Tragedi Bintaro 19 Oktober 1987 tak terasa sudah 31 tahun berlalu. Bagi banyak orang peristiwa itu menjadi kecelakaan kereta api paling dahsyat yang pernah terjadi di Indonesia.
Kengerian dan ceritanya mungkin sudah terlupakan saat ini, namun tidak bagi Slamet Suradio yang akrab dipanggil mbah Slamet atau Slamet bintaro. Kakek-kakek yang hampir menginjak usia 80 tahun itu adalah "kambing hitam" dari peristiwa yang memakan korban jiwa sampai 156 nyawa.
Dia adalah masinis KA 225 jurusan Rangkasbitung-Tanah abang yang pada hari kejadian berbenturan keras dengan KA 220 di Pondok Betung, Bintaro. Slamet hanyalah masinis yang menjalankan tugas dengan segenggam surat perpindahan tempat persilangan (PTP).
Namun dalam persidangan di PN jakarta Selatan ia justru mendapat vonis 5 tahun penjara karena dianggap melanggar pasal 359, bab kelalaian menghilangkan nyawa seseorang. Sementara pihak PPKA Sudimara yang seharusnya meminta izin terlebih dahulu pada stasiun Kebayoran saat mengeluarkan PTP justru terlepas dari tanggung jawab.
Dia memang seperti memang sudah sengaja untuk dikorbankan. Dalam ceritanya kepada awak media pada tahun 2010 silam, kepalanya pun sampai ditodong pistol ketika menjalani pemeriksaan BAP di kepolisian.
Mbah Slamet puluhan tahun sendirian menanggung luka. Sudah dipenjara, dipecat dengan tidak hormat, sampai tak dapat uang pensiun meskipun sebelumnya sudah puluhan tahun mengabdi. Sementara mereka yang punya kuasa mungkin justru hidup nyaman dan enak di masa tuanya.