“Mara ... kau butuh pembalut?” tanya Sayati.
“Tidak saat ini, Ma, terima kasih.”
Sayati meninggalkan Mara di meja makan sendirian, dengan kepala manggut-manggut.
“Kenapa wajahmu seperti itu?” tanya Nendo yang duduk di sebelah Mara.
“Mama aneh, nanya apa aku butuh pembalut,” sahut Mara sambil lalu. “Sudah mau berangkat kerja?”
Mara melihat pakaian suaminya, berbeda dengan yang biasa dikenakan di rumah.
Dahi Nendo berkerut sesaat. Dia mengamati Mara sejenak. “Mama orangnya sangat perhatian ... ini adalah hari ketiga kita di sini, kau belum juga keramas.”
“Iya ...” Wajah Mara memerah karena malu. Tamu tak kunjung henti berdatangan, di lebaran pertama dan kedua. Baik Sayati dan Mas Nendo sepertinya sangat disukai banyak orang. Tugasnya memenuhi panggilan Sayati dan suaminya bergantian, untuk dikenalkan pada saudara dan para kolega keduanya.
“Rambutku pasti tidak keruan ya keliatannya ... rencananya baru nanti sore, aku mau keramas.” Mara memegang rambutnya.
“Maksudku ... kita kan harus mandi besar,” ujar Nendo setengah berbisik di telinga Mara.
Mata Mara terbelalak. Wajahnya semakin merah padam.
Nendo yang kasihan melihat Mara yang bingung dan salah tingkah berkata, “Gampang Mara solusinya ... keramas saja saat mandi pagi ... jadi mama bisa melihat rambutmu masih lembab, saat makan pagi.”
Kepala Mara mengangguk tanpa berkata apa-apa.
Tiba-tiba ponsel Nendo berdering. “Ya, Lis ... engga apa-apa ... oke, aku ke sana sekarang.”
“Engga jadi sarapan?” tanya Mara perlahan. Hatinya tiba-tiba merasa tidak senang, nama seorang wanita disebut bibir Nendo.
Ia sudah dikenalkan dengan Lisa. Dan seandainya jadi laki-laki, dia pasti akan mengejar wanita itu. Sangat cantik, cerdas, dan ramah. Lisa nampak sangat terkejut, ketika Nendo memperkenalkan mereka. Sesaat, dia bisa melihat sinar ketidakpercayaan di mata Lisa yang tajam. Namun dalam hitungan detik, mata itu sudah kembali ramah.
“Lisa telpon. Ada yang harus aku kerjakan sekarang ... kenapa mukamu, Mara?....”
“Kenapa memang, muka aku?” Mara memegang pipinya dengan kedua belah tangannya.
Nendo menggeleng cepat. “Tidak apa-apa. Kamu bikin ice cream? ... maaf, aku harus benar-benar pergi sekarang ... lain kali ya, aku cobainnya.”
Mara termangu melihat mobil Nendo keluar dari halaman. Baru hari lebaran ketiga, suaminya sudah mulai bekerja lagi.
“Lho! Nendo engga jadi sarapan, Mara?” tanya Sayati heran, ketika melihat Mara masuk ke ruang keluarga sendirian.
“Engga, Ma. Bu Lisa telpon. Keliatannya ada hal penting yang harus mereka kerjakan.”
“Maaf, ya. Nendo memang sangat sibuk belakangan ini. Dia ingin bangunan itu jadi, sebelum ulang tahun Mama. Jadi kita bisa syukuran di sana.”
“Engga apa-apa, Ma. Hanya ... sekarang saya bingung ... mau ngapain lagi ya?” Mara duduk di sebelah Sayati. Hari ini dia sudah belajar buat dessert.
“Apa yang kamu inginkan?” Sayati balik bertanya dengan nada hati-hati.
“Apa yang aku inginkan?” tanya Mara bingung. Dia menoleh ke arah Sayati.
“Ya ... dalam hidup ini, apa yang sangat kamu inginkan?” tanya Sayati lagi.
Mara tertegun mendengar pertanyaan Sayati. Dahinya berkerut dalam. Dia benar-benar tidak tahu, apa yang diinginkannya lagi. Kandasnya obsesi menjadi dokter, membuatnya kehilangan impian. Dia tidak punya rencana cadangan untuk masa depannya.
Kehidupan yang berat, membuatnya tidak sempat banyak bermimpi. Sampai pertemuannya dengan Nendo, ia hanya menjalani kehidupan, waktu demi waktu sebaik dan sesempurna yang bisa dilakukannya. Satu-satunya yang terus dilakukannya, adalah mengucapkan Subhanallah wa bihamdihi, hampir di sepanjang waktu.
“Sekarang ... kau tidak perlu mengkhawatirkan soal uang ... pikirkanlah ... apa yang akan kau kerjakan, mulai saat ini sampai akhir hayatmu ... tapi ingatlah ... pekerjaanmu adalah hidupmu ... kau harus benar-benar memikirkan, apa yang akan kau pilih dan kau pelajari.”
