"Do you love Mistress Ching for her beauty…or her great skill?!" (Mistress Ching, The Nine Lords of the Brethren Court)
Di dalam At World's End, seorang perempuan duduk di antara raja bajak laut untuk sebuah pertemuan penting di Teluk Bangkai Kapal. Dengan riasan yang mencolok dan sanggul seperti itu, dia malah lebih mirip seorang nyonya berwajah ketus ketimbang Qinglou Nuzi.¹
Dia adalah Madam Ching, datang dengan blus cokelat muda, mantel merah tua berkerah teratai, pernak-pernik dari Asia Timur serta ditemani pengawal bermata sipit. Dia memang satu dari lima lautan, penguasa Samudera Pasifik, yang memiliki harga kepala 3.400 guinea.
Ching adalah salah satu The Nine Lords of the Brethren Court, salah satu sembilan raja bajak laut yang bisa menandingi kekuatan armada The East India Trading Company (EITC) beserta 'terornya' kapal hantu Flying Dutchman. Sementara, orang-orang sangat membutuhkan kelengkapan susunan sembilan raja, Jack Sparrow, salah satu di antaranya, ada di ujung dunia, dalam kuasa Kraken.
Tulisan ini tidak menyorot satu dari trilogi Pirates of The Caribbean, namun, orang-orang butuh sesuatu yang lebih nyata dari sekadar fiksi sejarah. Yang pernah jatuh dalam 'kegelapan' prostitusi, yang bangkit lalu menguasai dunia para laki-laki, yang kemudian mati dengan tenang di atas kejayaan serta kekayaan.
Sementara Madam Ching dalam film adalah Takayo Fischer dari Jepang, memerankan karakter buta egois dan suka menyisipkan pistol di ikat pinggang, mimpi buruk sebenarnya ada pada ratu bajak laut Ching Shih, sang Teror dari Cina Selatan. Apakah dia sama seperti figur perompak wanita dari barat seperti Grace O'Malley, Anne Bonny, dan Mary Read?
Ching yang ini mungkin lebih baik. Ia mewakili kumpulan kisah para 'wanita penguasa' dari Asia, dan dengan senang hati akan mengirim orang-orang ke retret paling terdalam, saat para pria selalu muncul dalam apoligi, sebagai simbol superioritas.
Alias Shi Yang alias Shil Xiang Gu alias Shil Gang Xu, lahir di era Qing, 1775, Provinsi Guangdong. Ia menjadi pelacur di sebuah rumah bordil terapung, Kota Kanton, Guangzhou, berwajah cantik, memiliki otak cemerlang, plus intuisi bisnis yang tajam lagi 'kejam.'
Nama pelacurnya Shi Xianggu. Lidahnya tidak cuma berguna untuk pekerjaan kamar, tapi, ia gunakan untuk menyebar dan menjual intrik, informasi-informasi penting selama persinggungan dan kepentingannya dengan klien.
Karakter pelacur seperti Shih sebenarnya merupakan kebalikan dari 'stigma' prostitusi kekinian. Di Cina, masa itu, pelacur tidak cuma berposisi sebagai orang yang melulu memberi pelayanan seks.
Ahli sinologi asal Belanda, Robert van Gulik dalam Sexual Life in Ancient China, 1961, menulis bahwa tujuan laki-laki Cina merayu pelacur cenderung bertujuan untuk mencari teman daripada seks. Mereka hanya ingin sebuah kebersamaan yang kompleks, dan dengan para wanita-wanita ini, mereka dapat melepaskan diri sesaat dari kewajiban-kewajiban serta suasana rumah yang membosankan.
Pelacur bahkan memiliki tempat tersendiri dalam salah satu kompilasi puisi Tiongkok paling kolosal. Di mana mereka cukup berpengaruh dalam budaya Dinasti Tang—dari 49.000 puisi, 4.000 lebih terkait dengan pelacur, dan 136 sisanya adalah karya mereka sendiri.
Pelacur pada masa itu adalah orang-orang terlatih, memiliki keahlian bermain musik, sastra serta kaligrafi. Keahlian-keahlian ini mereka dapat karena—setidaknya, hingga pertengahan Dinasti Qing—terdapat Jiaofang, semacam konservatori di mana perempuan dapat belajar, dan bagi pelacur bibitan Jiaofang, kelak akan menghibur para akademisi dan pejabat sebagai 'pelacur resmi' yang terdaftar serta prestisius.
