Seharusnya, pendidikan bukan semata upaya mentransfer materi pelajaran. Lebih dari itu, pendidikan adalah sebuah proses menyalakan pikiran, mematangkan kepribadian. Kalau pendidikan justru memampatkan kreativitas, mengerdilkan keberanian berekspresi, memustahilkan impian, serta membuat anak-anak menjadi asing pada dirinya sendiri dan lingkungannya, maka, sebaiknya, pendidikan tidak perlu ada.
― Lenang Manggala, Perempuan Dalam Hujan: Sealbum Puisigrafi.
Santri Petualang
Seorang santri muda dengan bekal seadanya, bersikeras mengelilingi tanah airnya. Bisa saja ia menggunakan sepeda motor, mobil pribadi, bus, atau pesawat agar lebih cepat. Dari semua kendaraan bermesin tadi, ia memilih sepeda. Lebih baik mengayuh demi merasakan udara tanpa asap yang dibuang dari kendaraannya. Ia pasti seorang pencari yang penasaran dengan perjalanan menuju ketujuh puncak gunung tertinggi. Sebagaimana petuah seorang Einstein yang mengatakan bahwa hidup itu laksana naik sepeda, untuk mempertahankan keseimbangan, kamu harus tetap bergerak.
Santri muda itu pasti kaya, ia akan bertemu dengan guru-guru yang ditemuinya. Bisa saja ia berhenti di stasiun, pasar tradisional, kedai, tajug, mushola, pesantren, sebuah taman, atau sebuah tugu saat tengah malam. Ia akan menghafal banyak jalan, jika tidak, justru akan tersesat ketika seharusnya tiba di sebuah tempat.
Memang benar, ia akan bertemu banyak guru yang memberi petuah-petuah yang jarang diterimanya. Namun, ketika seluruh tempat telah ia datangi, pertanyaan terakhir akan hadir tiba-tiba di akhir perjalanan, “Siapa mahaguru yang terlewati diserap ilmunya?”
Selama perjalanan kembali dan tiba di awal pemberangkatan, ia baru sadar bahwa mahaguru yang tidak sempat dihayati ilmunya itu ialah dirinya sendiri. Ia belum sempat diajak berdiskusi ketika memutuskan pergi pertama kali. Seorang Goenawan Muhamad menulis Fragmen: Peristiwa, “Saya tak mengerti, apa yang dapat tuntas ditulis di zaman ini. Ungkapan klise—tapi tak berarti keliru—sejak paruh kedua abad yang lalu ialah bahwa hidup kita telah dirundung bukan saja oleh perubahan, tapi juga oleh ‘kejutan masa depan’.”
Bisa jadi seperti yang ditulis Sapardi, ihwal naskah Ramayana yang ditulis dalam bahasa Jawa kuno telah menjadi bahan penelitian sejak tahun 1900-an. Sepanjang sepengatahuannya, berlanjut hingga hari ini, terutama di kalangan peneliti di pendidikan tinggi. Soal kepenulisan saja terus terjadi perbantahan, meskipun telah dapat ditetapkan antara tahun 900-an dan 1000-an di Jawa Timur.
Menyambung ‘kejutan masa depan’ yang diungkap Goenawan Muhamad, Ahmad Tohari mengisahkan dalam cerpen “Pengemis dan Sholawat Badar”. Sebelum pemberangkatan, seorang pengemis melanggamkan sholawat. Seorang tokoh dalam bus memperhatikan laku si pengemis yang melantunkan sholawat agar dikasihani dan diberi uang oleh para penumpang. Sebelum cerita berakhir, peristiwa dahsyat terjadi. Lelaki pemerhati seorang pengemis itu pun kemudian bangkit dari ketidaksadaran. Ia beranggapan telah bermimpi, mengingat bangkai-bangkai mayat beterbangan, jatuh di depan matanya, dan ada yang terlihat mengerikan. “Shalatullah, salamullah, ‘ala tha rasulillah ….” Suara si pengemis terdengar gamblang dan menelusuk ke labirin telinga si lelaki pemerhati. Seorang lelaki yang sekarat dan pengemis yang bersholawat di akhir cerita adalah sebuah kejutan.
Baca lengkap pada tautan: https://raamfest.com/menyiapkan-gnenerasi-santri-y-dan-z-di-era-digitalisasi/