banyak kata lainya yang ditambah sesuai dengan aktivitas dan kegunaan dalam segi perbuatan sehari-hari. Sebagaimana contoh kalimat bahasa yang berbunyi seperti:
Pakiban ureung aceh tuho droe? (bagaimana orang aceh tau arah diri?)
Peuhaba syedara lon yang na disinan? (apa kabar saudara saya yang ada disitu?)
Pajan tajak kemawe sigoe ngon? ( kapan kita pergi memancing sekali kawan?)
Meunyoe tameuharap bak ureng ujong-ujong jih cit kecewa! (kalau berharap sama manusia ujung-ujungnya pasti kecewa!)
Perlu di ingat bahwa orang aceh sudah mengenal terlebih dahulu tentang persoalan dirinya sendiri yang sering diungkapkan dengan turi droe (kenali diri). Dari kata kenal (turi) tampak bahwa proses untuk memahami aspek kehidupan berbudaya sudah terbangun di dalam pemikiran orang aceh tempoe doeloe.
Oleh karena itu ketika Orang aceh saling bertemu, selalu menanyakan hal-hal yang bersifat masa lalu, misalnya asal kampung, asal keturunan, asal guru, dan lain sebagainya.