Adapun kategori sebutan untuk wanita penghibur Cina kuno terbagi atas beberapa. Antara lain, Mingji untuk pelacur ternama, Huakui gelar ratu bunga, alias primadona wisma bunga raya, Jiaoji istilah lain pelacur kelas atas, dan Jiaoshu, sebutan kehormatan untuk pelacur yang berpengetahuan luas dan tidak mengobral kemolekan—terinpirasi dari Xue Tao, penghibur dari jaman Tang yang memiliki gelar Nu Jiaoshu.
Di usia 26, Shih menikah dengan Cheng I alias Zheng Yi, seorang kepala cm keturunan bajak laut yang berkecimpung dalam bisnis pembajakan selama beberapa generasi. Keduanya menikah ketika Yi memiliki sekitar dua ratus kapal bajak laut dengan armada terkenal bernama Bendera Merah.
Armada ini muncul sebagai kekuatan utama pada 1804 ketika berhasil memukul blokade Portugis di Makau, Pantai Selatan Cina. Bendera merah memaksa Portugis mengirim satu skuadron namun tetap kalah, dan pertempuran ini telah menciptakan rasa segan dari komodor-komodor angkatan laut negara lain yang lalu lalang di perairan yang menjadi kekuasaan perompak.
Hampir semua situs menuliskan bahwa Shih setuju menikah sama Cheng I dengan syarat dirinya mendapat hak dan kuasa atas setengah armada serta bisnis bajak laut suami. Apa yang sebenarnya terjadi di balik pernikahan mereka masih menimbulkan banyak spekulasi.
Apakah ada unsur paksaan atau karena keinginan? Tidak ada yang dapat memverifikasi apa yang melatari hubungan Yi dengan orang yang kelak menjadi ratu bajak laut.
Beberapa mengatakan bahwa Yi memerintahkan anak buahnya untuk menyerbu rumah bordil yang memaksa Shih harus ikut. Sumber lain bertahan pada keyakinan bahwa komandan bajak lautlah yang memintanya untuk menikah.
Kesimpulannya selalu berakhir kepada Yi yang setuju menyerahkan stempel kekuasaan. Mencakup kemitraan yang setara dalam kepemimpinan armada, serta 50 persen bagian laksamana dari apa pun yang mereka capai nanti.
Pasangan ini perlahan menumbuhkan kekuatan, glorifikasi, dari 200 armada menjadi 1700-1800, berkat koalisi dengan perompak Kanton. Sebuah gabungan yang membuat konvoi perompak warna-warni di tengah lautan karena tiap armada memiliki kode warna bendera; hitam, putih, biru, kuning, dan hijau, di mana merah adalah pusat badai, dan lebih mungkin sebagai galaksi warna merah darah di permukaan samudera.
Literatur menyebut bahwa Yi meninggal di Vietnam, 1807, dalam usia yang bervariasi, enam tahun setelah menikahi Shih. Ditulis juga bahwa dirinya sempat menikmati pertempuran di tengah Pemberontakan Tay Son, sebuah pemberontakan yang mengakhiri Dinasti Le dan Trinh oleh tiga bersaudara dari Desa Tay Son, Provinsi Binh Dinh, Vietnam.
Sepeninggalan suaminya, Shih harus memutar otak dan mengatur siasat dan muslihat untuk mengambil alih takhta dengan catatan bisa meminimalkan protes dari orang-orang yang tidak senang. Wanita ini punya intuisi dan insting politik yang kuat, tidak ragu-ragu membentuk hubungan khusus dengan putra tirinya, Cheung Po Tsai, dan wanita ini bermain lebih baik dengan apa yang ia miliki.
Ia juga harus mendekati anggota keluarga mendiang suaminya yang paling kuat. Pilihan jatuh kepada Ching Pao-yang dan Ching Ch'i, dua keponakan yang telah menganugerahinya kesetiaan penuh, 'sebagai, dan dari' keluarga.
Visi yang ada di dalam kepalanya telah mengharuskan Shih memilih kekasih—anak tirinya—sebagai kapten. Kendati kemudi Bendera Merah yang sebenarnya berada di bawah kendali wanita itu.
Lambat laun, Shih telah mendapatkan kepercayaan penuh dari koalisi bajak laut yang mendiang suaminya bentuk. Ia telah membangun pengaruh yang kuat atas para kapten.
Selama karirnya, Shih mencatat rekor pembajakan terbesar dengan jumlah armada kira-kira 800 kapal pelbagai ukuran serta awak mencapai 80 ribu orang. Titah pimpinan bajak laut wanita ini adalah hukum yang tidak terelakkan.
