Skripsi Matematika

in skripsi •  6 years ago 

BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang Masalah
    Pendidikan merupakan salah satu aspek dalam kehidupan yang memegang peranan penting. Suatu negara dapat mencapai sebuah kemajuan dalam teknologinya, jika pendidikan dalam negara tersebut kualitasnya baik. Pendidikan merupakan penunjang utama dalam kemajuan suatu bangsa dan negara tanpa adanya pendidikan yang berkualitas dan bermutu maka sebuah bangsa dan negara sulit untuk mencapai tingkat kejayaannya (Suryosubroto, 2002:214).
    Dalam undang-undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 Ayat 1 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa :
    Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.

    Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melaju pesat dan cenderung tidak terkendali. Bahkan hampir tidak mampu dihindari oleh dunia pendidikan. Perkembangan ini mengantarkan manusia kepada usaha untuk bisa bertahan dan mampu bersaing di era globalisasi. Orang yang mampu beradaptasi secara cepat yang mampu menghadapi tantangan dunia global. Oleh karena itu, generasi muda harus dibekali pengetahuan yang cukup untuk menjawab tantangan tersebut.
    
    Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan memegang peranan penting sebagai sarana yang tepat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan pendidikan nasional dioperasionalkan menjadi tujuan pembelajaran di sekolah dari bidang studi yang diberikan di sekolah, salah satu bidang studi yang diberikan di sekolah adalah matematika. Matematika merupakan bidang studi yang harus bisa dikuasai oleh siswa, karena merupakan sarana pemecahan masalah sehari-hari.
    Sedangkan tujuan pembelajaran matematika di sekolah menurut National Councit of Teacher of Mathematics (2000) yaitu : 
    Belajar untuk berkomunikasi (methematical communication), belajar untuk bernalar (matematika reasoning), belajar untuk mengaitkan ide (mathematical connection) dan belajar untuk merepresentasikan ide-ide (mathematical representation) hal ini diungkapkan agar matematika dapat dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari serta dapat mengungkapkan ide-ide metematisnya dengan baik secara lisan maupun tertulis.
    
    Matematika sebagai salah satu disiplin ilmu memegang peranan penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan demikian matematika perlu dikuasai dan dipahami dengan baik oleh segenap lapisan masyarakat, terutama siswa sekolah formal. Pembelajaran matematika disusun dengan materi-materi yang konkrit dalam menemukan masalah-masalah yang dihadapi oleh manusia. Hal ini sesuai dengan pendapat Abdurrahman (2003:252) bahwa matematika adalah “suatu cara untuk menemukan jawaban terhadap masalah yang dihadapi manusia, suatu cara menggunakan informasi, menggunakan pengetahuan tentang bentuk dan ukuran, menggunakan pengetahuan tentang menghitung”. 
    Pembelajaran matematika memiliki beberapa tujuan khusus yang harus dicapai diantaranya adalah mengembangkan kemampuan pemecahan masalah. Kemampuan pemecahan masalah merupakan salah satu bentuk kemampuan berpikir tingkat tinggi. Mengingat karakteristik peserta didik kelas VII yang merupakan masa peralihan dari jenjang sekolah dasar ke sekolah menengah, tentu hal ini harus diperhatikan agar peserta didik mampu berkembang sesuai dengan jenjangnya. Hal ini menjadi tantangan bagi guru matematika di kelas VII untuk bisa membuat peserta didiknya mampu meningkatkan pola berfikir matematika.
    Berdasarkan observasi awal yang penulis lakukan di SMP Negeri 3 Susoh maka penulis mendapatkan beberapa permasalahan yang berdasarkan informasi guru mata pelajaran matematika diantaranya hasil belajar siswa pada pelajaran matematika belum maksimal khususnya pada materi himpunan, siswa masih kurang aktif dan hanya mendengarkan guru mengajar tanpa ada komunikasi dan tanya jawab terhadap hal-hal yang tidak dimengerti, guru tidak menerapkan model pembelajaran yang bervariasi untuk membantu siswa menyelesaikan permasalahan (soal-soal) matematika serta meningkatkan interaksi antara siswa dengan siswa lain. Oleh karena itu penulis mencoba menerapkan model pembelajaran yang belum pernah dilaksanakan yaitu model pembelajaran Problem Based Intruction dengan tujuan dapat meningkatkan hasil belajar siswa. 
    Menurut Slameto (2003:23) bahwa “model mengajar guru yang kurang baik diakibatkan karena guru kurang persiapan dan kurang menguasai bahan pelajaran sehingga guru tersebut menyajikannya tidak jelas atau sikap guru terhadap siswa kurang senang terhadap pelajaran”. Dalam rangka pencapaian tujuan pembelajaran, setiap guru dituntut untuk benar-benar memahami model pembelajaran yang akan diterapkannya. Hamzah (2012:3) mengatakan “Pemilihan model pembelajaran yang tepat, yaitu sesuai situasi dan kondisi yang dihadapi akan berdampak pada tingkat penguasaan atau hasil belajar peserta didik yang dihadapi”.
    Selanjutnya Suprijono (2009:72) menambahkan bahwa “dengan berusaha untuk mencari pemecahan masalah secara mandiri akan memberikan suatu pengalaman konkret”. Dengan pengalaman tersebut dapat digunakan pula pemecahan masalah-masalah serupa, karena pengalaman itu memberikan makna tersendiri bagi siswa. Pengetahuan akan lebih diingat dan dikemukakan kembali secara lebih efektif jika belajar didasarkan dalam konteks manfaatnya di masa depan.
    Salah satu model pembelajaran yang digunakan adalah model pembelajaran berdasarkan masalah atau Problem Based Instruction (PBI). Trianto (2010:91) menjelaskan bahwa “pembelajaran Problem Based Intrucction merupakan suatu model pembelajaran yang diorientasikan kepada pemecahan masalah terutama terkait dengan aplikasi materi pembelajaran di kehidupan nyata”. Sehingga siswa dihadapkan langsung pada masalah-masalah dalam kehidupan nyata yang membutuhkan penyelesaian nyata. Berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna.
    Penelitian serupa pernah dilaksanakan oleh Asiah (2008) hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan model pembelajaran berjalan dengan baik, ditambah dengan respon siswa sangat baik terhadap pembelajaran PBI, siswa sudah dikategorikan tuntas dalam belajar matematika pada materi trigonometri. Selanjutnya penelitian yang dilaksanakan oleh Hidayat (2010) dari hasil penelitian didapatkan adanya perbandingan hasil belajar dengan model PBI dan pembelajaran konvesional. Berdasarkan kedua penelitian yang sudah dilaksanakan di atas maka dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran Problem Based Intruction (PBI) dapat memberikan pengaruh yang baik terhadap hasil belajar siswa. 
    Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis akan mengadakan penelitian yang berjudul: “Penerapan Model Pembelajaran Problem Based Intruction (PBI) untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Pokok Bahasan Himpunan di SMP Negeri 3 Susoh Kabupaten Aceh Barat Daya”.
    

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Apakah peningkatan hasil belajar siswa melalui penerapan model pembelajaran Problem Based Instruction pada materi himpunan di SMP Negeri 3 Susoh lebih tinggi dibandingkan dengan pembelajaran konvensional ?

1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian rumusan masalah di maka yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan hasil belajar siswa melalui penerapan model pembelajaran Problem Based Instruction pada materi himpunan di SMP Negeri 3 Susoh dibandingkan dengan pembelajaran konvensional

1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang terlibat di dalamnya baik guru, siswa, peneliti, maupun peneliti lain.

