Di musim panas saat masih kuliah, aku pergi ke Biburi, Inggris untuk mengajari suku pedalaman tata cara pemilu. Seorang anak dari salah satu kampung yang kukunjungi kehilangan tangan gara-gara dicaplok buaya saat memancing hanya dengan senar pancing. Ia dipastikan bakal mati di depanku kalau saja tidak ada sukarelawan Amerika yang seorang dokter.
Peristiwa itu sebenarnya tidak pernah terjadi, syukurlah. Malahan aku hampir tidak kuliah. Tapi, itulah yang biasanya kau katakan bila ingin langsung di kepolisian.
Apa yang tak seharusnya kau katakan adalah kau menjadi detektif karena kakekmu seorang detektif dan kau selalu mengidolakannya, tidak jelas juga mengapa demikian. Aku bisa memikirkan banyak alasan yang lebih jelek. Plus, kakekku memang detektif dan aku mengidolakannya. Sejauh yang bisa kuceritakan, kisah cinta kakek-nenekku adalah salah satu yang terindah di abad ke -20 dan merekalah orang baik terakhir yang ada di muka bumi. Mereka punya selera humor yang tidak pernah bisa kusaingi dan kepedulian tinggi kepada orang-orang tertindas. Dan mereka benar-benar menggemari scrabble, televisi publik, serta buku-buku tentang alam. Cara pakaiannya juga formal. Dan meskipun tertutup bukan berarti pendendam.
Seperti saat ibuku yang pecandu melahirkan di sebuah pertapaa di India pada tahun 1988 dan ingin ke Swiss dengan pacarnya (ayahku), kakek nenekku terbang kesana dan membawaku ke New Jersey, tempat mereka kemudian membesarkanku.
Tetap saja, sebabku menjadi detektif bukanlah rasa cinta dan hormatku pada mereka. Sejujurnya, aku bahkan tidak pernah membayangkan masuk ke dunia kepolisian dan menjadi detektif sampai 6 tahun setelah pembunuhan mereka.
...
Baca sebelumnya https://steemit.com/sofiatoyumi/@sofiatoyumi98/broken-line-part-2