Ia menerapkan sistem kolektif, terutama dalam aktivitas mereka sebagai bajak laut dengan kode etik yang pantang memiliki pelanggar. Bahkan memiliki purser yang mengurus laporan hasil jarahan sekembali dari ekspedisi.
Dua puluh dari seratus persen jumlah jarahan adalah hak yang cukup untuk awak kapal pembawa pulang hasil terbanyak, sisanya masuk ke dana umum. Tidak ada yang boleh mengambil hasil jarahan ataupun pasokan dari desa-desa lindungan dengan alasan apa pun.
Sementara itu, ada hukuman bagi yang menahan barang rampasan, kena cambuk, bahkan penggal untuk beberapa kasus. Untuk para pembelot, hukumannya adalah potong telinga.
Hal yang menarik ialah, Shih juga menerapkan aturan khusus, untuk tawanan wanita yang kru bawa pulang. Untuk perempuan yang tidak menarik, akan membebaskannya tanpa cedera, sementara mereka yang menarik, harus ada penebusan.
Shih sangat kejam kepada bajak laut yang tertangkap tangan memerkosa tawanan. Siapa pun yang kedapatan melakukan akan kena penggal, sementara, apabila hubungan seksual terjadi karena suka sama suka, kepala yang prianya akan putus, sementara wanitanya diterjunkan ke dasar laut dengan kaki terikat bola meriam.
Kru boleh menjadikan salah satu tawanan sebagai istri dengan syarat setia seumur hidup. Shih agaknya tidak pernah neko-neko dengan sebuah hubungan, setidaknya, dia pernah hidup di tempat mana perempuan hanya jadi objek.
Kelompok bajak laut pimpinan Shih segera melebarkan dominasi di atas Laut Cina Selatan. Armadanya menyisir, meneror, dan menghegemoni banyak tempat, memberlakukan pungutan serta pajak untuk tiap-tiap wilayah lindungan.
Di sebuah desa bernama Sanshan, orang-orang melapor bahwa bajak laut pimpinan Shih memenggal kepala lebih dari 80 pria dan menjual istri serta anak-anak mereka sebagai budak, dan melakukan kejahatan-kejahatan lain. Shih telah membuat pemerintah Dinasti Qing marah besar lantas melancarkan ekspedisi melawan Bendera Merah pada 1808.
Laporan memuat bahwa armada kekaisaran kalah telak. Namun, dari September 1809 hingga Januari 1810, Bendera Merah mulai mengalami serangkaian kekalahan terutama ketika berhadapan dengan armada angkatan laut Portugis.
Rentetan pertempuran yang terjadi pada saat itu terkemas dalam literasi sejarah Tiongkok dengan nama Battle of the Tiger's Mouth. Mulai dari sini, bisnis pembajakan Shih melemah dan hilang taring.
Di tahun yang sama, dirinya menerima tawaran amnesti dari kekaisaran, dan, dengan syarat menyerah, ia boleh menyimpan harta kekayaan selama jadi bajak laut. Pasukannya pun mendapat amnesti, dan banyak di antara mereka menyerahkan senjata untuk memperoleh kebebasan mutlak.
Pada akhirnya, Ching Shih (berarti Janda Cheng) ingin membunuh status sebagai 'janda' dari suaminya dulu, dan secara resmi meminta Gubernur Guangdong, Zhang Bailing, untuk mencabut hukum pertalian ibu-anak antara dirinya dan Po Tsai serta mengizinkan keduanya menikah. Gubernur menerima, bahkan jadi saksi pernikahan mereka.
Dari Po Tsai, ia memperoleh satu putra dan putri. Setelah suaminya meninggal, sang mantan ratu bajak laut memutuskan kembali ke kota asal, Guanzhou, lalu mulai merintis bisnis dengan membuka rumah judi serta bordil, dan kelak mengembuskan napas terakhir di atas tempat tidurnya yang nyaman, di depan keluarga besarnya, di usia 69, pada 1844.
Shih adalah gambaran yang langka dari emansipasi wanita dan mungkin berada di antara deret wanita 'kriminal' tersukses dalam sejarah, saat yang mendapat cap inferior naik ke puncak takhta dan menggeser laki-laki ke khalwat mereka yang memalukan.
Cerita mengenainya juga menjadi tamsilan, bahwa sesuatu bisa saja berubah drastis dengan 'akal bulus' dan sedikit pikatan. Di saat yang sama, Shih juga simbol pemberontakan, ketika masyarakat terlembaga dalam batasan-batasan yang memberatkan wanita, sementara para pria melenggang kangkung dengan 'alat' yang tersemat.
¹Sebutan untuk wanita yang tinggal di Qinglou (rumah bordil).