  1. Bagi siswa
    Melatih peserta didik agar lebih aktif, kreatif, percaya diri, dan mandiri dalam belajar menyelesaikan masalah-masalah matematika yang diajarkan.

  2. Bagi guru
    Sebagai acuan dalam penyampaian materi-materi matematika di sekolah-sekolah, agar guru lebih memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menyelesaikan masalah-masalah dalam pembelajaran matematika.

  3. Bagi Sekolah
    Menciptakan panduan model pembelajaran dalam proses belajar mengajar pada pelajaran lain, dan sebagai bahan pertimbangan dalam memilih model pembelajaran di sekolah demi kemajuan proses pembelajaran di masa yang akan datang.

  4. Bagi Peneliti
    Sebagai pengalaman dalam penggunaan model pembelajaran yang baik dan menyenangkan terutama pada pelaksanaan model pembelajaran berbasis masalah.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Belajar dan Pembelajaran
2.1.1 Pengertian Belajar
Belajar dalam pengertian luas dapat diartikan sebagai “kegiatan psikofisik menuju ke perkembangan pribadi, kemudian dalam arti sempit, belajar dimaksudkan sebagai usaha penguasaan meteri ilmu pengetahuan yang merupakan sebagian kegiatan menuju terbentuknya kepribadian seutuhnya” (Sardiman, 2011:22). Sedangkan menurut Trianto (2010:16) belajar adalah “perubahan individu yang terjadi melalui pengalaman dan bukan karena pertumbuhan atau perkembangan tubuhnya atau karakteritik sejak lahir”. Belajar harus ditempuh dengan usaha kuat tanpa usaha maka tidak ada yang namanya pengalaman dan pengetahuan.
Selanjutnya Slameto (2003:2) secara psikologi belajar merupakan “suatu proses perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi siswa dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhannya”. Perubahan-perubahan tersebut akan nyata dalam seluruh aspek tingkah laku setiap individu apabila dijalankan sesuai dengan fungsinya.
Solihin (2010:99) menjelaskan bahwa:
Belajar mencakup tiga unsur, yaitu (1) belajar merupakan perubahan tingkah laku, (2) perubahan tersebut terjadi karena latihan atau pengalaman. Perubahan yang terjadi pada tingkah laku karena unsur kedewasaan bukan belajar, dan (3) sebelum dikatakan belajar, perubahan tersebut harus relatif permanen dan tetap ada untuk waktu yang relatif cukup lama.
Selanjutnya Slameto (2003:3-5) menjelaskan tentang ciri-ciri perubahan tingkah laku tersebut adalah sebagai berikut :
(1) Perubahan terjadi secara sadar
Ini berarti seseorang yang belajar akan menyadari terjadinya perubahan itu atau sekurang-kurangnya ia merasakan telah terjadi adanya suatu perubahan pada dirinya.
(2) Perubahan dalam belajar bersifat kontinu dan fungsional
Sebagai hasil belajar, perubahan yang terjadi dalam diri seseorang berlangsung secara berkesinambungan, tidak statis. Satu perubahan yang terjadi akan menyebabkan perubahan berikutnya dan akan berguna bagi kehidupan ataupun proses belajar berikutnya.
(3) Perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif
Dalam perbuatan belajar, perubahan-perubahan itu selalu bertambah dan tertuju secara tepat untuk memperoleh sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya.

    Dengan demikian semakin banyak usaha belajar itu dilakukan maka semakin banyak dan baik perubahan yang diperoleh. Perubahan yang bersifat aktif artinya bahwa perubahan itu tidak terjadi dengan sendirinya melainkan karena usaha sendiri. Dalam proses belajar pasti ada suatu tujuan yang ingin dicapai, ada beberapa hal yang menjadi tujuan dalam belajar. Menurut Sudjana (2005:22-23), klasifikasi hasil belajar yaitu:
    (1)     Ranah kognitif, berkenaan dengan hasil belajara intelektual yang terdiri dari enam aspek yang meliputi pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisi, sintesis, dan evaluasi.
    (2)     Ranah afektif, berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek yang meliputi penerimaan, jawaban, penilaian, organisasi, dan internalisasi.
    (3)     Ranah psikomotorik, berkenaan dengan hasil belajar yang berupa ketrampilan dan kemampuan bertindak, meliputi enam aspek yakni gerakan refleks, keterampilan gerak dasar, kemampuan perceptual, ketepatan, keterampilan kompleks, dan gerakan ekspresif dan interpretatif.
    Berdasarkan beberapa definisi di atas, belajar merupakan perubahan tingkah laku yang terbentuk karena pengalaman maupun ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang. Pengalaman tersebut diperoleh dari interaksi dengan lingkungannya maupun melalui ilmu pengetahuan yang diperolehnya dari setiap apa yang diketahui.

2.1.2 Pengertian Pembelajaran
Pembelajaran adalah “suatu persiapan yang dipersiapkan oleh guru guna menarik dan memberi informasi kepada siswa, sehingga dengan persiapan yang dirancang oleh guru dapat membantu siswa dalam menghadapi tujuan yang akan dicapai” (Dimyati dan Mudjiono, 2006:7). Pembelajaran merupakan proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik. Dengan kata lain, pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik.
Selanjutnya Syaiful (2011:62) mengemukakan bahwa pembelajaran adalah “kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional, untuk membuat belajar secara aktif, yang menekankan pada penyediaan sumber belajar”. Pembelajaran merupakan pemberdayaan potensi peserta didik menjadi kompetensi, artinya kegiatan pemberdayaan terhadap perubahan potensi menjadi kompetensi tidak dapat berhasil tanpa ada orang yang membantu untuk menjalankannya.
Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 20 dinyatakan bahwa pembelajaran adalah “proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar”. Konsep pembelajaran menurut Corey (Syaiful, 2011:61) adalah “suatu proses dimana lingkungan seseorang secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi-kondisi khusus atau menghasilkan respons terhadap situasi tertentu, pembelajaran merupakan subset khusus dari pendidikan”.
Dengan demikian Pembelajaran mengandung arti setiap kegiatan yang dirancang untuk membantu seseorang mempelajari suatu kemampuan dan nilai yang baru. Proses pembelajaran pada awalnya meminta guru untuk mengetahui kemampuan dasar yang dimiliki oleh siswa meliputi kemampuan dasarnya, motivasinya, latar belakang akademisnya, latar belakang ekonominya, dan lain sebagainya. Kesiapan guru untuk mengenal karakteristik siswa dalam pembelajaran merupakan modal utama penyampaian bahan belajar dan menjadi indikator suksesnya pelaksanaan pembelajaran.