Ketika Mara tidak juga menjawab, dengan hati-hati Sayati melanjutkan, “Pekerjaan Nendo ... mengharuskannya bertemu dengan banyak wanita, seperti Lisa.”
Mata Mara terbelalak. Banyak wanita seperti Lisa di sekeliling Nendo? Satu Lisa saja sudah membuatnya resah.
“Dan tidak semua sebaik dan sesantun Lisa,” Sayati menambahkan lagi, dengan suara dan wajah yang sangat serius.
“Nendo selalu mengembangkan bisnisnya. Tahun pertama dan kedua ia akan konsentrasi di bisnis tersebut. Tahun ketiga dan keempat, ia akan berganti fokus, mencari orang-orang yang tepat untuk mengurus bisnisnya. Sedangkan ia sendiri, akan mencari peluang bisnis lain. Begitulah yang dilakukannya, selama 11 tahun terakhir. Selalu banyak wanita cantik dengan talenta beragam, mengelilinginya.”
Mara menggigit bibir bawahnya, ketika merasa bibirnya gemetar. Ia sama sekali tidak tahu siapa Nendo. Itukah sebabnya, Nendo mau menikah dengannya, tanpa mempermasalahkan tentang hubungan mereka di tempat tidur?
“Aku tahu Nendo. Dia bukan tipe laki-laki yang suka selingkuh,”
Wajah Mara merah padam, ketika merasa Sayati bisa membaca pikirannya.
“Tapi sebagai istri... kita juga harus berusaha sebaik mungkin menjaganya, bukan?”
Mara menundukkan wajahnya, ketika ia tidak tahu apa yang harus dikatakan atau dilakukannya.
“Nendo memintamu menjadi istrinya, karena ia mengagumimu.”
Kepala Mara menengadah. Ia memandang Sayati dengan pandangan tidak percaya.
“Itu benar. Walaupun tidak dikatakannya terang-terangan. Dia minta tolong padaku, untuk mengganti interior kamar yang kalian tempati sekarang. Aku tidak tahu, apa yang kau suka. Jadi kuganti dengan panduan umum. Gantilah, kalau ada yang tidak kau sukai.”
Mara menggeleng cepat. "Tidak Ma, semuanya sudah bagus," sergah Mara. "Terima kasih Ma."
"Sama-sama. Aku senang, ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk Nendo."
“Apa yang dilihatnya dariku, bila ada banyak wanita seperti Bu Lisa di sekelilingnya?” tanya Mara lirih dengan pandangan menerawang. . “Saya bukan apa-apa ... kalau disandingkan dengan Bu Lisa,”
Sayati berdiri. Mengambil beberapa album foto. Menyerahkannya pada Mara.
"Apa ini, Ma?"
Mara melihat foto-foto wanita cantik, dengan keterangan latar pendidikan, keluarga, dan pengalaman untuk masing-masing foto tersebut.
"Itu foto-foto yang diberikan padaku, saat mereka mencoba peruntungan anak perempuan , keponakan, atau saudara mereka, agar dipinang Nendo."
Mata Mara terbelalak. "Sebanyak ini?"
Tangannya yang terus membalik-balik album tiba-tiba sedikit gemetar. Hampir semua lulusan luar negeri.
"Masih banyak album seperti itu," ujar Sayati tenang. Matanya tidak berkedip, memperhatikan ekspresi Mara yang semakin pucat. Namun dia mengakui kekuatan mental menantunya, yang terus saja melihat dan membaca semua yang tertulis di album.
Dengan tangan gemetar, Mara terus melihat dan membaca. Sampai album terakhir yang dikeluarkannya. Punggungnya ditegakkan, saat berkata, "Saya benar-benar tidak mengerti, kenapa Mas memilih saya."
“Aku tidak bohong, saat mengatakan Nendo tergila-gila padamu. Ada sesuatu yang membuatnya kagum padamu. Tapi ... salah satu rahasia istri yang sukses menjaga suaminya, antara lain, selalu membuat suami kagum padanya. Selain menyenangkan suami, yang paling penting, , juga membuat kita senang dan bangga pada diri sendiri. Karena mengejar mimpi-mimpi dan sesuatu yang kita anggap sangat berharga, dalam hidup kita."
Inikah yang dimaksud Mas Nendo, petualangan memaksimalkan potensi diri?
Mata Mara melihat ke arah tumpukan album. Wanita-wanita dalam album, terlalu jauh dan tinggi untuk dikejarnya.
"Bagaimana kalau kita membuatmu, jadi apa-apa?" suara menantang Sayati memecah lamunan Mara.
“Apa maksud Mama?”
Bandung Barat, Selasa 21 Agustus 2018
Salam
Cici SW
Posted from my blog with SteemPress : https://cicisw.com/2018/08/21/memeriksa-hidup-40/