2.2 Hasil Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya
2.2.1 Pengertian Hasil Belajar
Setiap orang ingin memperoleh hasil belajar yang baik. Bukan hanya siswa yang menginginkan hal tersebut. Guru dan orang tua sangat mengharapkan didikannya memperoleh hasil yang baik. Untuk memperoleh hasil belajar yang baik hendaknya adanya kesenangan siswa dalam mengikuti proses pembelajaran yang disampaikan. Tentunya ini menjadi sebuah tantangan bagi guru untuk membuat siswanya senang dengan mata pelajaran yang disampaikan. Suprijono (2010:7) menjelaskan bahwa “hasil belajar adalah perubahan perilaku secara keseluruhan bukan hanya salah satu aspek potensi kemanusiaan saja”.
Dalam hasil belajar ini Sudjana (2005:3) mendefinisikan hasil belajar siswa pada hakikatnya adalah “perubahan tingkah laku sebagai hasil belajar dalam pengertian yang lebih luas mencakup bidang kognitif, afektif, dan psikomotorik”. Lebih jauh Usman (2001:29) mengungkapkan bahwa “perubahan kognitif siswa merupakan suatu perubahan yang menyangkut tujuan yang berhubungan dengan ingatan, pengetahuan, dan kemampuan intelektual”. Dari pendapat tersebut di atas dapat dikatakan bahwa hasil belajar dapat dilihat dari tingkah laku siswa meliputi aspek kognitif, psikomotorik, dan afektif setelah mereka memperoleh pengalaman belajar.
Selanjutnya Benjamin (Dimyati dan Mudjiono, 2006:26-27) menegaskan bahwa perubahan kognitif siswa/domain kognitif terdiri atas enam bagian sebagai berikut:
(1) Pengetahuan, mencapai kemampuan ingatan tentang hal yang telah dipelajari dan tersimpan dalam ingatan. Pengetahuan itu berkenaan dengan fakta, peristiwa, pengertian kaidah, teori, prinsip, atau metode.
(2) Pemahaman, mencakup kemampuan menangkap arti dan makna tentang hal yang dipelajari.
(3) Penerapan, mencakup kemampuan menerapkan metode dan kaidah untuk menghadapi masalah yang nyata Misalnya, menggunakan prinsip.
(4) Analisis, mencakup kemampuan merinci suatu kesatuan ke dalam bagian-bagian sehingga struktur keseluruhan dapat dipahami dengan baik. Misalnya mengurangi masalah menjadi bagian yang telah kecil.
(5) Sintesis, mencakup kemampuan membentuk suatu pola baru. Misalnya kemampuan menyusun suatu program.
(6) Evaluasi, mencakup kemampuan membentuk pendapat tentang beberapa hal berdasarkan kriteria tertentu. misalnya, kemampuan menilai hasil ulangan.

    Berdasarkan pendapat di atas maka hasil belajar yang diharapkan pada perubahan psikomotor tersebut berhubungan dengan kemampuan yang harus dikuasai siswa untuk mengerjakan sesuatu sebagai hasil penguasaan materi yang telah dipelajari. Hal tersebut dapat dilihat dari pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi. Hasil belajar yang diharapkan dari perubahan kognitif adalah sikap yang berhubungan dengan menerima, menanggapi, menilai, mengelola dan menghayati yang dapat mempengaruhi pikiran dan tindakan siswa.

2.2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Hasil belajar yang dicapai siswa dipengaruhi oleh dua faktor yakni faktor dari dalam diri siswa dan faktor dari luar diri siswa sebagaimana diungkapkan oleh Sudjana (2005:39), yaitu :
(1) Faktor dari dalam diri siswa
Faktor yang datang dari siswa terutama kemampuan yang dimilikinya. Faktor kemampuan siswa sangat berpengaruh terhadap hasil belajar yang dicapai. Selain kemampuan yang dimiliki siswa, juga ada faktor lain, seperti: motivasi belajar, minat dan perhatian, sikap dan kebiasaan belajar, faktor fisik dan psikis.
(2) Faktor dari luar atau faktor lingkungan
Faktor dari luar yang mempengaruhi hasil belajar adalah kualitas pengajaran. Yang dimaksud dengan kualitas pengajaran adalah tinggi rendahnya atau efektif tidaknya proses belajar mengajar dalam mencapai tujuan pengajaran.

    Sedangkan menurut Sudjana (2005:40) hasil belajar siswa dipengaruhi oleh lima faktor, yaitu : “bakat belajar, waktu yang tersedia untuk belajar, waktu yang diperlukan siswa untuk menjelaskan pelajaran, kualitas pengajaran dan kemampuan individu”. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil belajar siswa juga tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar itu sendiri. Menurut (Purwanto, 2006:102) Faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar digolongkan menjadi dua, yaitu “faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern adalah faktor yang ada dalam diri individu yang sedang belajar, sedangkan faktor ekstern adalah faktor yang ada di luar individu.” 
    Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi hasil belajar adalah sebagai berikut:

a. Tujuan
Tujuan adalah perangkat hasil yang hendak dicapai setelah siswa melakukan kegiatan belajar. Menurut Sumiati & Asra (2008:60) “ tujuan pembelajaran adalah arah atau sasaran yang hendak dituju oleh proses pembelajaran”. Tujuan pembelajaran merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh suatu kegiatan pendidikan. Sebelum proses pembelajaran berlangsung seorang guru sudah harus merumuskan tujuan pembelajaran yang hendak dicapai untuk meningkatkan hasil belajar pada suatu mata pembelajaran yang dikuasainya.
Menurut Suwarno (2006:33) menyatakan bahwa:

    Tujuan pendidikan menurut jenisnya, terbagi dalam beberapa jenis diantaranya tujuan nasional (tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh suatu bangsa), institusional (tujuan pendidikan yang ingin dicapai suatu lembaga pendidikan), dan kurikuler (tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh suatu mata pelajaran).

    Tujuan yang dilakukan seorang guru dapat menjalankan tugas dengan maksimal dan mengikuti prosedur atau langkah-langkah untuk mencapai tujuan yang dirumuskan. Bila tujuan yang dirumuskan dapat tercapai dengan baik maka hasil belajarnya akan baik dan sebaliknya apabila tujuan yang ingin dicapai tidak berjalan dengan baik maka akan berpengaruh pada hasil belajar.

b. Guru
Menurut Sanjaya (2010:197) “guru adalah komponen yang sangat menentukan dalam implimentasi suatu strategi pembelajaran. Apabila guru tidak bagus dan idealnya suatu strategi, maka strategi itu tidak dapat diimplimentasikan”. Peranan guru sangatlah besar dan berpengaruh, sebab guru merupakan pelaksana pendidikan. Dalam memaksimalkan peranan seorang guru dituntut harus memiliki empat kompetensi, diantarnya kompetensi peodagogik, kepribadian, profesionalisme, dan kompetensi sosial.
Ada lima hal yang harus dimiliki guru agar menjadi profesional dan dapat meningkatkan kualitas pendidikan, menurut Rasyid & Mansyur (2008:51) kelima hal tersebut adalah :
(1) Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya
(2) Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarkannya kepada siswa.
(3) Guru bertanggungjawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi.
(4) Guru mampu berfikir sistimatis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya.
(5) Guru seyogyanya merupakan bagian dai masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.

    Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa peranan guru sangat menentukan hasil belajar dan kemampuan belajar siswa sebab guru merupakan pelaksana pendidikan dan pengelola pendidikan serta guru sangat menentukan mutu pendidikan.

c. Peserta Didik
Faktor yang sangat mempengaruhi hasil belajar adalah peserta didik, karena peserta didik adalah sasaran dari proses pendidikan untuk masa depan. Menurut Hamalik (2005:7) mengatakan bahwa:
Peserta didik merupakan suatu komponen masukan dalam sistem pendidikan, yang selanjutnya diproses dalam proses pendidikan, sehingga menjadi manusia berkualitas sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Sebagai suatu komponen pendidikan, peserta didik dapat ditinjau dari berbagai pendekatan, antara lain pendekatan sosial, pendekatan psikologis, dan pendekatan edukatif/paedagogik.

    Peserta didik merupakan organisme yang unik berkembang sesuai dengan tahap perkembangannya. Faktor belajar dapat dipengaruhi oleh perkembangan siswa tidaklah sama, sebab setiap siswa memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa peserta didik sangat berpengaruh terhadap hasil belajar.

d. Evaluasi
Penilaian merupakan suatu proses penetapan nilai tentang kinerja dan hasil belajar siswa berdasarkan informasi yang diperoleh melalui evaluasi. Menurut Ebel (Rasyid & Mansyur, 2008:3) “evaluasi merupakan suatu kebutuhan dimana evaluasi harus memberikan keputusan tentang informasi apa saja yang dibutuhkan, bagaimana informasi tersebut dikumpulkan, serta bagaimana informasi tersebut disintesiskan untuk mendukung hasil yang diharapkan.

2.3 Hakikat Matematika
Matematika merupakan disiplin ilmu yang mempunyai sifat yang khas kalau dibandingkan dengan disiplin ilmu yang lain. Hudojo (2001:74) menyatakan bahwa “matematika bukanlah ilmu yang hanya untuk keperluan dirinya sendiri, tetapi ilmu yang bermanfaat untuk sebagian besar ilmu-ilmu lain”. Dengan perkataan lain, matematika mempunyai peranan yang sangat esensial untuk ilmu lain, yang utama sains dan teknologi.
Johnson dkk (Abdurrahman, 2003:252) mengemukakan bahwa: “matematika adalah bahasa simbolis yang fungsi praktis untuk mengekspresikan hubungan kuantitatif dan keruangan sedangkan fungsi teoritisnya adalah untuk memudahkan berpikir”. Matematika sebagai ilmu mengenai struktur dan hubungan-hubungannya memerlukan simbol. Simbol-simbol itu penting untuk membantu memanipulasi aturan-aturan dengan operasi yang ditetapkan. Simbolisasi menjamin adanya komunikasi dan mampu memberikan keterangan untuk membentuk suatu konsep baru, Konsep baru terbentuk karena adanya pemahaman terhadap konsep sebelumnya sehingga matematika itu konsep-konsepnya tersusun secara hierarkis.
Menurut Suherman (2001:17), matematika dapat dijawab secara berbeda-beda tergantung pada bilamana pertanyaan itu dijawab, dimana dijawabnya, siapa yang menjawabnya, dan apa sajakah yang dipandang termasuk dalam matematika. Artinya dengan mengetahui sasaran penelaahan matematika, maka kita dapat mengetahui hakikat matematika yang sekaligus dapat kita ketahui juga cara berpikir matematika itu sendiri.
Abdurrahman (2003:252) mengemukakan bahwa matematika adalah “suatu cara untuk menemukan jawaban terhadap masalah yang dihadapi manusia, suatu cara menggunakan informasi, menggunakan pengetahuan tentang bentuk dan ukuran, menggunakan pengetahuan tentang menghitung”. Dalam matematika yang paling adalah memikirkan dalam diri manusia itu sendiri dalam melihat dan menggunakan hubungan-hubungan.
Selanjutnya Gagne (Martono, 2007:25) membagi objek langsung matematika menjadi:
(1) Fakta matematika berupa konveksi-konveksi (perjanjian) yang diungkap dengan simbol-simbol tertentu. Fakta meliputi istilah (nama), notasi (lambang/simbol), dan lain-lain. Fakta dapat dipelajari dengan teknik yaitu: menghafal, banyak latihan, peragaan dan sebagainya. Contoh fakta antara lain : ”3” adalah simbol dari bilangan tiga, “+” adalah simbol dari operasi tambah.
(2) Konsep adalah suatu ide abstrak yang memungkikan kita dapat menggelompokkan objek ke dalam contoh dan bukan contoh. Siswa harus membentuk konsep melalui pengalaman sebelumnya (prakonsepsi) diikuti latihan soal untuk memahami pengertian suatu konsep. Prakonsepsi adalah konsep awal yang dimiliki siswa tentang suatu objek yang akan digunakan untuk memahami konsep selanjutnya. Konsep dibangun dari definisi, seperti kalimat, simbol, atau rumus yang menunjukkan gejala sebagaimana yang dimaksudkan konsep. Contoh “variabel” adalah nama dari suatu konsep yang terdiri dari lambang-lambang yang digunakan untuk mewakili suatu bilangan yang belum diketahui nilainya dengan jelas.
(3) Skill (ketrampilan) adalah kemampuan memberikan jawaban dengan tepat dan cepat. Ketrampilan adalah suatu prosedur atau aturan untuk mendapatkan atau memperoleh suatu hasil tertentu. Sehingga Skill dapat diartikan sebagai suatu prosedur yang digunakan untuk menyelesaikan soal-soal dalam jangka waktu tertentu (cepat) dan benar.
(4) Prinsip adalah objek matematika yang kompleks, dapat berupa gabungan beberapa konsep, beberapa fakta, yang dibentuk melalui operasi dan relasi. Menggungkapkan prinsip dapat berupa aksioma/postulat, teorema, sifat dan sebagainya. Sehingga dapat dikatakan bahwa prinsip adalah hubungan diantara konsep-konsep. Contohnya untuk mengerti prinsip tentang pemfaktoran dalam aljabar siswa harus menguasai antara lain: konsep mengenai faktor persekutuan, kelipatan persekutuan terkecil (KPK), dan faktor persekutuan terbesar (FPB).

    Cantor (Martono, 2007:30) juga menjelaskan bahwa: “bidang lain dalam matematika adalah analisis abstrak yang menghasilkan tentang turunan dan integral dalam ruang dimensi tak hingga”. Karakteristik matematika secara umum menurut Soedjadi (2000:13) adalah: “memiliki objek kajian abstrak, bertumpu pada kesepakatan, berpola pikir deduktif, memiliki simbol yang kosong dari arti, memperhatikan semesta pembicaraan dan konsisten dalam sistemnya”.
    Berdasarkan pendapat di atas mengenai pengertian matematika tersebut, dapat dikatakan bahwa tidak ada definisi tunggal tentang matematika yang disepakati. Oleh karena itu untuk mengetahui dan memahami matematika dapat dipelajari melalui ciri-cirinya atau karakteristiknya. Matematika hanya dapat dikatakan dengan ide-ide serta konsep-konsep abstrak yang tersusun secara hierarkis dan penalarannya deduktif yang mampu mambuat manusia mengembangkan pikiran yang berkualitas dalam perkembangan zaman.

2.4 Model Pembelajaran Problem Based Instruction
2.4.1 Pengertian Model Pembelajaran Problem Based Instruction
Model pembelajaran merupakan pola atau cara yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas maupun tutorial, pola atau cara tersebut diharapkan mampu merancang tingkatan pendidikan agar para siswa lebih terarah dalam berpikir. Dalam hal ini Suprijono (2009:46), mengemukakan bahwa “model pembelajaran mengacu pada pendekatan yang akan digunakan, termasuk di dalamnya tujuan-tujuan pembelajaran, tahap-tahap dalam kegiatan pembelajaran, lingkungan pembelajaran, dan pengelolaan kelas”.
Menurut Mills (Suprijono, 2009:45) model adalah “bentuk representasi akurat sebagai proses aktual yang memungkinkan seseorang atau sekelompok orang mencoba bertindak berdasarkan model itu”. Pembelajaran adalah “sesuatu yang dilakukan oleh siswa, bukan dibuat untuk siswa” (Isjoni, 2009:14). Pembelajaran pada dasarnya merupakan upaya pendidik untuk membantu peserta didik melakukan kegiatan belajar. Tujuan pembelajaran adalah terwujudnya efisiensi dan efektivitas kegiatan belajar yang dilakukan peserta didik.
Problem Based Instruction (PBI) merupakan “model pembelajaran yang dapat memecahkan masalah yang bertujuan meningkatkan pengetahuan siswa dan mampu meningkatkan motivasi siswa dalam belajar” (Trianto, 2010:92). Permasalahan dalam model pembelajaran ini adalah menetapkan topik, tugas, dan jadwal. Melalui model ini siswa dilibatkan pada kegiatan belajar sehingga pengetahuannya benar-benar diserapnya dengan baik, dilatih untuk dapat bekerjasama dengan siswa lain dan siswa dapat memperoleh informasi dari berbagai sumber.
Menurut Ibrahim (2000:45) Pembelajaran berdasarkan masalah merupakan “pendekatan yang efektif untuk pengajaran proses berpikir tingkat tinggi”. Pembelajaran ini membantu siswa untuk memproses informasi yang sudah jadi dalam benaknya dan menyusun pengetahuan mereka sendiri tentang dunia sosial dan sekitarnya. Pembelajaran ini cocok untuk mengembangkan pengetahuan dasar maupun kompleks.
Trianto (2010:47) menjelaskan macam-macam pembelajaran berdasarkan masalah antara lain :
(1) Pembelajaran berdasarkan proyek (project-based instruction), pendekatan pembelajaran yang memperkenankan siswa untuk bekerja mandiri dalam mengkonstruksikannya pembelajarannya.
(2) Pembelajaran berdasarkan pengalaman (experience-based instruction), pendekatan pembelajaran yang memperkenankan siswa melakukan percobaan guna mendapatkan kesimpulan yang benar dan nyata.
(3) Belajar otentik (authentic learning), pendekatan pengajaran yang memperkenankan siswa mengembangkan ketrampilan berpikir dan memecahkan masalah yang penting dalam konsteks kehidupan nyata.
(4) Pembelajaran bermakna (anchored instruction), pendekatan pembelajaran yang mengikuti metodologi sains dan memberi kesempatan untuk pembelajaran bermakna.

    Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran berbasis masalah bertujuan untuk memperkenankan siswa untuk bekerja sama secara mandiri, mengarahkan ke keadaan nyata, mengembangkan keterampilan dalam memecahkan masalah, serta membuat pembelajaran lebih bermakna dan dapat mambantu siswa dapat menyelesaikan masalah yang diajukan.
    Pembelajaran berdasarkan masalah tidak dirancang untuk membantu guru memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada siswa. “Pembelajaran berdasarkan masalah dikembangkan untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir, pemecahan masalah, dan keterampilan intelektual belajar berbagai peran orang dewasa melalui pelibatan mereka dalam pengalaman nyata atau simulasi; dan menjadi pebelajar yang otonomi dan mandiri” (Trianto, 2010:45).
    Menurut Sudjana (2005:62) manfaat khusus yang diperoleh dari model berbasis masalah. Tugas guru adalah membantu para siswa merumuskan tugas-tugas, dan bukan menyajikan tugas-tugas pelajaran. Objek pelajaran tidak dipelajari dari buku, tetapi dari masalah yang ada di sekitarnya.

2.4.2 Kelebihan dan Kelemahan Pembelajaran Problem Based Intruction
Model pembelajaran merupakan sebuah penunjang dalam proses pembelajaran untuk meningkatkan mutu pendidikan. Dalam model pembelajaran terdapat kelebihan dan kelemahan. Menurut Trianto (2010:45-46) Kelebihan dan kelemahan model pembelajaran yaitu :
(1) Kelebihan pembelajaran berdasarkan masalah
(a) Siswa lebih memahami konsep matematika yang diajarkan sebab mereka sendiri yang menemukan konsep tersebut
(b) Melibatkan siswa secara aktif dalam memecahkan masalah dan membentuk keterampilan berpikir siswa yang lebih tinggi
(c) Siswa dapat merasakan manfaat pembelajaran matematika karena masalah-masalah yang diselesaikan langsung dikaitkan dengan kehidupan nyata.
(d) Menjadikan siswa lebih mandiri dan lebih dewasa, mampu memberi dan menerima pendapat orang lain serta menanamkan sikap sosial yang positif diantara siswa.
(2) Kelemahan pembelajaran berdasarkan masalah
(a) Dalam pembelajaran di kelas, membutuhkan waktu yang lama sehingga terkadang materi tidak terselesaikan
(b) Menuntut guru membuat perencanaan pembelajaran lebih matang
(c) Jumlah siswa dalam kelas tidak terlalu banyak, idealnya (25-35 siswa)

    Pembelajaran berdasarkan masalah tidak dirancang untuk membantu guru memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada siswa. Pembelajaran berdasarkan masalah dikembangkan untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir, pemecahan masalah, dan keterampilan intelektual; belajar berbagai peran orang dewasa melalui pelibatan mereka dalam pengalaman nyata atau simulasi; dan menjadi pebelajar yang otonomi dan mandiri. 

2.4.3 Langkah-Langkah Model Pembelajaran Problem Based Intruction

    Pada model pembelajaran dibutuhkan pengembangan keterampilan kerjasama di antara siswa dan saling membantu untuk menyelidiki masalah secara bersama. Berkenaan dengan hal tersebut siswa memerlukan bantuan guru untuk merencanakan penyelidikan dan tugas-tugas pelaporan. Cara yang baik dalam menyajikan masalah untuk suatu materi pelajaran dalam pembelajaran berbasis masalah ini adalah dengan menggunakan masalah yang nyata. Masalah yang dimaksud dapat membangkitkan minat dan keinginan siswa untuk menyelesaikannya.
    Menurut Arends (2008:45) “pembelajaran problem based intruction mengambil psikologi kognitif sebagai dukungan teoritisnya. Fokusnya bukan apa yang sedang dikerjakan siswa (perilaku siswa) tetapi pada apa yang mereka pikirkan (kognisi mereka)”. Dalam kegiatan pembelajaran ini, guru lebih berperan sebagai pembimbing dan fasilitator sehingga siswa dapat belajar untuk berpikir dan menyelesaikan masalahnya sendiri”.
    Proses pembelajaran PBI Melatih siswa berpikir, memecahkan masalah, dan menjadi pelajar yang mandiri bukan hal baru dalam pendidikan. Berikut ini adalah beberapa aliran pemikiran abad ke duapuluh yang menjadi landasan pemikiran pembelajaran berbasis masalah. Arends (2008:57) mengemukakan bahwa langkah-langkah pembelajaran berbasis masalah adalah : 
    (1)     Orientasi siswa pada situasi masalah
        Menjelaskan tujuan pembelajaran, logistik yang dibutuhkan untuk menyelesaiakan tugas, memotivasi siswa agar terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya.

    (2) Mengorganisasi siswa untuk belajar
        Membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.
    (3) Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok
        Mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah
    (4) Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
        Membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai sebagai hasil pelaksanaan tugas, misalnya berupa laporan, video, dan model serta membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya
    (5) Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
        Membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka tempuh atau gunakan.

    Menurut Forgaty (Suherman, 2003:3) pembelajaran “problem based intruction dimulai dengan masalah yang tidak terstruktur, dari ketidakstrukturan ini siswa menggunakan kecerdasannya melalui diskusi dan penelitian untuk menentukan isu yang ada”. Langkah-langkah yang harus dilalui oleh siswa dalam proses pembelajaran berbasis masalah adalah menemukan masalah, mendefinisikan masalah, mengumpulkan fakta, pembuatan hipotesis, penelitian, rephasing masalah, menyuguhkan alternatif, mengusulkan solusi.
    Lingkungan belajar yang harus disiapkan dalam pembelajaran problem based instruction adalah lingkungan belajar yang terbuka, menggunakan proses demokrasi, dan menekankan pada peran aktif siswa. Seluruh proses membantu siswa untuk menjadi mandiri dan otonom yang percaya pada keterampilan intelektual mereka sendiri, lingkungan belajar menekankan pada peran sentral siswa bukan pada guru.
    Masalah yang disajikan dalam pembelajaran berbasis masalah sebaiknya merupakan masalah autentik. Masalah autentik adalah masalah yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari dan bermanfaat langsung jika ditemukan penyelesainnya. Dengan mengangkat masalah-masalah autentik ke dalam kelas diharapkan pembelajaran akan lebih bermakna. Hal ini diperkuat dengan pernyataan John Dewey (Haris, 2007:54) yang mengemukakan bahwa “proses belajar akan terjadi kalau siswa dihadapkan masalah dari kehidupan nyata untuk dipecahkan, sehingga dari menghadapi masalah, siswa akan membentuk pengetahuan baru melalui langkah analisis terhadap pengetahuan-pengetahuan yang mereka kumpulkan”.
    Penerapan pembelajaran problem based intruction, siswa dihadapkan pada masalah yang autentik dan siswa diharapkan mampu menggunakan dan mengembangkan kemampuan dasar yang dimilikinya, konteks pembelajaran matematika adalah suatu hal yang secara sadar dimengerti siswa untuk dicari penyelesaiannya, namun untuk mendapatkan penyelesaian tersebut membutuhkan integrasi keterampilan dan pengetahuan yang sudah dipahami sebelumnya.

2.5 Pembelajaran Konvensional
Salah satu pembelajaran yang masih berlaku dan sangat banyak digunakan oleh guru dalam melaksanakan pembelajaran adalah pembelajaran konvensional. Pembelajaran konvensional adalah “pembelajaran tradisional atau disebut juga dengan metode ceramah, karena sejak dulu metode ini telah dipergunakan sebagai alat komunikasi lisan antara guru dengan anak didik dalam proses belajar dan pembelajaran” (Djamarah, 2001:14).
Menurut Freire (2001:79) pembelajaran konvensional adalah “suatu penyelenggaraan pendidikan ber ‘gaya bank’ penyelenggaraan pendidikan hanya dipandang sebagai suatu aktivitas pemberian informasi yang harus ‘ditelan’ oleh siswa, yang wajib diingat dan dihafal”. Pembelajaran yang dimaksud adalah pembelajaran yang hanya berpusat kepada guru semata dan para siswa hanya menerima apa yang diberikan oleh guru tanpa mancari tahu informasi lain yang berkaitan dengan pembelajaran, dan pembelajaran ini tidak memberikan dorongan kepada siswa untuk berpikir lebih terbuka.
Menurut Sukandi (2003:14) mendefenisikan bahwa “pendekatan konvensional ditandai dengan guru mengajar lebih banyak mengajarkan tentang konsep-konsep bukan kompetensi, tujuannya adalah siswa mengetahui sesuatu bukan mampu untuk melakukan sesuatu, dan pada saat proses pembelajaran siswa lebih banyak mendengarkan”. Disini terlihat bahwa pendekatan konvensional yang dimaksud merupakan proses pembelajaran yang lebih banyak didominasi gurunya sebagai pentransfer ilmu sementara siswa lebih pasif sebagai penerima ilmu.
Penyampaian pesan pembelajaran konvensional lebih sering menggunakan “modus telling (pemberian informasi), ketimbang modus demonstrating (memperagakan), dan doing direct performance (memberikan kesempatan untuk menampilkan unjuk kerja secara langsung)” (Djamarah, 2001:27). Artinya guru lebih sering menggunakan strategi atau metode ceramah atau drill dengan mengikuti urutan materi dalam kurikulum. Guru berasumsi bahwa keberhasilan program pembelajaran dilihat dari ketuntasannya menyampaikan seluruh meteri yang ada.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka pembelajaran konvensional dapat dimaklumi sebagai pendekatan pembelajaran yang lebih banyak berpusat pada guru, komunikasi lebih banyak satu arah dari guru ke siswa, metode pembelajaran lebih pada penguasaan konsep-konsep bukan kompetensi.

2.6 Teori Belajar yang Relevan
2.6.1 Teori Belajar Menurut Bruner
Teori belajar merupakan anggapan dasar terhadap pengembangan belajar itu sendiri. Bruner (Trianto, 2010:38) mengemukakan tentang belajar yaitu :
Belajar akan lebih bermakna bagi siswa jika mereka memusatkan perhatiannya untuk memahami struktur materi yang dipelajari serta menyarankan agar siswa-siswa hendaknya belajar melalui partisipasi secara aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, agar mereka dianjurkan untuk memperoroleh pengalaman dan melakukan eksperimen-eksperimen yang mengizinkan mereka untuk menemukan prinsip-prinsip itu sendiri.

    Dengan demikian prinsip pembelajaran harus memperhatikan perubahan kondisi internal peserta didik yang terjadi selama pengalaman belajar diberikan di kelas. Pengalaman yang diberikan dalam pembelajaran harus bersifat penemuan yang memungkinkan peserta didik dapat memperoleh informasi dan keterampilan baru dari pelajaran sebelumya, konsep pembelajaran ini secara sadar mengembangkan proses belajar siswa yang mengarah kepada aspek jiwa dan aspek raga.
    Teori belajar Bruner mengarahkan siswa kepada memahami struktur dan memusatkan perhatian terhadap masalah struktur tersebut dengan teori belajar ini maka sangat cocok dikaitkan dengan model pembelajaran problem based intruction yang mengarahkan siswa kepada masalah yang dalam pembelajaran dengan meperhatikan struktur terhadap masalah-masalah yang dihadapi.

2.6.2 Teori Gestalt
Dewey (Suherma, 2001:47) mengemukakan bahwa pelaksanaan kegiatan belajar mengajar yang diselenggarakan oleh guru harus memperhatikan hal-hal berikut: (1) Penyajian konsep harus lebih mengutamakan pengertian, (2) Pelaksanaan belajar mengajar harus memperhatikan kesiapan intelektual siswa, (3) Mengatur suasana kelas agar siswa siap belajar.
Berpandangan dari ketiga hal di atas, dalam menyajikan pelajaran, guru tidak hanya memberikan konsep yang harus diterima begitu saja, melainkan harus lebih mementingkan pemahaman terhadap proses terbentuknya konsep tersebut daripada hasil akhir. Untuk itu, guru hendaknya bertindak sebagai pembimbing dengan menggunakan pendekatan proses melalui metode induktif. Pendekatan dan metode yang digunakan tersebut haruslah disesuaikan dengan kesiapan intelektual siswa.
Teori belajar Gestalt ini berkaitan erat dengan model pembelajaran problem based intruction karena pada siswa diarahkan bukan hanya menerima informasi dan pembelajaran dari guru semata tetapi melainkan harus mencari ide-ide yang didapatkan siswa untuk disampaikan agar siswa terlatih dan mencari dan menyelesaikan masalah.

2.6.3 Teori Belajar Konstrukivisme
Teori konstruktivis ini menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai. Bagi siswa agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susah payah dengan ide-ide (Trianto, 2010:28).
Menurut teori konstruktivis ini, satu prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberi kesempatan siswa untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar (Trianto, 2010:28).
Dengan demikian teori belajar konstruktivisme bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamanya. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis.

2.7 Tinjauan Materi Himpunan
Salah satu materi yang dibahas dalam Matematika adalah materi himpunan yang diajarkan pada jenjang pendidikan SMP. Himpunan adalah “kumpulan atau kelompok benda (objek) yang telah terdefinisi dengan jelas” (Sukino dan Wilson, 2006:208). Berdasarkan pengertian di atas yang dimaksud dengan benda atau objek yang telah terdefinisi dengan jelas adalah suatu benda atau unsur yang telah jelas keadaanya, seperti boneka, binatang, angka, warna, dan lain-lain.
Untuk melihat lebih jauh tentang tinjauan materi himpunan maka dapat dilihat uraian standar kompetensi, komptensi dasar dan indikator di bawah ini :
Kurikulum pembelajaran disusun dan dilaksanakan dimasing-masing satuan pendidikan. Pengembangan kurikulum 2013 oleh sekolah sesuai dengan situasi dan konteks yang dimilikinya. Akan tetapi, sekolah tetap harus mengacu pada lingkup Standar Nasional pendidikan yang ada, sesuai dengan PP 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Dalam pembahasan ini diuraikan standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator pada mata pada materi himpunan.
Kompetensi Inti Kompetensi Dasar
dan Indikator

  1. Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya
  2. Menghargai dan menghayati perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (toleransi, gotong royong), santun, percaya diri, dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan pergaulan dan keberadaannya
  3. Memahami dan menerapkan pengetahuan (faktual, konseptual, dan prosedural) berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya terkait fenomena dan kejadian tampak mata
  4. Mengolah, menyaji, dan menalar dalam ranah konkret (menggunakan, mengurai, merangkai, memodifikasi, dan membuat) dan ranah abstrak (menulis, membaca, menghitung, menggambar, dan mengarang) sesuai dengan yang dipelajari di sekolah dan sumber lain yang sama dalam sudut pandang/teori 1.1 Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya
    2.1 Menunjukkan sikap logis, kritis, analitik, konsisten dan teliti, bertanggung jawab, responsif dan tidak mudah menyerah dalam memecahkan masalah
    3.1 Memiliki rasa ingin tahu, percaya diri, dan ketertarikan pada matematika serta memiliki rasa percaya pada daya dan kegunaan Matematika, yang terbentuk melalui pengalaman belajar
    4.1 Memahami pengertian dan notasi himpunan, serta penyajiannya.
    • Menyatakan masalah sehari-hari dalam bentuk himpunan dan mendata anggotanya.
    • Menyebutkan anggota dan bukan anggota himpunan.
    • Menyatakan notasi himpunan.
    • Menjelaskan himpunan kosong dan notasinya
      4.2 Memahami konsep himpunan bagian.
    • Menentukan himpunan bagian dari suatu himpunan.
    • Dapat menentukan banyak himpunan bagian suatu himpunan.
    • Menjelaskan pengertian himpunan semesta, serta dapat menyebutkan anggotanya
      Sumber (Silabus K13 SMP Negeri Kuala Batee)

2.8 Hipotesis
Sejalan dengan permasalahan yang telah diuraikan di atas maka yang menjadi hipotesis dalam penelitian ini adalah: peningkatan hasil belajar siswa kelas VII melalui model pembelajaran problem based instruction pada materi himpunan lebih tinggi dari pada pembelajaran konvesional.

2.9 Definisi Operasional
Memahami variabel dalam penelitian ini diperlukan agar tidak mengacu kepada hal yang lain, maka penulis mendefinisikan beberapa dari variabel yang dipakai dalam penelitian ini.
a. Peningkatan Hasil Belajar
Peningkatan adalah kemajuan dari seseorang untuk mengetahui apa yang belum diketahui, dari tidak bisa menjadi bisa. Peningkatan juga merupakan proses, cara, perbuatan untuk menaikkan sesuatu atau usaha kegiatan untuk memajukan sesuatu ke suatu arah yang lebih baik lagi dari pada sebelumya. Sedangkan hasil belajar merupakan tujuan yang akan dicapai dalam proses belajar mengajar. Hasil belajar yang dicapai seorang individu merupakan hasil interaksi antara berbagai faktor yang mempengaruhi, baik dari dalam diri maupun dari luar individu. Maka hasil belajar adalah penguasaan siswa terhadap materi pelajaran serta keterampilan dalam menyelesaikan masalah atau soal-soal matematika. Penguasaan hasil belajar oleh seseorang dapat dilihat dari perilakunya, baik perilaku dalam bentuk penguasaan pengetahuan, ketrampilan berpikir maupun ketrampilan motorik.
b. Model Pembelajaran Problem Based Intruction
Model pembelajaran problem based instruction menggunakan pendekatan pembelajaran siswa pada masalah kehidupan nyata. Problem based instruction dikembangkan untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir, pemecahan masalah dan keterampilan intelektual, belajar berbagai peran, melalui pengalaman belajar dalam kehidupan nyata.
c. Pembelajaran Konvensional
Pendekatan konvesional adalah pendekatan pembelajaran yang sudah terjadi/berlaku di sekolah selama ini. Pembelajaran yang terjadi di sekolah-sekolah masih mengikuti pola sekolah dengan guru datang, menyampaikan bahan pelajaran yang telah dipersiapkan. Siswa mendengarkan dan mencatat pelajaran seteliti mungkin. Variasi yang dilakukan dengan mangadakan tanya jawab dan pemberian tugas. Pertanyaan-pertanyaan atau tugas-tugas yang disampaikan hanya pada tingkat pemahaman atau aplikasi. Tidak sampai pada taraf berfikir tingkat tinggi atau pemecahan masalah.

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain rancangan pretest posttest (Nazir 2005:63). Pada desain ini menggunakan dua kelas yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol, kelas eksprimen dilakukan pembelajaran Problem Based Intruction dan kelas kontrol menggunakan pembelajaran konvensional, kedua kelas dilakukan pretest dan posttest untuk melihat hasil belajar sebelum dan sesudah pembelajaran dilaksanakan, sedangkan jenis penelitian merupakan jenis kuantitatif. Adapun desain penelitian ini secara jelas dapat dilihat pada tabel 3.1
Tabel 3.1 Desain Penelitian
Group Pretest Perlakuan Postest
Eksperimen
Kontrol Y1
Y1 X

  • Y2
    Y2

Keterangan :
Y1 = Tes awal kelas eksperimen dan kelas kontrol
Y2 = Tes akhir kelas eksperimen dan kelas kontrol
X = Model pembelajaran Problem Based Intruction

Berdasarkan desain yang sudah dijelaskan di atas maka langkah-langkah yang dilaksanakan dalam penelitian yaitu :
a. Tahapan Pertama (pengukuran awal)
Sebelum melaksanakan tindakan, siswa kelompok eksperimen dan kelompok kontrol diberikan pretest. Pretest dilakukan untuk mengetahui kemampuan awal siswa tentang materi himpunan.
b. Tahap Kedua, Treatment (perlakuan)
Setelah kedua kelompok diberikan pretest, maka tahap selanjutnya adalah melaksanakan pembelajaran pada kelas eksperimen menggunakan pembelajaran PBI dan kelas kontrol menggunakan pembelajaran konvesional. Dalam penelitian proses pembelajaran dilakukan sebanyak 3x pertemuan masing-masing pada masing-masing kelas.
c. Tahap ketiga, Post Eksperiment Measurenment (pengukuran akhir)
Langkah ketiga sekaligus langkah terakhir adalah memberikan posttest pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Soal posttest berbentuk essay yang sesuai dengan materi himpunan. Hasilnya berupa data kemampuan akhir siswa yang digunakan untuk mengetahui pengaruh yang ditimbulkan akibat dari pemberian perlakuan.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 3 Susoh Kabupaten Aceh Barat Daya pada tahun pelajaran 2017/2018. Adapun alasan penulis melaksanakan penelitian adalah karena berdasarkan keadaan yang terjadi pada siswa di SMP Negeri 3 Susoh diantaranya penulis ingin mencoba menerapkan salah satu model pembelajaran yang belum pernah diterapkan yaitu pembelajaran problem based instruction, pembelajaran ini dirancang untuk membantu siswa menyelesaikan permasalahan-permasalahan (soal-soal) yang dihadapi siswa dalam pembelajaran matematika khususnya materi himpunan.
3.3 Populasi dan Sampel
Populasi adalah “keseluruhan subjek penelitian.” (Arikunto, 2010:172). Berdasarkan pengertian di atas maka yang menjadi populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII SMP Negeri 3 Susoh yang berjumlah 60 orang siswa. Untuk lebih jelasnya data siswa kelas VII SMP Negeri 3 Susoh dapat dilihat pada tabel 3.2
Tabel 3.2 Data Jumlah Siswa Kelas VII SMP Negeri 3 Susoh
No Kelas Jenis Kelamin Jumlah
Laki - Laki Perempuan
1 VII1 8 12 20
2 VII2 9 11 20
3 VII3 8 12 20
Total 25 35 60
Sumber : Arsip SMP Negeri 3 Susoh Kabupaten Aceh Barat Daya

Sedangkan sampel adalah “sebagian atau wakil populasi yang diteliti”. (Arikunto , 2010:175). Adapun teknik pengambilan sampel dilakukan secara random sampling yaitu pengambilan sampel secara acak (melalui undian). Berdasarkan pedoman penarikan sampel secara acak maka terpilihlah kelas VII.2 sebagai kelas eksperimen yang berjumlah 20 orang siswa dan kelas VII.1 yang berjumlah 20 orang sebagai kelas kontrol.

3.4 Teknik Pengumpulan Data
Sumber data penelitian merupakan kunci utama dalam keberhasilan sebuah penelitian. Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah teknik tes.
Menurut Subana (2000:28) tes adalah “serangkaian pertanyaan yang digunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan, intelegensi, kemampuan, atau bakat yang dimiliki oleh individu atau kelompok”. Tes yang dimaksud adalah berupa soal pretest dan postest. Soal tes berbentuk essay yang terdiri dari 5 butir soal pretest dan postest. Waktu yang digunakan untuk masing-masing tes yaitu 80 menit, untuk memperoleh soal tes yang valid penulis berkonsultasi dengan kedua pembimbing dan guru mata pelajaran matematika.

3.5 Teknik Analisa Data
Teknik analisa data yang digunakan adalah teknik analisa data kuantitatif. Adapun langkah-langkah yang akan dilaksanakan adalah :
Membuat daftar distribusi frekuensi dengan panjang kelas yang sama. Sudjana (2005:47) menjelaskan langkah-langah sebagai berikut :
(a) Rentang ialah data terbesar dikurangi data terkecil
(b) Banyak kelas interval yang dipepulerkan, untuk itu dapat digunakan aturan sturges yaitu :
Banyak kelas = 1 + (3,3) log n
(c) Panjang kelas interval P

    (d) Pilih ujung bawah kelas interval pertama, untuk ini bisa diambil sama dengan data terkecil atau nilai data yang lebih kecil dari data terkecil tetapi selisihnya harus kurang dari panjang kelas yang telah ditentukan.

    Selanjutnya Sudjana (2005:70) menjelaskan bahwa data yang telah disusun dalam distribusi frekuensi kemudian dicari nilai rata-rata. Nilai rata-rata (x ̅) dihitung dengan rumus :
 


Keterangan :
fi  : Frekuensi kelas interval
xi : nilai tengah atau tanda-tanda kelas interval
    Setelah ditentukan nilai rata-rata kemudian ditentukan pula varians (s2) data. Sudjana (2005:95) menjelaskan bahwa varians (s2) diperoleh dengan rumus :
 
Keterangan :
fi  = Frekuensi kelas interval
xi = nilai tengah atau tanda-tanda kelas interval
s2= varians
n  = banyak data 
    Sebelum melakukan pengujian hipotesis data dianalisis untuk diuji kenormalan data yang diambil sebagai sampel. Uji normalitas diperlukan untuk mengetahui apakah data penelitian ini berdistribusi normal atau tidak. Pengujian normalitas suatu data digunakan uji chi kuadrat (chi square) dengan :

Ho : Data berdistribusi normal
Ha : Data tidak berdistribusi normal
Adapun Rumus yang digunakan menurut Sudjana (2005:273) adalah sebagai berikut :

Keterangan :
χ2  : Statistik chi kuadrat
Oi  : Frekuensi pengamatan
Ei  : Frekuensi yang diharapkan 

    Kriteria yang ditetapkan adalah tolak Ho jika nilai χ2 ≥ χ2(1-α)(dk) pada taraf signifikan α=5% berarti data tidak berdistribusi normal.
Setelah uji normalitas dilaksanakan kemudian dilakukan uji homogenitas varians yang bertujuan untuk mengetahui apakah sampel dari penelitian ini berasal dari populasi yang sama atau bukan, dengan ketentuan sebagai berikut :

Ho : Sampel dari penelitian ini berasal dari populasi yang sama
Ha : Sampel dari penelitian berasal dari populasi yang tidak sama
Adapun Kriteria pengujian ini adalah tolak H0 jika Fihtung > Ftabel dan dalam hal lain H0 diterima. Rumus yang digunakan dalam uji homogenitas menurut Sudjana (2005: 250) adalah :

Selanjutnya dilakukan uji gain ternormalisasi yang bertujuan untuk mengetahui peningkatan hasil belajar siswa dengan menggunakan model pembelajaran Problem Based Intruction (PBI). Rumus gain ternormalisasi menurut Hake (2001:3) 

Tabel 3.3 Kriteria Gain Ternormalitas (g)
Interval Interprestasi
g ≥ 0,7
0,3 ≤ g < 0,7
g < 0,3 Tinggi
Sedang
Rendah

Selanjutnya dilaksanakan uji hipotesis, dalam penelitian ini hopotesis yang diajukan untuk di uji adalah:

H0: μ1 ≤ μ2 : Peningkatan hasil belajar siswa kelas VII melalui model pembelajaran problem based instruction pada materi himpunan tidak lebih tinggi dari pada pembelajaran konvesional.
Ha: μ1 > μ2 : Peningkatan hasil belajar siswa kelas VII melalui model pembelajaran problem based instruction pada materi himpunan lebih tinggi dari pada pembelajaran konvesional.
Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan uji Mann Whitney karena data data tidak berdistribusi normal. Menurut Santoso (2010:117) rumus uji Mann Whitney menggunakan:

Keterangan :
n_1dan n_2  :   Sampel 1 dan 2
U_1 dan U_2 :   Jumlah peringkat 1 dan 2
R_1 dan R_2 :   Jumlah rangking pada sampel 𝑛1 dan sampel n2

Karena sampel yang digunakan dalam penelitian ini melebihi 20 (n>20), maka pengujian hipotesis dalam penelitian menggunakan rumus sebagai berikut :


Dengan kriteria pengujian tolak H0 jika p < 0,05 dan terima H0 jika sebaliknya pada taraf signifikan α = 0,05.
Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!